Setelah penolakan sebelumnya, Bram tidak pernah berhenti mendapatkan atensi putra bungsunya. Ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah Rossa. Entah itu hanya untuk membawakan beberapa makanan, atau sekedar mengobrol ringan dengan Rossa perihal Jean. Dan selama dua bulan ini, sifat Jean mulai berubah sedikit demi sedikit. Jika tadinya ia seperti tidak sudi melihat wajah ayahnya, kini ia mulai mencoba membuka hati untuk menerima kehadiran pria itu.
Seperti sekarang, ia sedang mengerjakan tugas di ruang tamu. Ditemani dengan Bram tentunya. Keduanya asik mengobrol acak, mulai dari makanan kesukaan, sampai hal-hal yang keduanya takuti. Hingga tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Hingga Rossa datang, membuat kegiatan ayah dan anak itu terhenti.
"Ini sudah larut, Mas. Lebih baik kamu pulang dulu."
Mendengar itu, mau tak mau Bram bersiap untuk pulang. Namun sebelumnya, Jean menahan pergerakannya.
"Ayah, apa boleh Jean ke rumah Ayah? Jean mau ketemu kakak."
Bram mengangguk. "Tentu boleh, Jean. Besok Ayah jemput ya. Kamu siapin aja keperluan kamu."
Senyum Jean terbit. Ia mengangguk dengan semangat. Tangannya melambai ketika mobil Bram mulai menjauhi pelataran rumahnya.
Jean beralih menatap Rossa. "Bunda.."
Rossa yang mengerti perasaan anaknya pun segera memeluknya. Memberi usapan penenang di punggung lebar itu.
"Kok jadi sedih sih? Besok kan mau ketemu kakak. Jean siapin baju gih. Habis itu tidur, jangan begadang."
Jean hanya mengangguk. Ia mengecup kedua pipi Rossa sebelum melangkah ke kamarnya.
"Hah.. Anak itu benar-benar menggemaskan. Bunda ngga mau kehilangan Jean, tapi Bunda juga ngga mau egois dengan nahan Jean disini. Jean pasti kangen sama Ayah, kan? Bunda hanya berharap yang terbaik untuk kamu, Jeananta."
Audi hitam milik Bram mulai memasuki pelataran rumah bergaya mewah dengan suasana yang terlihat asri. Jean turun dari kursi penumpang, netranya tak berhenti memancarkan binar takjub melihat semua hal di depannya.
"Wah.. Besar banget rumahnya. Jeje bisa main lari-larian nanti," ucapnya yang tak sengaja didengar oleh Bram.
Ia terkekeh mendengar ucapan si bungsu. "Ayo masuk. Kita ketemu sama kakak dan Mama."
Jean hanya menurut saja ketika Bram mulai menuntunnya memasuki rumah tersebut. Bisa ia lihat, beberapa pelayan menundukan kepalanya ketika berpapasan dengan Bram. Sungguh, ini seperti mimpi. Jean tidak menyangka akan dibawa ke rumah bak istana seperti ini.
"Papa?"
Bram tersenyum melihat putra sulungnya turun dari lantai dua. Dilihatnya, si sulung sudah rapi dengan pakaian santainya.
"Mau kemana, Ji?"
Jinandra, putra pertama Bram itu hanya menampilkan raut datarnya. "Kerja kelompok."
Pandangannya teralih pada sosok di belakang tubuh sang ayah. "Dia siapa?" tanyanya.
Jean yang melihat itu pun tersenyum. Ia mengulurkan tangan ke arah Jinan. "Halo, kakak! Aku Jeananta Valda Aramasta, adik kak Ji."
Jinan tertawa sarkas seraya menepis tangan Jean. "Oh, jadi ini anak dari jalang itu?"
Jean menundukan kepalanya. Sejujurnya ia tidak menyangka akan mendapatkan kalimat sesarkas itu dari kakaknya. Ia pikir, Jinan akan menerimanya dengan baik, tapi ternyata tidak.
"Jaga ucapanmu, Jinandra."
"Papa suruh aku jaga ucapan? Papa jaga hati ngga buat Mama? Jangan harap aku mau nerima anak dari jalang itu ya, Pa."
Jinan berlalu begitu saja. Tidak mempedulikan apa akibat yang akan diterima oleh Jean nantinya.
Bram menghela napas, lantas mengusap surai Jean. "Maafin kakakmu ya, Je."
"Ngga papa, Yah. Kak Ji cuma kaget mungkin." Jean menampilkan senyumnya, seolah memberitahukan pada sang ayah jika ia baik-baik saja.
"Yaudah, sekarang Jean ke kamar, ya. Biar Ayah antar."
Keduanya mulai melangkah menapaki anak tangga menuju lantai dua rumah tersebut. Jean tak hentinya menatap takjub pada beberapa ornamen rumah yang terlihat sangat mewah.
"Mas? Udah pulang?"
Bram tersenyum ketika mendapati istrinya yang baru saja keluar kamar.
"Iya, sayang."
"Ini siapa?" Zivanna, istri sah Bram itu menatap intens ke arah Jean.
"Dia anakku dan Rossa, Zi."
Zivanna tertawa lirih. Apa lagi ini? Suaminya membawa seorang anak yang terlahir dari rahim seorang penggoda? Dan lagi, sudah berapa lama ia tidak mengetahui kebenaran ini? Bahkan hingga anak itu sudah remaja, suaminya baru membawanya kemari?
"Apa maksud kamu bawa dia kesini?"
"Jean akan tinggal bersama kita disini, Zi. Aku mau memperbaiki kesalahanku dan bertanggung jawab penuh ke Jean."
Jean hanya bisa menatap marmer di bawahnya. Dua orang dewasa itu masih terus berbicara. Jean hanya takut jika nantinya, ia akan dicerca lagi oleh istri ayahnya itu.
"Gila kamu? Buat apa kamu ajak si anak jalang ini tinggal disini?"
"Zi, dia punya nama. Ngga seharusnya kamu manggil Jean seperti itu."
Zivanna mengibaskan tangannya, seolah memberitahu jika ia tidak peduli. Lantas ia melangkah menjauhi dua orang itu. Menyisakan Jean dan Bram disana.
"Je, Ayah minta maaf atas nama kakak dan Mama mu."
Jean tersenyum dan memeluk sang ayah. "Ngga papa, Ayah. Ayah ngga perlu minta maaf. Jean akan buktiin ke kakak sama Mama Zi, kalau Jean pantas untuk tinggal disini bareng kalian."
Mendengar hal itu, Bram segera membalas pelukan anaknya. Mengusap surai lembut Jean.
"Ayah janji akan selalu disini sama Jean."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable
Teen FictionDua insan dengan latar yang berbeda, apakah mungkin bisa bersama?