Hari demi hari Jean lalui dengan kesendiriannya. Nyatanya, rumah besar ini tidaklah cocok untuk Jean. Ia selalu merasa sepi, meskipun Papanya berkata bahwa ia memiliki saudara, tapi nyatanya Jean hanya sendiri. Kehidupannya berbanding terbalik dengan dulu. Jika ia boleh memilih, ia lebih memilih untuk tinggal di desa saja bersama bunda. Walaupun bunda selalu bekerja dari pagi sampai sore, tapi Jean tidak pernah merasa sendiri. Teman-temannya selalu datang menemaninya bermain, tidak seperti sekarang. Disini ia memang terpenuhi keinginannya, tapi ia tidak memiliki teman bermain.
Jean yang mulai bosan dengan mainannya pun segera melangkah keluar kamar. Dilihatnya ke arah dapur, dan netranya menangkap siluet seorang wanita dengan gaun selutut sedang berkutat dengan alat masaknya.
Dengan ragu, Jean melangkah menghampirinya.
"M-ma?"
Tak disangka, wanita itu menoleh ke arah Jean.
"Eh, Jean udah bangun? Jean lapar?"
Jean menggeleng. "Jean mau bantu Mama, boleh?"
Zivanna yang melihat keluguan Jean pun tersenyum manis. Ia mengusap lembut putra tirinya.
"Jean beneran mau bantu Mama? Jean bisa memangnya?"
Jean mengangguk. Ia masih sedikit takut jika berhadapan dengan Zivanna.
"Yaudah deh, sini bantuin Mama. Jean bantu potongin sayurannya aja ya. Bisa kan?" dengan cekatan, Zivanna mengambil beberapa sayuran yang akan dipotong dan meletakannya di depan Jean.
Jean mengerjapkan mata. Sejujurnya ia belum pernah memotong sayuran. Memegang pisau pun belum pernah. Bundanya tidak pernah mengizinkan Jean untuk membantu di dapur.
Zivannya hanya bisa tersenyum melihat Jean. Ia pun segera mengambil alih pisau di hadapan Jean. Dipegangnya tangan Jean, lantas ia bantu potongkan sayuran itu.
"Seperti ini, Jean. Jean bisa kan?"
Seulas senyum terbit di bibir Jean. "Mama, Jean bisa memasak sekarang," ucapnya penuh semangat.
Zivanna terkekeh pelan mendengarnya. "Nah, sekarang Jean lanjutkan ya. Mama mau membuat bumbunya dulu."
Zivanna kembali membuat bumbu masakan, dan Jean asik memotong sayuran. Sampai beberapa menit kemudian, suara Jean mengundang atensi Zivanna. Dilihatnya jemari Jean sudah penuh darah.
"Ya ampun, Jean, aduh kok bisa begini sih?" dengan panik ia mendekat ke arah Jean. Ia tuntun sang putra menuju westafel, membasuh luka Jean.
"Aduh Adek, lain kali hati-hati dong. Jadi berdarah kan. Ih kamu mah bandel emang. Harusnya ngga usah bantuin Mama tadi."
Jean hanya diam memerhatikan Zivanna yang sedang menggerutu. Hatinya menghangat. Akhirnya, setelah 6 bulan lamanya ia tak terlihat di mata Zivanna, kini ia bisa mendengar kekhawatiran Zivanna.
"Mama, Adek ngga papa. Itu cuma luka kecil."
Zivanna menghela napas lelah. "Yaudah, sekarang kamu tunggu di ruang tamu aja. Sebentar lagi Abang pulang, kamu bisa main sama Abang nanti."
"Okay, Mama. Jean tungguin Abang ya."
Bocah berusia 14 tahun itu berlari menuju ruang tamu selepas mencuri satu kecupan di pipi sang ibu.
"Aduh, gemes banget, Jeananta.."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sesuai dengan ucapannya, Jean benar-benar menunggu Jinan pulang. Entah berapa lama ia menunggu, bahkan hingga dirinya terlelap diatas sofa.
Hingga 30 menit kemudian, suara motor Jinan mulai terdengar memasuki pekarangan rumah. Disusul dengan mobil sang ayah.
"Baru pulang, bang?" Jinan hanya mengangguk. Ia melangkah di belakang sang ayah.
"Eh, kok pulangnya barengan?" tanya Zivanna yang baru saja selesai menyiapkan masakannya.
"Aku latihan basket dulu tadi, Ma."
"Iya kerjaan Papa udah selesai semua, Ma."
Zivanna tersenyum mendengarnya. "Yaudah, mandi gih. Mama udah masak banyak makanan buat kita berempat."
"Berempat?"
"Iya. Kamu, Mama, Papa, dan Adek."
Jinan mendengus sebal. Apa-apaan itu? Adek? Bahkan Jinan tidak pernah mengharapkan kehadiran anak haram itu.
"Kamu udah bisa nerima Jean, Zi?"
Zivanna mengangguk. "Iya, Mas. Lagipula, ngga ada salahnya kan kalau dia aku anggap sebagai anak sendiri. Toh, aku udah ngga bisa punya anak lagi."
Senyum bahagia muncul di wajah Bram. Ia membawa sang istri ke dalam dekapannya. Dikecupnya surai karamel itu.
"Makasih ya, Zi. Makasih karena mau nerima kehadiran Jean disini."
Zivannya bergerak membalas pelukan Bram. "Sama-sama, Mas. Jean itu anak kamu, berarti anakku juga."
Jinan tak berbohong. Ada rasa tak suka ketika Zivanna menyebut bahwa Jean anaknya juga. Tapi disisi lain, ia jadi berpikir, mungkinkah ia harus membuka hati untuk adik tirinya itu? Atau justru, ia harus membuat Jean menderita lagi disini?