our first love 10 : NAURA

115 6 0
                                    

POSESIF


Sekarang aku bisa bebas bertemu dengan Aidan bahkan kami selalu menyempatkan makan siang bersama di tengah kesibukan kami. Minusnya, aku tidak bisa punya waktu memasak untuknya. Kata Aidan tidak jadi masalah, yang penting bisa menemuiku. Cowokku itu jago banget kalau ngegombal!

Seperti sekarang, tangannya tengah memainkan rambutku sementara aku mengambilkannya nasi dan lauk.

"Kamu cantik deh, Ca hari ini," ucapnya saat aku meletakkan seporsi makanan di hadapannya. "Nggak kayak biasanya."

Dahiku mengerut. "Nggak kayak biasanya gimana?"

"Beda aja. Apa hari ini ada meeting penting atau lainnya?"

Sejenak aku berpikir dan mengangguk. "Ada sih. Janjian sama seseorang gitu."

"Seseorang? Siapa?"

"Adalah. Kayak semacam meeting penting."

Aidan menatapku tidak suka. "Pantes aja hari ini kamu beda banget. Kamu sengaja dandan gitu buat ketemu dia?"

"Iya." Aku menopang dagu, menatapnya geli. "Namanya juga meeting penting."

Aidan kembali meletakkan sendoknya dengan kasar. Menatapku marah. "Bilang sama siapa?"

"Kok marah sih?" Aku mengusap lengannya. "Ntar cepat tua."

"Kamu meeting sama siapa?" Suaranya mulai meninggi.

"Sama cowok sih."

Rahang Aidan mengeras.

"Dia ganteng, gentle banget. Pokoknya kalau dekat dia tuh nyaman banget."

Wajah Aidan memerah. Dia pasti menahan diri untuk tidak meledak. "Siapa dia, Ca?"

"Yakin mau tahu?"

"Iya, siapa?" tanyanya marah.

"Dia di sini kok."

Mata Aidan melotot. "Kamu janjian sama dia di tempat yang sama dengan kita?" Sekarang dia mengusap wajahnya kasar.

"Kenapa sih?"

"Di mana dia sekarang?"

Aku benar-benar tidak bisa menahan tawa yang sedari tadi ku tahan. Tawaku membuat Aidan menatapku jengkel.

"Nggak lucu, Ca. Dia di mana sekarang?"

"Bentar, Bang. Bentar." Aku sampai memegangi perutku karena tawaku tidak bisa berhenti.

"Kamu punya hubungan sama cowok lain? Di mana dia sekarang?"

Aku menghapus air mata yang keluar di sudut mataku kemudian menggenggam tangannya. "Dia udah ada di samping aku."

Aidan melongo menatapku.

"Dia ada di sampingku."

"Aku?" tanyanya tidak percaya.

"Ya siapa lagi, Bang?"

"Kamu tuh bikin jantungan aja!"

Decakan kesal Aidan membuatku kembali tertawa.

"Ketawa aja terus."

Aku mencium sudut bibirnya gemas. "Nggak boleh cemburuan."

Tampaknya Aidan masih jengkel. Dia tidak mau menatapku. Kali ini aku mencium penuh bibirnya.

"Kamu marah, Bang?" gumamku dengan bibir kami yang masih bersentuhan.

"Kamu buat aku takut, Ca."

"Maaf."

Aku mengecup bibirnya lama dan mendapat balasannya. Kami saling mengecup dan bermain bibir. Dudukku pun sudah berpindah ke pangkuannya. Untungnya kami memesan private room.

"Kamu cuma milikku, Ca," ucapnya dengan napas terengah.

Aku mengangguk. Bibirku kebas. "Iya, aku cuma milik Abang Iyan."

Lengannya mendekapku erat dan dia kembali menciumku. "Nggak ada yang boleh nyentuh kamu selain aku."

