14. Pemberontakan Kecil

208 14 17
                                        

⚠️harsh word

Selamat membaca

•••

Pagi di hari Rabu, tidak sarapan yang disiapkan di meja makan. Tidak ada suara dari dapur. Tidak ada yang membangunkan, juga tidak ada yang sekadar bertanya, "Mau diantar atau bawa motor?"

Di pertengahan anak tangga, Kale melihat ruang keluarga yang berantakan. Ia menghela napas. Entah apa yang terjadi semalam setelah ia meninggalkan kedua orangtua di sana. Well, Kale juga tidak terlalu peduli. Toh, pada akhirnya setiap sehabis pertengkaran, satu sampai dua hari suasana rumah memang akan "mencekam".

Melangkahkan kaki ke garasi, Kale melihat mobil masih terparkir di sana. Kesimpulannya adalah, sang ayah tidak ke mana-mana. Tangannya membuka lemari sepatu untuk memeriksa keberadaan sandal yang biasa dipakai sang ibu. Ada juga. Berarti mereka memang di rumah.

Kale kembali memasuki rumah untuk mengambil botol air minum di dapur. Sedang memasukkan botol air minum ke tas, Rania keluar dari kamar, lalu menghampiri Kale. Melihat sang bungsu sudah bersiap akan berangkat sekolah, Rania dengan cekatan menyiapkan roti selai coklat untuk bekal.

"Kale berangkat." Ucapan pamit tersebut sekaligus menjadi kalimat pertama yang terdengar di rumah ini. Tanpa menunggu balasan apa pun, Kale berjalan menuju garasi untuk mengambil motor. Bersamaan dengan itu, Rama keluar dari kamar. Seolah pertengkaran semalam belum usai, sebelum Kale benar-benar keluar rumah, terdengar perdebatan lagi.

Kale menghela napas mendengarnya. "Berasa bebas banget kali, ya, berantemnya karena cuma ada gue, gak ada abang," gumamnya, lalu melajukan motor.

•••

Deretan motor terparkir dengan rapi di parkiran siswa. Kale menuruni motornya, melepaskan helm, lalu merapikan rambut yang acak-acakan. Ia melihat pantulan wajahnya terlebih dahulu sebelum menuju kelas. Matanya terkunci pada plester di pipi.

"Lupa belum gue ganti dari kemarin," gumam Kale, membuka plester di pipi. Agak meringis sampai mata berair, ia akhirnya berhasil membuka plester.

Laki-laki pemilik dimple di kedua ujung bibir itu berbelok terlebih dahulu ke Business Centre—mirip minimarket, hanya saja dikelola oleh siswa jurusan pemasaran, di bawah pengawasan guru pemasaran—untuk membeli plester baru. Tangannya meraih box plester kecil yang tinggal satu, bersamaan dengan tangan lain yang sama-sama meraih itu. Kale menoleh pada sang empu. Mata mereka bertemu, tetapi dengan cepat Kale mengalihkan pandangan dan berdecak.

Keduanya menjauhkan tangan dari box plester tadi. Memanfaatkan situasi, Kale langsung menyambar box tersebut. Lalu, berjalan menuju kasir.

Tangan Kale ditahan, siswa lain itu berusaha untuk mengambilnya dari genggaman Kale. "Gue duluan," ucap siswa itu.

Kale berbalik, lalu membalas, "Lo buat apaan beli plester?"

"Kepo banget lo," jawab perempuan itu, "lo juga buat apa?"

Kale menghela napas. "Lo liat ini?" tanyanya, menujuk ke arah luka di pipi bekas perkelahian. "Apa lagi kalau bukan buat nutupin bekas pukulan cowok yang lo bucinin banget itu," lanjutnya, menarik tangan yang menggenggam box plester dari cengkraman Zara.

Tidak bisa dipungkiri, Kale merasa tiap melihat Zara. Ingin rasanya mengucap bodoh kepada Zara. Si pemilik senyum manis itu merasa usahanya membela sangat sia-sia. Belum lagi luka yang ditorehkan oleh lawannya kemarin.

•••

Suara tik yang dikeluarkan dari kalkulator memenuhi telinga. Keluhan dan decakan kecil sesekali terdengar. Begitu juga suara jatuh buku atau penggaris atau kalkulator yang menjadi penambah.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang