Selamat membaca
•••
Bel kegiatan pagi terdengar samar dari luar gerbang sekolah. Matahari semakin tinggi menampakkan wujudnya. Pun sinarnya yang terasa lebih menyengat. Empat siswa yang terlambat memilih duduk di teras pintu utama.
Siswa laki-laki satu-satunya di sana membuka tasnya, mengambil topi, lalu tas dipakai menjadi pemblokir sinar pagi. Meskipun sudah duduk di teras, tetapi tetap saja sorotnya menerpa wajah.
"Kapan, sih, disuruh masuknya?" gumam salah satu siswi yang sedang mengipas-ngipaskan tangan.
Terlihat dua pengurus OSIS datang mendekat. "Kak, masuknya kapan, sih?" tanya Kale, mulai kesal dengan pengurus OSIS yang membiarkan mereka di bawah matahari.
"Panas, ya?" ledek salah satu pengurus OSIS dengan label nama 'Kevin Adrian' di jasnya.
Alena berdecak mendengar pertanyaan yang terlontar barusan. "Pake ditanya pula," ucapnya pelan.
Siswa-siswa berdiri, menghargai kakak kelasnya yang datang menghampiri. Kale kembali menggendong tas. Dengan topi yang masih dipakai, Kale terlihat lebih menawan.
Sementara, Dino, pengurus satu lagi, hanya terkekeh. "Bersihin semua tangga, kecuali tangga di ruang guru sama ruang staf. Buat ...," ucapnya menggantung, memperhatikan label nama satu laki-laki yang terlambat di sana. "Kale Aidan B. Tambah lari dua putaran," lanjut Dino.
Kale mengerutkan keningnya. "Kenapa saya aja?" tanyanya, tak terima dengan hukuman itu.
"Kamu cowok satu-satunya," jawab Kevin. "Udah, cepetan. Gercep, ya, pelajaran pertama bentar lagi mulai. Oh iya, sapu atau pelnya sama pengki minjem ke sekre OSIS aja," lanjutnya.
Mendengar jawaban itu, Kale menghela napas. "Karena saya cowok, kenapa harus beda hukumannya? Ini hukuman dari kesiswaan atau kalian?" tanyanya, masih tidak terima.
"Kesiswaan," ujar Kevin, "cepetan!" suruhnya.
Kale berdecak. Malas sekali rasanya. Ayolah, tangga di sekolahnya banyak. Dan tentunya kotor. Hendak memprotes lagi, Alena menarik tangan teman sekelasnya, menjadikan topi yang baru dilepas terjatuh.
"Len!"
"Udah, cepetan. Bentar lagi pelajaran pertama," ucap Alena, tampak tak peduli dengan keadaan teman di belakangnya.
Kale menepis pelan tangan perempuan itu, berucap, "Topi gue jatuh, anjir!" Lalu, berjalan menghampiri Dino yang mengambil topinya. Melihat si pemilik kembali, Dino mengulurkan tangan, memberikan topi pada Kale.
"Thanks," ucap Kale, langsung berbalik mengejar Alena.
Sesuai arahan kakak kelas, empat siswa itu berjalan menuju Sekretariat OSIS. Ah, ternyata sudah disiapkan. Empat anak itu langsung menyimpan tasnya di kursi kayu dekat pintu.
Pembagian tugas dilakukan. Keempatnya berpencar agar hukuman cepat selesai. Alena mendapat bagian tangga dekat mesjid dan dekat Sekretariat OSIS---tangga yang lebih bersih dibandingkan yang lain. Dua siswa lain, di tangga ruang kelas. Sementara sialnya, Kale mendapat tangga belakang, tangga paling kotor. Hanya tangga itu saja.
"Sialan, kotor banget," gumam Kale, menaiki tangga---bermaksud mengawali dari anak tangga teratas.
Tidak peduli itu sudah bersih atau belum, hanya dengan waktu delapan menit, Kale sudah menyelesaikannya. Ya, ia mendapat satu keuntungan dari membersihkan tangga belakang: tidak diawasi.
Seperti yang diperintahkan, Kale langsung berlari mengelilingi lapangan utama setelah menyimpan sapu di Sekretariat OSIS.
Ketika Kale lewat di dekat Alena, perempuan itu bertanya, "Kok, cepet banget?"
"Tangga belakang cuma dikit," jawab Kale, tanpa menghentikan lari.
Jam pertama akan dimulai dalam lima menit.
Bel itu terdengar di seluruh penjuru sekolah. Mendengarnya, Kale berlari lebih cepat. Ia tidak boleh telat masuk kelas.