***

Sidang perdana kasus tindakan percobaan pelecehan seksual terhadapku digelar secara tertutup. Tubuh Harsha tampak mengurus dan terlihat tirus. Tidak ada Harsha yang diidolakan banyak perempuan. Tidak ada jejak kharisma dalam dirinya. Pesonanya pudar akibat tindakan amoralnya.

Selain itu, tidak ada seorang pun pendamping di sisinya. Hanya pengacara saja. Kemana keluarga Dirgantara?

Tadinya aku berpikir sidang ini akan alot, posisiku dipersulit dan Harsha akan bebas dengan mudahnya. Tidak, Harsha menghadapinya sendirian. Dia juga tidak membantah tuntutan yang diberi kepadanya bahkan terdengar menyesal saat membaca pledoi. Isi terakhir pledoinya dia meminta maaf padaku dari hati yang paling dalam.

Aku merasakan kelegaan luar biasa. Bersama Mama Ara dan Papa Rezky, aku keluar pengadilan melalui pintu belakang. Kami menghindari para wartawan yang sudah menunggu di pintu gerbang.

Satu masalah sudah terlewati. Masalah yang lain pun menunggu. Perusahaan Opa berangsur membaik di bawah kendaliku. Banyak yang mendukung kebijakan baru yang ku buat. Kebijakan baruku juga mempersulit posisi Papa Mario. Lebih tepatnya dia tidak bisa bermain dengan uang perusahaan. Aku tinggal mencari beberapa bukti lagi atas penggelapan uang yang sudah dilakukannya.

"Tadi aku ketemu nenek sihir di mall," lapor Dila saat aku baru selesai mandi. "Kamu tahu nggak dia tadi belanja apa?"

"Ya mana aku tahu? Kan kamu yang lihat."

Dila berdecak sambil menjentikkan jarinya. "Dia beli tas seharga 65 juta."

Mataku melotot tidak percaya. Bukannya prihatin atas keadaan perekonomian suaminya, malah berfoya-foya. Pagi ini saja Papa Mario geram karena aku menanyakan soal uang perusahaan yang tidak jelas kemana mengalirnya. Belum lagi pajak usaha yang belum dibayar.

"Ibu tiri kamu tuh bener-bener sok borjuis banget."

Dalam hati aku membenarkannya. "Tunggu aja, bentar lagi juga bakalan bingung nggak bisa belanja."

"Btw, kamu mau kemana?" tanya Dila dengan menatapku heran. "Kencan sama Aidan?"

"Nggak." Aku melepas bathrobe-ku dan memakai sebuah dress hitam selutut dengan model off the shoulder. "Aku diajak ke party bosnya. Katanya mereka habis menang tender."

"Trus gimana hubungan kalian? Kamu masih nolak dia?"

"Bukan nolak, Dil. Cuma butuh waktu aja. Lagian aku juga belum ketemu sama papa kandungku kan?"

Dila memutar bola matanya jengkel. "Yaelah, Na, Na ... Keburu karatan itu punyanya Aidan nungguin kamu mau ditusuk."

Aku melongo mendengar kosakata yang diucapkan Dila.

"Nggak usah sok bego deh. Emang kalian nggak pernah cicip buat celup-celup gitu?"

Aku bergidik. "Teh kali, Dil?"

"Susah ngomong sama perawan lapuk kayak kamu."

Lama-lama aku jengkel juga. Aku meraih bathrobe-ku yang tergeletak di tempat tidur dan melemparnya ke muka Dila.

"Anjir! Sialan kamu, Na!"

Dila mengejarku sambil melotot sementara aku tertawa menghindarinya dengan naik ke atas tempat tidur. Dengan cepat aku mengambil bantal dan mengayunkannya ke muka Dila. Tidak mau kalah, Dila juga mengambil bantal, membalasku. Jadilah kami perang bantal. Tawa kami pun memenuhi kamar. Hal yang membahagiakan jika dibandingkan keadaan beberapa bulan yang lalu.

.
.
.

Cut

Cut

Cut

.
.
.

Versi lengkapnya ada di KK😁

Sweet StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang