Selamat membaca
•••
Pemandangan pertama yang dilihat sepulang sekolah, membuat laki-laki itu mengurung diri di kamar. Ini sudah lama sejak ia terakhir menyaksikan langsung kedua orangtuanya bertengkar. Sekarang, karena masalah apa lagi?
Keindahan rembulan yang terlihat sejak beberapa saat lalu tidak mengganggu anak itu untuk bangkit dari posisi tengkurapnya—kembali tengkurap setelah selesai membersihkan diri. Pun tugas siklus akuntansi dengan tenggat lusa tidak mengalihkan atensinya.
Harapannya saat ini hanya satu: Karel cepat pulang.
Getaran dari gawai sejak tiga menit lalu akhirnya berhasil membuat ia ingat dunia. Diraihnya gawai dari bawah bantal. Melihat aksara "Ibu" di layar, Kale menghela napas kesal. Tidak bisa, kah, orangtuanya membiarkan ia menenangkan hati dahulu?
Hendak abai, tetapi lagi-lagi sang ibu menelepon. Dengan malas, Kale menggeser ikon hijau sambil mengubah posisinya menjadi terlentang.
"Makan dulu," ucap Rania dari seberang sana.
"Nanti. Kale masih ngerjain tugas," jawab Kale. Berbohong tentunya. Alasannya: tidak mau bertemu.
"Makan dulu, baru tugas."
"Nggak, Bu, nanti dulu makannya. Kale juga belum mau makan," jelas laki-laki yang sekarang mengubah posisinya menjadi duduk.
"Ya udah. Cepet beresin tugasnya."
"Iya."
Lima menit berlalu, Kale hanya melamun memikirkan sikap apa yang harus ditunjukkannya ketika bertemu ayah dan ibu. Haruskah ia bersikap biasa saja, seolah tidak tahu? Tidak, tidak, Kale sedikitnya pasti menunjukkan kesal. Namun, apakah dirinya harus menunjukkan kesalnya?
Pintu yang dibuka tiba-tiba mengejutkan Kale bukan main. Bayangkan saja, sedang melamun pintu dibuka dengan debuman terdengar menggelegar di kamar.
"Abang!" seru Kale, melihat kedatangan sang kakak yang langsung duduk di kasurnya. "Kaget, anjir," lanjutnya, mendorong Karel yang hendak tiduran di kasur.
"Diem! Gue gak tiduran, mau ngambil tas," seru Karel, menahan tangan sang adik. "Nih," ucapnya, setelah merogoh tas yang dibawanya, memberikan segelas green tea kesukaan Kale.
Meski Kale kesal karena dikejutkan dengan kedatangan sang kakak, tetapi tak apa. Hatinya lebih tenang sekarang. Setidaknya, jika orangtuanya kembali bertengkar, ia tidak sendirian, bukan?
Tiba-tiba ia terkekeh.
"Napa lo?" tanya Karel, menyadarinya.
"Kagak."
Memangnya mereka akan kembali bertengkar jika ada Karel? Selama ini, pertengkaran mereka akan seketika berhenti jika Karel datang. Tidak dengan Kale, keduanya tidak akan peduli, berlagak seolah Kale tidak ada dan tidak menyaksikan di sana.
"Lo kesambet apaan beliin gue ini?" tanya Kale, cukup heran dengan sikapnya, sekaligus mengalihkan topik.
"Suap dari gue. Jangan kasih tau ayah sama ibu gue beli mobil-mobilan lagi," jawab Karel, bangkit dari duduknya, kemudian berjalan keluar kamar sang adik.
"Beneran lo checkout yang semalem?"
Semalam, setelah menyelesaikan beberapa babak game PS, Karel mengecek platform belanja online. Lalu menanyakan pendapat Kale. Karel sendiri sangat menginginkan mobil-mobilan itu, karena katanya edisi terbatas dan hanya diproduksi kali ini saja. Dasar, bukankah itu salah satu trik marketing?

KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Teen FictionEkspektasi dan tuntutan yang tinggi membuatnya kehilangan tujuan hidup. Tidak terhitung sebanyak apa mimpi yang sirna bahkan yang belum sempat ia ucap. Terlalu banyak memendam rasa, menghancur hidupnya secara perlahan. Menjadi saksi bagaimana kakak...