•••
Bertepatan dengan bel pertama yang berbunyi, Kale dan Alena sampai di kelas. Laki-laki itu langsung melemparkan tas yang digendong ke mejanya, bangku pinggir paling kiri, mengagetkan teman sebangkunya yang sedang bermain game.
"Anjir!" seru Kean, teman sebangkunya, kemudian kembali fokus pada game.
Tidak memikirkan ulangan yang akan datang, bahkan kembali mempelajari, Kale menidurkan kepala di meja. Tas menutupi wajah. Ah, sial, hukuman pagi ini terasa sangat melelahkan.
"Abis ngapain lo?" tanya Kean, atensinya tetap tertuju pada gawai.
Kale menoleh, mengintip Kean dari balik tasnya, lalu kembali berbalik. "Olahraga pagi," jawabnya pelan, mengundang kekehan Kean.
"Dihukumnya sama siapa? Kevin?" tanyanya.
Menegakkan tubuh, Kale merenggangkan ototnya, lalu menyimpan tas ke belakang punggungnya. "Salah satunya. Kok, tau?"
"Siapa lagi?" tanya Kean, memastikan temannya tidak dikerjai.
"Dino? Lupa gue." Jawaban Kale sontak membuat Kean tertawa.
"Kevin sama Dino emang aneh kalau ngasih hukuman," jawab Kean sambil mengunci gawai. Melihat wajah temannya yang keheranan, Kean melanjutkan, "Dia kalau ngasih hukuman suka ditambah lari."
"Lari bukan hukuman dari kesiswaan?" tanya Kale, terkejut.
"Kadang, sih, iya. Tapi, gak percaya seratus persen kalau mereka yang nyuruh. Apalagi, ada Kevin," jelas Kean, mengisyaratkan agar Kale menyingkir---ia ingin ke belakang kelas untuk ikut bermain game dengan yang lain.
"Kevin, gue tandain lo," batin Kale.
Menyadari satu hal, Kale berucap, "Eh, Yan."
Kean menghentikan langkah, menoleh, lalu mengangkat alisnya. "Apa?"
"Lo kayak yang udah tau hukuman telat di sini, deh," ujar Kale.
Terkekeh, lawan bicaranya menjawab, "Gue pas awalan sering telat. Mereka juga kayaknya udah bosen ngehukum gue."
Sesuai dengan rencana minggu kemarin, hari ini ulangan harian mata pelajaran matematika dilaksanakan setelah 90 menit berkutat dengan Bahasa Indonesia.
Siswa diberi pilihan untuk melaksanakan pada sesi satu atau sesi dua. Perwakilan bangku kanan dan kiri maju ke depan, melakukan kertas-gunting-batu di hadapan teman sekelas dan gurunya---ini kebiasaan kelas Kale.
Belum siap, Kale sedari tadi berdoa agar mendapat sesi dua. Masalahnya, ada satu tahapan yang belum dipahami. Tadi, ia lupa meminta dijelaskan oleh temannya, karena asyik menggulir sosial media saat peralihan mata pelajaran.
"Yes!" seru Angga, perwakilan bangku kiri, kala berhasil mengalahkan Sanna dalam tiga putaran sekaligus.
Kale mengacak rambutnya. Sial, kenapa harus sesi pertama?
"Yan, gantian, dong. Gue sesi dua, lo sesi satu," pinta Kale saat melihat Kean bersiap keluar kelas.
"Gak." Jawaban singkat yang, lagi-lagi, membuat laki-laki itu kesal di pagi ini.
Setelah semua siswa sesi dua keluar, kelas seketika menjadi lengang. Hati Kale tidak bisa tenang sekarang. Aduh, bagaimana jika soal dengan tahapan itu banyak? Pikir Kale, tidak bisa optimis.
Bu Dewi, guru matematika, membagikan soal dengan kertas HVS ke setiap bangku---sekaligus memastikan tidak ada contekan atau kalkulator di kolong meja. Tidak berhenti di situ, guru tersebut meminta buku catatan matematika setiap siswa agar dikumpul.
"Ya udahlah, gimana nanti aja nilainya," batin Kale.
•••
TBC26.1.23

KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Teen FictionEkspektasi dan tuntutan yang tinggi membuatnya kehilangan tujuan hidup. Tidak terhitung sebanyak apa mimpi yang sirna bahkan yang belum sempat ia ucap. Terlalu banyak memendam rasa, menghancur hidupnya secara perlahan. Menjadi saksi bagaimana kakak...