BAB 15

10 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.............

"Ibu...."

"Hmmm"

"Eeeee....."

"Ada apa Fonix?".

"Aku... bermimpi sesuatu Bu". Ucapnya bohong karena ragu ingin menanyakan suatu hal pada ibunya.

"Apa yang kau mimpikan hmm?...kenapa ibu jadi penasaran dengan ekspresimu". Tanya Arachi yang masih sibuk membereskan alat makeup miliknya.

"Dimimpiku aku melihat seorang wanita yang mirip denganku dan mengaku bahwa dia....saudara kembar ku". Fonix mencoba merangkai kebohongan lagi pada ibunya, tentu saja dengan was was.

Arachi berhenti melakukan kegiatannya, hening seketika menyelimuti keduanya. Arachi menatap lurus ke arah cermin dan dapat dilihat dengan jelas oleh Fonix bahwa ibunya hanya memiliki tatapan kosong.

"Mimpi hanya bunga tidur Fonix". Arachi dengan segala upaya ingin putrinya melupakan mimpi itu.

"Tapi untuk kita bukankah ada kalanya mimpi itu jadi sebuah petunjuk?".  Tidak tau pikiran dari mana Fonix bisa berkata seperti itu padahal semua yang ia bicarakan saat ini hanya kebohongan semata.

"Ada kalanya.....itu berarti kemungkinan besarnya bahwa mimpimu hanya bawaan oleh sesuatu yang kau lihat".  Seperti tau apa yang ada dipikiran putrinya Arachi mengasumsikan bahwa pembicaraan saat ini bukanlah tentang mimpi melainkan sesuatu yang Fonix lihat dalam keadaan sadar.

Fonix hanya diam menanggapi ibunya. Sedikit kecewa memang tapi untuk apa ibunya berbohong tentang saudarinya. Jika memang benar Fonix punya saudari lalu untuk apa mereka menyembunyikannya.

                      🍄🍄🍄🍄

Setelah makan siang Verlin dan Sean pergi ke taman kota untuk jalan jalan. Bukankah tampak seperti kencan untuk mereka?. Banyak bangku panjang ditaman dan mereka memutuskan untuk duduk disalah satunya.

Angin sejuk berhembus padahal baru beberapa saat lalu matahari begitu terik. Verlin belum terbiasa dengan Sean oleh karenanya ia sama sekali tak bersuara sepanjang perjalanan.
Hanya sesekali matanya melirik pada Sean yang memasang wajah datar.

Sungguh mau bagaimanapun ekspresi wajahnya, Sean masih tetap sama. Dia tampan dan juga berkarisma, entah saat tersenyum pada orang orang ataupun dengan pandangan datar pada Verlin. Itu sama sekali tak merubah apapun.

"Aku tau" ucap Sean tiba tiba memecah keheningan.

"Tau apa?" Tanya Verlin penasaran.

"Aku tampan...jangan terus menatapku seperti kau akan memakanku".

Sungguh Verlin ingin menghilang saat ini juga. Rasa malu tergambar jelas, pipinya merona dan secara alami mengeluarkan blush on tanpa bentuk.

"Aku tidak melihatmu". Sangkalnya ingin membela diri.

Bloody Month (black calendar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang