12. Kale's Mixed Feelings

115 9 20
                                    

Selamat membaca

•••

Pagi yang cerah di hari Selasa dengan mata pelajaran favoritnya menunggu. Apalagi jika bukan Bahasa Inggris. Kale berdiri di depan cermin dengan seragam putih abu-abu dan dasi di leher. Matanya melihat bekas perkelahian kemarin. Udah mendingan, sih. Batin Kale.

Anak itu berjalan keluar kamar. Menuruni tangga dengan tas yang hanya disampirkan di bahu kanan, Kale sedikit tidak siap bertemu kedua orang tua. Ia yakin, pertanyaan sesederhana, "Udah mendingan?" akan diterimanya.

Langkah kaki Kale akhirnya sampai di meja makan yang sudah dikelilingi ayah, ibu, dan kakaknya. Bungsu itu agak ragu untuk menarik kursi dan duduk di antata anggota keluarga. Memantapkan hati, Kale menyimpan tasnya di samping kursi, lalu duduk.

Sarapan berjalan lancar, dan tidak ada pertanyaan terdengar terkait perkelahian kemarin. Kale sedikit lega. Setidaknya, ia tidak disidang di pagi yang indah.

"Jadi, gimana rasanya pertama kali baku hantam sama temen?" tanya Rama selepas semua menghabiskan nasi dengan udang asam manis, tumis sawi, dan tempe goreng---makanan kesukaan Kale.

Mendapat pertanyaan itu, Kale menghela napas dan memutar bola matanya. "Sial," batin Kale, ternyata leganya hanya berlaku sejenak.

"Puas." Kale menjawab pertanyaan sang ayah sambil mendorong kursi, lalu meraih tas dan berbalik.

Karel terkekeh mendengar pertanyaan sang ayah dan jawaban sang adik. "Puas, tapi kayak masih kesel," celetuknya, membuat Kale berbalik untuk menatap sang kakak.

"Emang," batin Kale membalas.

"Berisik lo," respons Kale yang kembali mengambil langkah untuk menjauh sambil menenteng tas.

Baru beberapa langkah, Kale menghentikan langkah. Tas yang ditentengnya dilepaskan, tangannya beralih menekan perut yang tiba-tiba sakit. Rania refleks bangkit untuk berjalan mendekat.

Kale menunduk. Lututnya dijadikan tumpuan. "Argh," ringisnya. Benar, seharusnya semalam ia mengaku saja kepada sang kakak bahwa perutnya sakit.

"Kenapa?" tanya Rania, memegangi bahu sang bungsu.

Kale menegakkan tubuhnya, menahan ringis untuk menatap sang ibu, hingga Rania menyadari ada yang tidak beres. Tangannya masih setia di atas perut.

"Kenapa?" tanya Rania, terlihat lebih khawatir dari sebelumnya.

Anak itu bingung. Haruskah dirinya mengaku atau kembali berbohong? Sadar bahwa ia pun takut terjadi hal lain, Kale menjawab, "Perut Kale sakit."

"Sakit? Kenapa?" tanya Rama, berjalan mendekat, lalu memapah Kale untuk duduk di sofa ruang keluarga.

Kale menggaruk tengkuk. Agak malu jika mengaku. Ia menunduk, menghindari kontak mata dengan keluarga. "Kemarin kena tendang," gumamnya, membuat keluarganya di sana memelototkan mata.

"Kenapa semalem gak bilang?" tanya Karel, berjalan mendekat. "Coba semalem bilang, sekalian gue obatin," lanjutnya, duduk di sebelah Kale.

"Buka dulu kancing bajunya, Le. Sini Ayah liat bekas tendangannya," ucap Rama, menarik kursi kecil untuk diduduki di depan Kale.

"Nanti, deh, pulang sekolah," ucap Kale. Sakit di perutnya sudah hilang. "Udah jam setengah tujuh lebih ini," lanjutnya setelah mengetuk layar jam tangan pintar di pergelangan tangan kanannya.

"Sekarang!" tegas Rama.

Kale berdecak, tetapi menuruti perkataan Rama untuk membuka kancing baju. "Nanti kesiangan," ucapnya kesal.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang