Flashback

770 94 0
                                        

Kaki jenjangnya melangkah menyusuri setapak jalan menuju rumahnya. Senyumnya tak pernah berhenti tergambar di ranum merah miliknya. Beberapa sapaan terlontar seiringan dengan bungkukan badan tatkala ia bertemu dengan orang lain.

Jean, sosok berumur 13 tahun yang baru saja pulang dari sekolah itu akhirnya tiba di depan rumahnya. Namun segaris kerutan terlihat di dahinya. Jelas ia bingung ketika melihat sebuah mobil Audi hitam terparkir apik di pelataran rumahnya. Mobil siapa ini? Bukan mobil Bunda. Atau mungkin ada tamu tetangga yang parkir di depan rumahnya? Eh tapi, siapa?

Terlepas dari pikirannya, ia mengedikkan bahunya dan kembali melangkah memasuki rumah sederhana milik sang Bunda.

"Bunda? Jeje pulang.."

Jean tersenyum kikuk ketika mendapati Bunda sedang mengobrol dengan pria yang mungkin usianya tidak terpaut jauh dengan Bunda.

"Nah, itu anaknya pulang. Kamu bicara dulu sama Jean. Dan tolong jangan lakukan apapun jika anakku ngga percaya sama kamu."

Bunda Jean, Rossa, mengecup singkat pipi sang putra, dan menyuruh putranya untuk duduk berhadapan dengan pria itu. Mau tak mau, sebagai anak baik, Jean pun menuruti ucapan Bunda.

"Jeananta Valda Aramasta?"

Jean tersenyum lebar. "Itu nama Jeje, Om. Uhm kalau boleh tau, Om siapanya Bunda ya? Kok ada di rumah Jeje? Terus kenapa Jeje disuruh kesini? Apa Jeje ada salah sama Om?"

Pria itu terkekeh kecil mendengar berbagai pertanyaan tertuju padanya.

"Saya Bram Aramasta."

Jean sedikit memiringkan kepalanya ketika dirinya merasakan ada sedikit kejanggalan dari jawaban teman Bundanya itu.

"Bentar deh Om. Kok marga kita sama?"

Bram tersenyum maklum. Pasti Jean sangat bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya sekarang.

"Saya Ayahmu, Jean. Orang yang selama ini kamu tunggu untuk pulang. Saya-"

Tak disangka, Jean tertawa kecil. Matanya tidak bisa berbohong. Dua netra kembarnya itu menampilkan linangan air mata yang siap tumpah kapanpun.

Hatinya sedikit berdenyut kala mengetahui siapa sosok di hadapannya sekarang. Ayahnya? Benarkah sosok ini adalah Ayahnya? Sosok yang telah meninggalkan dia dan Bunda ditengah rasa sakit dan kesulitan? Sosok tidak bertanggung jawab atas semua perbuatannya? Sosok yang celakanya, selalu ditunggu kehadirannya oleh Jean. Sosok yang selalu terngiang dalam pikiran Jean ketika membahas perihal kepala keluarga. Dan sekarang, sosok itu ada di depannya setelah 13 tahun lamanya. Apa yang ia inginkan sebenarnya?

"To the point aja, Yah. Ayah mau apa?"

Bram sedikit tersentak mendengar ucapan sang putra. Tidak ia sangka, nada dingin itu terlontar dari putra bungsunya.

"Jean, sebelumnya, Ayah mau jelasin tentang-"

Jean menggeleng. "Ngga, Ayah ngga perlu jelasin apapun ke aku. Cukup kasih tau ke aku, apa alasan Ayah datang ke rumah Bunda. Aku ngga suka bertele-tele."

Bram kembali menghela napas beratnya. Ia mencoba menggenggam tangan si bungsu. Tangan yang tak pernah ia genggam sejak kelahirannya, bahkan tidak pernah ia tunggu kehadirannya. Sejenak ia menatap ke wajah sang putra. Beberapa ikon wajahnya sangat mirip dengannya. Bram tersenyum dalam hati. Walau kehadirannya saat ini mungkin hanya dianggap petaka oleh Jean, tak apa. Setidaknya ia sudah menemukan keberadaan putranya.

"Jean mau ikut sama Ayah?"

"Ikut kemana?"

"Ke rumah Ayah, Jean."

Dapat Bram lihat, kilatan itu kian nyata dalam netra Jean. Seolah tidak setuju dengan permintaannya.

"Tidak. Ini rumah aku."

Bram tersenyum. Tangannya bergerak mengusap lembut surai Jean.

"Jean, Ayah minta maaf sebelumnya. Ayah cuma mau memperbaiki semuanya. Ayah ngga mau kepisah lagi sama Jean. Ayah-"

"Lantas bagaimana dengan Bunda nantinya? Aku diasuh oleh Bunda sejak kecil. Rumahku disini, bersama Bunda. Aku ngga mungkin ninggalin Bunda sendirian disini. Dulu aku memang rindu kehadiran Ayah. Tapi sekarang, aku sadar, ngga semuanya harus kembali dalam dekapanku. Aku ngga mau ninggalin Bunda."

Selepas mengatakan itu, Jean segera berlari menuju kamarnya. Menyisakan Bram di ruang tamu. Lelaki itu menundukan kepalanya.

Benar apa kata Jean. Tidak semuanya harus kembali ke dalam dekapannya. Seharusnya Bram menyadari, bahwa dirinya tidak berarti apapun untuk Jean. Putra bungsunya pasti merasakan semua ketidakadilan selama ini. Pun dengan Rossa. Kesulitan pasti datang padanya selama 13 tahun.

Tak hanya itu, dulu juga ia seolah tidak peduli dengan Rossa. Ia bahkan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungan itu. Namun nyatanya, Rossa justru memilih untuk dikeluarkan dari keluarganya, dibanding membunuh nyawa tak bersalah. Memang sudah seharusnya Bram mendapat penolakan seperti ini. Jika dibandingkan dengan pengorbanan Rossa, jelas semua ini belum ada apa-apanya. Ini bahkan baru permulaan.

"Mas, lebih baik kamu pulang dulu. Nanti bicarain lagi baik-baik. Aku ngga pernah ngelarang kamu untuk ngunjungin Jean. Dan tolong beri Jean waktu. Dia pasti shock banget waktu tau kamu itu ayahnya. Aku harap kamu bisa ngertiin Jean ya, Mas."

Bram menoleh menatap Rossa. Ia mengangguk singkat, lantas bangkit dari duduknya.

"Aku pulang dulu. Besok aku kesini lagi. Tolong kasih aku kesempatan untuk perbaiki semuanya, Sa."

Rossa tersenyum dan mengangguk. "Aku ngga akan ngelarang, Mas. Tapi semua keputusan ada di tangan Jean."

Mendengar itu membuat Bram lesu. Alhasil, ia segera pamit dari sana, berharap bahwa esok putranya mau bertemu dan mendengarkan penjelasannya.

Sedangkan tanpa Bram dan Rossa ketahui, Jean melihatnya. Ia mengintip dari balik gorden kamar. Menatap ke arah mobil yang kian menjauh.

"Maaf, Ayah.. Jean belum bisa nerima semuanya.."

UntouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang