our first love 12 : NAURA

93 7 0
                                    

KEPINGAN MEMORI

Seorang wanita memangku gadis kecil berambut panjang. Usianya hampir dua tahun. Gumaman lagu wanita itu membuat sang gadis kecil tersenyum.

"Ini Papa."

Wanita itu menunjukkan sebuah foto dirinya dengan seorang pria. Di foto itu, keduanya tampak bahagia.

"Coba Naura panggil Papa."

Gadis kecil itu menatap si wanita tidak mengerti.

"Papa."

"Papa."

Kata itu membuat wanita itu bertepuk tangan.

"Naura ingat ya, ini Papa. Naura harus cari Papa. Oke?"

"Oke."

Setelahnya wanita itu mendekap gadis kecilnya erat.

***

"Ngapain sih kamu selalu ngomongin orang yang sudah mati?"

"Nggak, suamiku masih hidup."

"Dia sudah mati kecelakaan. Mobilnya aja masuk jurang. Kamu lihat sendiri kan mobilnya hancur?"

"Nggak, dia masih hidup. Jasadnya belum ditemukan."

"Suamimu sudah mati, Evelyn."

"Nggak." Wanita bernama Evelyn itu meraih dan menggendong gadis kecil yang sejak tadi memeluk pahanya. "Naura harus tahu siapa ayahnya."

"Sekarang aku ayahnya."

"Nggak. Kamu hanya pamannya yang terpaksa menikahiku karena permintaan Papa."

"Percuma saja kamu menceritakan orang yang sudah mati pada anak kecil. Itu akan menjadi mimpi buruk untuknya."

"Kamu salah, Mario. Aku yakin Naura akan bertemu ayahnya suatu saat nanti."

"Lanjutkan saja mimpimu. Orang yang sudah mati nggak akan hidup lagi."

***

"Kamu yakin dia benar-benar Derry?"

...

"Di mana dia?"

...

"Dia benar-benar menyusahkan. Kenapa dia nggak mati saja waktu itu?"

...

"Sekarang aku harus memikirkan cara lain untuk menyingkirkannya. Aku nggak mau dia merusak rencanaku."

...

"Jangan menerorku dengan pernikahan terus. Aku sedang pusing. Evelyn juga menyusahkanku. Diam-diam dia menyewa orang untuk menyelidiki kasus Derry."

...

"Ya, kamu benar. Kita lenyapkan dia juga secepatnya."

Mario terhenyak saat berbalik. Matanya menatap tajam pada gadis kecil yang sedang menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Lenyapkan saja ibunya. Biarkan Naura tetap hidup. Siapa tahu dia ada gunanya nanti."

Mario mendekat dan berjongkok di depan kecil tadi setelah menyimpan ponselnya. "Tenang saja, aku nggak sekejam itu pada anak kecil."

***

"Kamu kenapa, Sayang?"

Mama Ara menatapku khawatir saat aku memijat pelipisku.

"Masih sakit kepalanya?"

"Nggak kok, Ma."

Aku menggeleng tersenyum. Kepingan memori itu kadang membuat kepalaku berdenyut. Sejak kepalaku terbentur aspal, ingatan masa kecil itu terbayang terus bahkan sangat jelas.

Ayahku, yang disebut Papa Mario dengan panggilan Derry itu ternyata atasan Aidan. Dalam ingatanku, Mama menunjukkan sebuah foto. Aku mengenali orang yang ada di foto itu dengan jelas. Lalu bagaimana aku membuktikan bahwa dia memang ayah kandungku? Aku juga tidak menemukan foto yang Mama tunjukkan saat lampau.

Di mana Mama menyimpannya?

Apakah Papa Mario melenyapkannya juga?

"Kak, barang-barang ini punya siapa?"

Aku mengernyit saat Maira menghampiriku dengan membawa sebuah kotak kardus kecil. Aku belum pernah melihatnya.

"Kamu nemuin di mana?"

"Di dalam lemari kecil dekat tempat tidur kakak."

"Lemarinya bisa kebuka?"

"Bisa kok. Kenapa?"

Sejak pertama aku tinggal di apartemen ini, lemari itu tidak bisa dibuka. Ini adalah apartemen milik Mama dulu, jadi aku pikir Mama memang menguncinya dan kuncinya pun tidak diketahui keberadaannya.

"Itu barang mamaku, makasih ya, Mai."

Maira mengangguk dan meletakkannya di dekatku. Mungkin nanti aku akan membukanya. Hari ini aku pindah ke rumah Opa. Aku berhasil membeli kembali rumah itu. Tuhan sangat menyayangiku, ada saja rezeki dari-Nya. Pendapatanku sebagai creator content musik meningkat begitu juga produktivitas perusahaan yang mati-matian ku perjuangkan. Jika saja tidak mengingat pembayaran pajak pendapatan, mungkin aku bisa lebih cepat mengambil kembali rumah itu.

Aku memperbarui sistem kerja dan kebijakan di perusahaan, menilai kinerja karyawan yang patut dipertahankan dan mengajak Maira masuk ke perusahaan. Fresh graduated sepertinya punya semangat tinggi. Walaupun kami seperti saudara tapi aku tidak bisa langsung memberinya posisi tinggi. Maira harus melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Untuk masuk di perusahaan milik Opa tidaklah mudah tapi Maira melewatinya tanpa hambatan. Untuk berikutnya, mungkin aku akan mengompori Azriel agar mau bergabung. Adik bungsu Aidan itu lebih suka fotografi daripada bekerja di belakang meja.

Aku mengambil barang-barang yang penting saja untuk ku pindahkan ke rumah Opa. Dibantu Mama Ara dan Papa Rezky, aku seperti mempunyai orang tua utuh.

Sejak aku mengungkap penggelapan uang perusahaan, Papa Mario menjadi murka. Tentu saja dia mengelak habis-habisan tapi aku sudah memegang buktinya. Aku tidak gentar melawannya bahkan terpaksa menurunkan jabatannya menjadi staff biasa. Dia bisa memilih, keluar dari perusahaan atau turun jabatan. Aku masih berbaik hati, mengingat dia juga yang membesarkanku. Jangan harap aku bisa melupakan bagaimana dia melenyapkan kedua orang tuaku dan Opa. Aku tidak akan membiarkannya bernapas seperti dulu.

Tante Ira datang ke apartemen sehari setelah aku menurunkan jabatan suaminya.  Aku yang capek dari pulang kerja hanya menatapnya tidak peduli sementara wanita itu mengumpat dan mengataiku anak tidak tahu diri.

Hah, anak siapa yang dia maksud?

Bodo amat!

.
.
.

Hampir pukul dua belas siang, Mama Ara baru menelepon.

"Naura, Mama ada di rumah sakit. Aidan kecelakaan saat perjalanan dari bandara. Lukanya nggak parah kok."

Aku terpekik. "Aku kesana sekarang, Ma."

"Hati-hati ya. Nggak usah buru-buru. Aidan baik-baik saja, cuma lagi nungguin bosnya. Kata dokter, kondisi luka bosnya cukup parah."

Seketika aku merosot lemas, terduduk di lantai. Gemetaran aku menutup panggilan itu. Mendadak mataku memanas.

Papa.

Bergegas aku berlari ke kamar. Mengambil tas dan memasukkan dompet juga ponselku. Tanpa memanaskan mesin mobil, aku melajukannya dengan cepat setelah memastikan pagar rumah tertutup.

Papa harus tahu bahwa aku adalah anak kandungnya.

Aku ingin memeluknya dan memanggilnya Papa.

.

.

.

Masih bersambung😊

Sweet StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang