10. Dilema

131 10 19
                                    

⚠️ harsh words, fight, slap

Selamat membaca

•••

Pagi yang agak mendung di pekan baru. Seperti biasa, hari Senin selalu terasa lebih sibuk dari hari lainnya. Di rumah yang dihuni empat orang, terjadi keributan antara si sulung dan si bungsu mengenai kaus putih yang biasa dipakai dalaman ketika menggunakan kemeja putih.

"Lo, kan, kuliahnya gak perlu pake kemeja putih. Ganti kemeja lo, biar gue yang pake kaus putihnya," ucap si bungsu, mulai kesal karena sang kakak tidak mau mengalah.

Bukannya mengikuti alternatif dari sang adik, Karel malah kukuh pada keinginannya dengan memakai kemeja putih ke kampus. Katanya, outfit hari ini sudah disiapkan sejak lama oleh Karel. Tidak mau mengalah, Karel menarik kaus putih di tangan Kale agar bisa dipakai olehnya.

"Abang!" seru Kale yang benar-benar kesal sambil menarik balik kausnya. "Lo ngalah aja bisa gak, sih? Ini udah siang!" lanjutnya.

"Gak bisa. Gue duluan yang mau pake," balas Karel, tidak mau kalah. "Siapa cepat, dia dapat, lah, anjir. Lagian ini punya gue," lanjut Karel, mengingat kaus putih tersebut ada di antara pakaian yang belum disetrika.

Kale berdecak, lalu berjalan menuju kamarnya. Anak itu malas berurusan dengan kebersihan sekolah---hukuman yang kesiangan---hari ini. Dengan hati yang masih kesal, Kale membuka lemari pakaiannya, kemudian menarik kaus berwarna abu-abu dan memakainya.

Bungsu itu menarik dasi untuk mengencangkannya. Di depan cermin, ia meraih parfum dan menyemprotkannya ke bahu kiri dan kanan. Kale memejamkan mata sambil menarik napas, menikmati wangi yang dihasilkan parfum miliknya. Anak itu membuka mata, kemudian mengangkat tangan kanannya untuk melihat jam. Sial, udah pukul 6.15, batinnya.

Kale meraih tas, lalu menggendongnya. Setelahnya, meraih topi upacara yang disimpan di atas meja belajar. Dengan cepat, Kale menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk sarapan bersama. Nasi goreng tersaji di meja makan.

"Buru-buru amat. Mau ke mana, sih, Le?" tanya Rama, melihat Kale makan sangat terburu-buru.

"Udah siang," jawab Kale setelah menelan nasi di mulut.

Gawai bergetar lama. Kale langsung merogoh saku celana kirinya. "Zara" tertulis di sana. Digesernya ikon hijau, menyambungkan telepon dengan orang di seberang sana.

"Jadi jemput gue gak, Bang?"

"Jadi. Masih sarapan, bentar."

"Oke. Gue nunggu di gang depan, deket mini market."

Kale hanya bergumam sebagai respons, lalu mematikan telepon.

"Siapa?" tanya Rania, menatap Kale.

Sambil membereskan bekas sarapannya, Kale menjawab, "Zara. Minta bareng."

"Kamu mau bawa motor, Le?" tanya Rania yang dibalas anggukan. "Ya udah, cepetan. Keburu siang, makin macet nanti."

Selesai menyimpan piring kosong, Kale berjalan menuju depan untuk mengambil kunci motor dan memakai sepatu. "Kale berangkat!" Teriakan yang terdengar diikuti suara pagar yang digeser. "Pager gak ditutup!" Teriakan Kale kembali terdengar diikuti suara motor yang menjauh.

•••

"Bang, lo tau gak, sih, gue lagi deket sama anak multimedia?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Zara ketika mereka berhenti karena lampu merah menyala.

Kale menatap spion yang menampakkan pantulan Zara yang sama-sama sedang menatapnya melalui spion. "Siapa?" tanya Kale, sedikit penasaran dengan laki-laki yang dimaksud sepupunya itu.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang