Tidak seperti janji mereka untuk pergi ke pasar malam, keduanya justru asik di kamar dan menonton film. Bukannya apa, tapi karena hujanlah yang menjadi penghalang Harza dan Jean untuk pergi berkencan. Alhasil, Harza hanya mengajak Jean untuk menonton netflix.
Posisi keduanya saling mendekap, dengan tangan kiri Harza sebagai bantalan Jean. Suasana kamar yang temaram, dengan sebuah film bergenre romantis tentu membuat Harza sedikit bosan. Jadilah ia hanya memainkan pipi si manis, dan beruntungnya Jean sedang dalam mode jinak.
"Je, gue boleh nanya ngga sih?" Harza mulai membuka suara. Takut-takut si manis tidak menjawabnya.
Tapi diluar dugaannya, Jean mendongak menatapnya. "Apa, kak Azaa?"
Harza terkekeh gemas melihat wajah kekasihnya. Ia mengecupi seluruh permukaan wajah Jean, membuat si empunya tertawa geli.
"Udah ih, kak Azaa! Tadi katanya mau nanya. Jadi, mau nanya apa, kakak sayang?"
Mendengar ada kata sayang dari mulut Jean, tentu saja membuat Harza menghentikan aksinya mengecupi pipi Jean.
"Tapi Je, pertanyaannya bakal sedikit nyinggung lo. Gapapa nih?" Jean hanya menganggukan kepalanya, menunjukan bahwa ia setuju-setuju saja.
"Lo sama Jinan itu adik kakak kandung atau bukan?"
Jean menyamankan posisinya. Menatap tepat di netra kembar Harza.
"Aku sama kak Jinan itu satu Papa, beda Mama. Waktu itu, Papa Bram masih berstatus sebagai suami dari Mamanya kak Jinan. Tapi karena ada suatu masalah yang bikin Bunda ikut ketarik ke dalam lingkup itu, maka jadilah hal yang ngga diinginkan. Waktu itu, Papa dalam keadaan mabok, gitu juga sama Bunda. Jadilah, mereka melakukan hal itu. Dan tentu aja di belakang Mamanya kak Jinan. Setelah dua bulan berlalu, Bunda hamil. Dan Mama Ziva pun tahu yang sebenarnya. Mama marah besar, dan sempat ngga terima. Tapi karena Mama tahu kalau ternyata semua itu jebakan dari bawahan Papa, jadinya Mama mulai belajar nerima kehadiran Bunda dan aku."
Harza mengangguk singkat. Pasti sulit sekali bagi mereka waktu itu. Terlebih semuanya terjadi karena disengaja oleh oknum tidak bertanggung jawab.
"Saat itu, aku cuma tinggal sama Bunda. Bunda yang berjuang sendirian buat aku. Bunda berusaha mencukupi semua kebutuhan aku. Banting tulang, kerja sana sini, pergi pagi dan pulang habis maghrib, bawa aku ke tempat kerjanya pula. Ngga ada yang tau segitu beratnya perjuangan Bunda buat aku. Sampai diumur tiga belas tahun, Papa datang ke rumah, nemuin Bunda. Beliau ijin ke Bunda untuk bawa aku tinggal di rumahnya. Katanya, mau sekolahin aku dengan layak. Jelas aku takut. Selama tiga belas tahun ngga tau bentukan Papaku kayak gimana, terus tiba-tiba ada orang yang ngaku sebagai Papa bikin aku was-was sendiri. Tapi atas ijin dan bujukan Bunda, aku jadi ikut Papa."
"Waktu pertama kali datang dan napakin kaki di rumah Papa tuh, rasanya beda banget. Aku yang udah terbiasa hidup sederhana di kampung, jadi pindah ke kehidupan yang terlalu mewah menurutku. Dan disitulah aku ketemu sama kak Jinan. Umurnya enam belas tahun waktu itu. Jelas dia bingung, dari tatapannya udah benci banget ke aku selepas Papa jelasin semuanya. Mama Ziva juga begitu. Beliau ngga nerima kalau aku tinggal disana. Tapi, aku tetap yakinin Mama, kalau aku pantas buat tinggal disana."
Jean mengambil napas sebentar, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
"Mama yang tadinya kasar sama aku, akhirnya luluh. Beliau nganggap aku selayaknya anak sendiri. Disanalah kak Jinan makin benci sama aku. Dia ngga segan buat bully aku di sekolah, bahkan di rumah. Dia bilang, aku cuma anak haram yang jadi perusak keluarganya. Aku ngga bisa ngelawan. Aku takut, takut makin jauh dari kakakku. Selama ini aku selalu berharap untuk punya kakak. Aku pengen banget ngerasain disayang sama kakak, dimanja sama kakak, sampai aku tau kalau aku punya seorang kakak laki-laki."
"Tapi sayangnya, aku butuh perjuangan untuk semuanya. Bahkan sampai sekarang, kak Jinan masih ngga mau lihat ke arahku."
Harza tersenyum tipis. Tangannya terulur mengusap bulir air mata di pipi Jean.
"Dan dua tahun berlalu, Mama pergi karena sakit. Semenjak Mama pergi, kak Jinan jadi makin kasar ke aku. Bertindak semaunya. Bahkan ngga biarin tubuhku bersih untuk sehari aja. Semenjak Mama pergi, Papa juga jadi workaholic. Ngga pernah ada waktu buat aku sama kak Jinan. Padahal, aku ngga masalah kalau Papa ngga ada waktu buat aku. Tapi kak Jinan? Aku cuma pengen Papa kayak dulu lagi ke kakakku, kak. Tapi nyatanya, semuanya berubah. Papa yang jarang pulang, dan kak Jinan yang makin dingin. Dan sekarang, aku cuma punya Bunda. Tapi tugasku untuk jaga kak Jinan, masih harus berjalan. Mama nitipin kak Jinan ke aku. Jadi, mau ngga mau, aku harus bisa bertahan buat kak Jinan."
Setelah si manis menyelesaikan ceritanya, Harza kembali mendekap tubuh yang lebih kecil darinya. Memberikan usapan di punggungnya, berharap tangisan si manis mereda.
"Maaf, kesannya gue malah maksa lo buat buka luka lo."
Jean menggeleng. "Ngga, kak. Aku justru senang karena kakak mau tau ceritaku. Setelah ini, jangan tinggalin aku ya kak. Aku cuma punya Bunda sama kak Azaa."
Harza mengangguk mantap. Dalam hati, ia berjanji untuk selalu ada disamping si manis. Apapun keadaannya.
"I promise you, Jeananta."
•
•Selamat memahami isi dari chapter ini, guys. Buat yang nanya, silsilah keluarga Jean tuh gimana sebenarnya, ada disini ya penjelasannya..
Enjoy this book, y'all 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable
Roman pour AdolescentsDua insan dengan latar yang berbeda, apakah mungkin bisa bersama?