11. Sisi Lain

144 16 8
                                    

⚠️ self harm, harsh words

Selamat membaca

•••

Lebam di pinggir mata dan luka di pipi dan ujung bibir menjadi pusat perhatian laki-laki yang duduk di kelas sebelas itu. Helaan napas terdengar jelas. Tangannya membuka kran air, lalu menadahnya. Air di tangan kemudian dibasuhkan ke wajah.

Ringisan kecil terdengar saat air mengenai lukanya. Namun, ringisan itu malah berubah menjadi kekehan. Sensasi perih menyengat yang hadir memunculkan gejolak aneh di hatinya. Ada senang dan puas yang hinggap di hati.

"Menyenangkan," batin Kale.

Kale kembali menadahkan tangannya, dan dibasuhkan ke wajah. Lagi, ia terkekeh merasakan perih pada luka. Empat kali berturut-turut anak itu lakukan. Tangannya merapikan rambut yang terkena air ke belakang.

Bungsu itu mendekatkan wajahnya ke arah cermin, memerhatikan lebih jelas bekas perkelahian. Kale menjauhkan wajah dari cermin, lalu menatap pantulan wajahnya. Senyum miring terlukis di paras tampannya.

Kale menempatkan tangan di bawah kran, bermaksud kembali melakukan hal tadi. Namun, terdengar suara langkah yang memasuki kamar, mengalihkan atensi. Kepalanya refleks menoleh ke arah pintu kamar mandi.

Tangannya mengepal, merasa kesal dengan kehadiran tamu tidak diundang ke kamarnya. Kale kemudian mengeringkan wajah dengan handuk yang menggantung. Di balik handuk, Kale bergumam, "Pasti abang."

Kale melangkah keluar kamar mandi. Siluet dengan proporsi tubuh mirip sang kakak terlihat membelakangi. Sambil mendekat, ia menyalakan lampu tidur, membuat siluet itu terlihat.

"Fuck you," ucap Kale ketika mengetahui tebakannya benar---tamu tak diundang itu adalah Karel. "Minimal bersuara kalau masuk kamar gue," lanjutnya---berlagak tidak tahu---berjalan menuju saklar lampu, lalu dinyalakan. Karel terkekeh membalasnya.

Mendudukkan diri di ranjang, Kale membiarkan sang kakak di sana. "Ngapain ke sini?" tanyanya.

Karel berbalik untuk melihat sang adik. "Anjir, beneran abis berantem ternyata," celetuknya. "Gimana tadi berantemnya? Siapa yang menang?" tanya Karel, bermaksud memprovokasi Kale.

Kale berdecak, lalu berucap, "Berisik."

Sulung dari dua bersaudara itu bergeser, mendekat kepada si bungsu. Kepalanya didekatkan, netranya memerhatikan luka yang tampak di wajah Kale. Yang diperhatikan hanya menatap kesal sang kakak.

"Parah banget sampe gini," gumam Karel, menjauhkan wajahnya dari wajah Kale sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Jawab napa, siapa yang menang?"

Bukan menjawab, Kale malah mendorong sang kakak. Anak itu kemudian menidurkan tubuhnya, lalu menutup seluruh tubuh, malas menanggapi.

"Bukan lo, sih, pasti," celetuk Karel.

Menarik selimutnya, Kale berucap, "Berisik lo."

Tanpa disuruh, Karel bangkit, berjalan meninggalkan kamar Kale. Tahu sang kakak sudah keluar kamarnya, Kale membuka selimut yang menutup seluruh tubuh, kemudian berjalan mengambil laptopnya. Tugas masih harus dikerjain, batin Kale.

Tidak diduga, Karel kembali lagi dengan membawa salep dan es batu di dalam handuk. Kale berdecak, malas berhadapan dengan siapa pun. Karel langsung duduk di samping Kale, meraih laptop dari pangkuan Kale, dan menyimpannya di nakas.

"Sini, deh, gue salepin dulu," ucap Karel, melempar handuk berisi es batu yang langsung ditempelkan oleh Kale ke pinggir mata. "Takutnya malah makin parah," lanjut Karel, menekan salepnya.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang