13. Saksi yang Tak Dilindungi

138 12 8
                                    

⚠️ slap

Selamat membaca

•••

“Anak-anak, hari ini kita tes, ya.”

Kalimat tersebut menjadi kalimat pertama yang didengar oleh seluruh siswa kelas 11 Akuntansi 3. Semuanya tentu saja terkejut, termasuk Kale.

“Yang bener aja, Bu? Masa, tesnya tiba-tiba banget?”  protes Angga yang tidak terima.

Bu Hae---begitu beliau disapa---hanya tersenyum mendengar protes dari siswanya. “Materi minggu kemarin, ya. Gak akan jauh dari tugas. Kalau tugasnya gak nyontek, pasti ngerti,” putusnya, duduk kembali di kursi guru.

Kale menahan tawa mendengar penuturan sang guru. Fakta bahwa hampir satu kelas menyontek pada Kale. Kean yang sadar hanya menendang pelan kaki kawan sebangkunya itu.

“Mau ditulis atau lisan, Anak-anak?”

Tidak ada yang menjawab satu pun. Semua siswa benar-benar terkejut dengan tes dadakan ini. Ada siswa yang membuka buku untuk sekadar membaca sekilas materi yang dimaksud. Ada siswa yang langsung menulis contekan kecil. Ada juga siswa yang hanya menundukkan kepala seolah berpasrah dengan semuanya.

Kale yang sama terkejut dengan tes dadakan, memilih untuk membaca ulang rumus dan contoh kalimat dari setiap jenis if clause. Selepas gurunya menyebutkan diadakan tes dadakan, ada tekanan yang hinggap. Kale akui, nilainya dalam Bahasa Inggris memang bagus dan sering dicap sebagai si paling jago. Namun, tekanan mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran yang dianggap paling andal juga bukan main-main.

•••

Selepas tes dadakan Bahasa Inggris yang langsung diperiksa bersama saat itu juga, akhirnya Kale bisa bernapas lega. Ya, seperti biasa, bungsu itu mendapatkan nilai tertinggi di kelas, sebesar 95. Tidak sempurna, tetapi menjadi yang terbaik. Itu sudah cukup baginya. Pujian dari Bu Hae kembali diterima Kale. Suasana hati anak itu menjadi sangat baik, agak melupakan kejadian saat istirahat.

Di sela waktu perpindahan mata pelajaran, Kale berjalan menghampiri Alena yang sedang mencatat jawaban tes milik Kale. Ambisi Alena memang tidak main-main. Seolah tidak percaya dengan jawaban Kale, perempuan itu membuka buku catatannya untuk menyamakan dengan rumus.

“Lo kalau gak percaya sama jawaban gue, jangan liat punya gue, lah. Kesinggung gue liatnya,” ucap Kale pelan, kesal melihat Alena yang berkali-kali mengecek rumusnya. Yang menjadi lawan bicara tidak peduli pada ucapan Kale dan hanya menatapnya sekilas.

“Le, kok, bisa sih dapet nilai setinggi itu, di saat yang lain nilainya mentok di 60?” protes Nabila yang merasa heran dengan kemampuan berbahasa Inggris Kale.

“Apa, sih, yang gue gak bisa?” tanya Kale, sedikit menyombongkan---bukan, maksudnya membanggakan diri sendiri.

“IPA,” celetuk Kean yang berjalan mendekati Kale.

“Matematika,” tambah Alena yang masih berfokus pada jawaban tes.

Kale tertawa mendengar ejekan dari teman-temannya. Tidak akan marah ataupun kesel, karena itu memang fakta. “Gak ada yang sempurna di dunia ini,” celetuknya, membuat Angga yang sedari tadi menyimak langsung melemparkan pulpen yang berada di dekatnya ke arah Kale.

“Angga! Itu pulpen gue!” seru Anggi sambil memukul pelan Angga kala melihat laki-laki itu dengan santai melemparkan pulpen. “Ambil gak?” ucap Anggi, kesal. Gelak tawa terdengar dari kumpulan beberapa siswa tersebut, begitu juga dengan siswa lain yang menyaksikan.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang