my lovely : menerima takdir

1.6K 79 0
                                    


Perlahan ketakutanku akan keberadaan laki-laki berkurang. Aku sudah terbiasa dengan keberadaan Pak Redjo dan Pak Jajang di dalam rumah bahkan aku mulai berani keluar rumah tanpa Mas Ayes. Mimpi buruk pun hanya sesekali datang.

Kuliahku terpaksa ditunda padahal aku dinyatakan lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Bagaimana aku bisa kuliah jika suaraku belum kembali? Bagaimana jika selamanya aku tidak bisa lagi bicara?

Terapi pun masih ku lakukan. Kata dokter, traumatisku belum hilang. Tidak ada masalah dengan pita suaraku, hanya saja psikologisku yang bermasalah. Itu tidak bisa dipastikan kesembuhannya. Membuatku semakin putus asa.

Tidak ada lagi komunikasi dengan teman-teman SMA-ku. Di ponselku hanya ada nomer Mas Ayes, Bunda dan Mama. Aku tidak tahu bagaimana kabar Dina maupun Tina. Apa yang terjadi pada Dina? Bagaimana dengan kandungannya? Apakah dia baik-baik saja? Aku tetap memikirkannya walaupun dia sudah jahat padaku. Dia tetap sahabatku.

Seharusnya bulan ini aku mulai kuliah tapi aku tidak bisa. Impianku untuk menjadi dokter pupus. Air mataku meleleh saat menatap Papa di foto.

Mas Ayes memelukku. "Papa pasti mengerti."

Tapi kapan suaraku kembali?

"Ada yang mau ketemu sama kamu."

Dahiku mengerut. Siapa?

"Tina."

Mataku melebar dan segera berdiri. Senyumku mengembang. Aku rindu Tina. Tanpa menunggu Mas Ayes, aku berlari keluar kamar. Sampai di ruang tamu, kakiku berhenti dan menatap seseorang yang duduk sendirian. Mata kami bertemu.

Satu.

Dua.

Tiga.

Kami saling menghampiri dengan langkah lebar dan berpelukan. Menangis bersama.

Tina menggenggam tanganku saat kami sudah duduk. Tatapannya menyiratkan penyesalan dan permohonan maaf. Aku mengangguk.

"Gue minta maaf atas nama Dina."

Aku meraih papernote dan pena di atas meja. Menuliskan sesuatu di sana.

Di mana Dina?

Tina menghela napas sebentar. "Dalam perawatan."

Aku menulis lagi. Di mana?

"Setelah kejadian itu, Dina keguguran dan hanya berdiam diri. Tatapan matanya kosong. Dia seperti mayat hidup. Gue ketemu sama nyokap lo saat pengambilan ijazah. Gue bilang pengen ketemu sama lo tapi nyokap lo nggak kasih izin. Katanya lo belum bisa ditemui. Waktu Pak Ryo ke sekolah pun, gue mencoba meminta izinnya untuk ketemu lo tapi tetap aja gue nggak bisa. Semua udah tahu kalau lo udah nikah sama Pak Ryo. Semua ingin jenguk lo tapi Pak Ryo melarang kami."

Hening. Kami sama-sama menghapus air mata kami.

"Dina dan Andre dikeluarkan dari sekolah. Sekarang Andre ada di penjara untuk kesalahannya. Kalau anak-anak nggak misahin Pak Ryo sama Andre waktu itu, mungkin nyawa Andre udah nggak ada. Pak Ryo kayak orang kesetanan mukulin Andre."

Aku terhenyak baru mengetahui informasi itu.

"Orang tua gue pengen nemuin lo tapi nyokap lo sama Pak Ryo melarang. Orang tua gue ngerasa bersalah banget atas perbuatan Dina. Lo mau maafin Dina kan?"

Aku mengangguk dan tersenyum. Kami saling menatap dengan air mata yang masih meleleh.

"Gue bener-bener minta maaf, Ra. Gue nggak nyangka kalau Dina sejahat itu sama lo. Tolong maafin sodara gue ya."

Aku mengangguk lagi.

"Lo masih mau temenan sama gue kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Tentu saja. Aku kembali menulis.

Sweet StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang