Sorakan menggema diantara deru motor yang bersahutan. Arena balapan malam ini terasa lebih ramai dari biasanya. Entah karena mereka semua butuh hiburan, atau karena memang jagoan mereka lah yang turun untuk balapan.
Seorang lelaki berusia 18 tahun itu dengan santainya melaju ke garis finish, menyisakan beberapa pemain di belakangnya. Tentu saja suara sorakan kian bergemuruh, terlebih ketika para penonton mendapati si pemenang mulai membuka helm fullfacenya.
Namun si tampan tidak peduli, ia berjalan menuju sahabat-sahabatnya yang menunggu di tribun arena.
"Emang ngga perlu diragukan lagi, lo." si tampan hanya terkekeh, sebelum ber-tos ria dengan kelima sahabatnya.
"Hasil taruhannya gimana? Lo yang megang kan, Za?"
Si tampan, dengan nama panjang Harza Arsenio Ghaisan itu menggeleng. "Kalian ambil deh. Setengahnya sisihin untuk ke panti, setengahnya lagi untuk kalian. Anggap aja bayaran sebagai pelatih." sontak kelimanya tertawa mendengar ucapan Harza.
"Sialan lo." gerutu si paling tua disana, Jinandra Yehezkiel Aramasta. "Lo semua jadi ke rumah gue, ngga?" tanyanya.
"Jadi lah, lagian gue bosan di rumah." sahut Juna, Arjuna Bagas Aksara.
"Yaudah yuk cabut." Harza berjalan mendahului mereka, mengambil motornya, dan melaju bersama kelima sahabatnya menuju rumah Jinan.
Lelaki bermarga Aramasta itu tidak hentinya berjalan kesana dan kemari seraya menggigiti kukunya. Rasa khawatirnya sangat besar sekarang. Ia sangat mengkhawatirkan kakak tirinya di luar sana. Bukan karena apapun, ia hanya takut jika sesuatu buruk terjadi pada anak kandung dari mendiang Papanya itu.
Selang beberapa menit, suara pintu mulai terbuka, disusul dengan beberapa orang memasuki rumah. Jean tersenyum, itu pasti kakaknya. Ia pun melangkah menuju ruang tamu, dan mendapati sang kakak bersama lima orang lainnya.
"Kak Jii?" panggilnya.
Sosok yang dipanggil itu hanya menoleh dengan wajah datar, seolah tidak tertarik untuk mengucapkan sepatah kata pun pada adiknya.
"Kakak dari mana aja? Kenapa baru pulang? Kakak udah makan?" tanyanya bertubi-tubi, membuat beberapa manusia lainnya menoleh kearahnya.
"Ngga usah sok peduli deh lo. Mending balik ke kamar, ganggu banget," sarkasnya.
Jean hanya tersenyum miris. "Iya, Jean balik ke kamar ya, kak. Makan malamnya udah Jean siapin, kalau kakak sama teman-teman kakak mau makan, silakan ambil sendiri ya. Selamat malam, kak Jii."
Jean kembali ke kamarnya, menyisakan Jinan dan teman-temannya. Namun tanpa Jean tau, ada sepasang mata yang menatap lekat punggungnya.
"Kok ada orang semanis dan segemas itu sih anjir? Dia siapanya Jinan ya?"
Pandangan Harza tak lepas dari Jean. Entah, semenarik itu Jean dimata Harza.
Melihat sepupunya termenung dengan senyum tipis di bibirnya, Juna pun menyikutnya pelan, membuat Harza menolehkan pandangannya dan mengerutkan dahi.
"Lo kenapa, anjir? Diem gitu. Kesambet penunggu rumah Jinan, lo?" tanyanya seraya bergidig ngeri menatap Harza.
"Sialan. Ya kali gue kesambet."
"Lah terus ngapain diem?"
Harza menghela napasnya. "Cowok yang tadi manis banget."
Juna terkekeh pelan mendengarnya. Jadi karena hal itu, si mulut pedas itu terdiam. Bisa juga dia kepincut sama yang lain, Juna kira Harza anti romantik.
"Mending ke kamar gue aja lah, tidur di sana." Jinan melangkah terlebih dahulu, disusul oleh yang lainnya.
Tapi tidak dengan Harza. Ia lebih memilih memainkan ponselnya di ruang tamu. Bukannya apa, ia sedang memeriksa beberapa proposal, takutnya ia malah terganggu dengan suara teman-temannya.
Entah sudah berapa lama Haeza berselancar di sosial media, hingga derap langkah terdengar menuruni tangga rumah megah itu.
Harza menoleh, mendapati si manis tengah berjalan menuju dapur. Ia pun tersenyum, dan mengikuti langkah si manis.
"Hai."
Si manis yang tengah menikmati minumnya pun menoleh, menatap Harza bingung.
"Kok lo belum tidur?" tanyanya.
Jean hanya tersenyum simpul. Tangannya meletakan gelas di atas pantry, dan menatap Harza. "Masih nugas," jawabnya.
Harza mengangguk. "Nama lo siapa?"
"Jean. Jeananta Valda Aramasta."
"Lo.. Siapanya Jinan?"
"Aku adik tirinya kak Jii. Kamu temannya kak Jii?"
Jantung Harza berdesir mendengar suara sosok di depannya. Terdengar sangat lembut ketika bersuara.
"Iya, gue temannya bang Jinan."
"Nama kamu siapa?"
"Harza. Harza Arsenio Ghaisan."
Netra Jean kian berbinar. "Wah, namanya bagus banget. Kamunya juga tampan."
Harza terkekeh geli. Tangannya refleks mengacak gemas rambut si manis. "Lo lucu."
Oh tidak, pipi Jean memanas. Apa artinya ini? Jantungnya juga berdetak lebih cepat dari biasanya. Apa Jean akan mati setelah ini?
Tanpa sadar, Jean mengerucutkan bibirnya. Membuat pemuda Arsenio menoleh ke arahnya.
"Kenapa, lo?"
"Uhm, kayaknya aku bentar lagi meninggal deh. Jantungku berdebarnya keras banget, Azaa.."
Lepas sudah tawa Harza. Adik Jinan ini sangat polos ya rupanya.
"Lo lucu banget. Jadi pacar gue aja, yuk. Mau ngga?"
"Eh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable
Подростковая литератураDua insan dengan latar yang berbeda, apakah mungkin bisa bersama?