Selamat membaca
•••
Pukulan guling ke wajah menjadi sapaan pertama di pagi yang dingin. Merasa kedinginan, yang dipukul malah memunggungi si pemukul dan menarik selimut menutupi seluruh tubuh. Lagi, pukulan guling menyapanya. Kali ini, tepat mengenai punggung, membuatnya langsung terbangun kala tiba-tiba terasa sesak.
"ABANG!" seru Kale, menghadap sang kakak sambil mengusap-usap punggungnya. "Sakit, anjir, jangan kena punggung," gumamnya, kesal.
"Lagian, dari tadi dibangunin baik-baik malah gak bangun," bela Karel, mendudukkan diri di samping ranjang. "Cepetan mandi, keburu disuruh ibu terus diomelin," suruhnya, yang dibalas dengkusan dari Kale.
Kale bangkit, berjalan menuju kamar mandi atas. Tepat sekali ketika anak itu sedang mengguyur tubuhnya, terdengar sang ibu yang bertanya pada Karel; Kale udah mandi belum?
Helaan napas lega terdengar dari Kale. Pagi ini, ia selamat dari omelan. Sedang menyiprat-nyipratkan air, ketukan terdengar.
"Jangan lama-lama. Udah siang," peringat Rania.
"Iya," jawab Kale.
•••
Waktu menunjukkan pukul 6.15. Kale sudah siap dengan seragam pramukanya di teras rumah nenek, menunggu Zara yang meminta bareng berangkat ke sekolah. Omong-omong, tadi subuh Zidan dan Zara memilih kembali ke rumah---rumahnya hanya berbeda RT dengan rumah Abimana.
"Masih jam 6.15 udah siap aja lo, Le," ucap Alen, berdiri di ambang pintu sembari menyuapkan gorengan.
"Gak mau dihukum karena kesiangan," balas Kale, membuka mulut kala Alen menyodorkan sepotong gorengan padanya.
"Le!" panggil Rania dari dapur.
Kale hanya menoleh, belum menjawab. Berharap tadi hanya pendengarannya saja.
"Ibu lo manggil tuh," ucap Alen, menoleh ke belakang.
Malas membuka sepatu, Kale berjalan menuju pintu belakang yang langsung tersambung ke dapur. Panggilan lagi-lagi terdengar.
"Kale!"
"Apa, Bu?" balas Kale dari ambang pintu.
"Masuk dulu!" suruh Rania.
"Males buka sepatu," keluh Kale.
"Gak usah dibuka."
Mendengar jawaban itu, Kale langsung berjalan menghampiri sang ibu. Mata Kale langsung menangkap kehadiran makanan kesukaannya di meja makan.
"Tuh, ada---"
"IH, UDANG!" seru Kale bersemangat. "Mau, dong," ucap Kale.
"Sana ambil," balas Rania.
Kinanti yang sedari tadi memerhatikan itu hanya terkekeh melihat Kale dengan semangatnya meraih sendok untuk mengambil tumis udang.
"Mau bekel nasi, dong," ucap Kale, membuka cangkang udang, lalu memakannya, "sama udang, hehe," lanjutnya.
"Jatahnya per orang cuma empat, loh, Le," ucap Kinanti. "Kalau mau bekel, nanggung banget cuma tiga," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Fiksi RemajaEkspektasi dan tuntutan yang tinggi membuatnya kehilangan tujuan hidup. Tidak terhitung sebanyak apa mimpi yang sirna bahkan yang belum sempat ia ucap. Terlalu banyak memendam rasa, menghancur hidupnya secara perlahan. Menjadi saksi bagaimana kakak...