Selamat membaca
•••
Suara bising kendaraan yang lalu-lalang memenuhi telinga. Klakson terdengar beberapa kali, imbas dari ketidaksabaran pengendara lain. Di atas motor, Kale bercermin untuk kembali melihat bekas lukanya yang sudah membaik.
Klakson motor yang baru sampai di sampingnya membuat Kale menoleh. Terlihat Zidan yang membonceng Zara ke sekolah—padahal arah sekolah Zidan dan Zara berbeda. Zidan mengulurkan kepalan tangan, mengajak tos yang langsung dipahami Kale.
"Lo sama Bang Kale, deh, Ra," ucap Zidan, mengisyaratkan agar Zara turun. "Gue siang ini," lanjutnya, melihat jam di gawai sudah menunjukkan pukul 6.40.
Kale hanya diam sebagai respons, enggan Zidan menyadari perang dingin dirinya dengan Zara. "Gak. Nanggung, bentar lagi nyampe," tolak Zara, mengalihkan pandangan dari Kale ke kereta yang lewat.
Setelah palang kereta dibuka, Kale berucap, "Duluan." sambil menarik gas. Dalam hati, ia tidak mau bersama Zara.
Sementara di belakang sana, Zidan mengerutkan kening keheranan. Jika tidak salah melihat, ada bekas luka di ujung bibir kakak sepupunya, sebelum Kale dengan cepat menutup helm.
"Lo liat gak, tadi bibirnya Bang Le kayak luka?" tanya Zidan, melajukan motor. Mengetahui maksud dan alasan di balik luka tersebut, Zara hanya berdecak sambil menyuruh Zidan agar cepat melajukan motornya.
•••
Tiga puluh menit berlalu selama kegiatan pagi, kelas 11 Akuntansi 3 langsung berjalan menuju lapangan basket untuk melaksanakan mata pelajaran olahraga. Enam siswa laki-laki dari kelas tersebut berjalan beriringan, sebagian langsung duduk, sebagian lagi mengambil raket dan kok. Kale memilih duduk, menyimpan tenaga untuk pelajaran olahraga.
Menunggu guru datang, Kale melamun. Pikirannya berkelana, mempertanyakan sikapnya semalam. Apakah itu langkah yang benar? Selanjutnya, bagaimana ia harus bertindak? Sejujurnya, bungsu itu penasaran dengan reaksi dari aksinya. Sehabis mengeluarkan sedikit dari apa yang mengganjal di hati, Kale langsung menuju kamarnya dan ketika pagi-pagi pun ia memilih menghindar dengan turun dari kamar ketika jam menunjukkan pukul 6.30.
Sodoran raket yang menyapa mata, membuat Kale menengadah untuk melihat pelaku. "Ayo main," ajak si teman sebangku, seperti tidak memiliki lawan untuk bermain bulu tangkis.
"Males," jawab Kale, "hemat energi buat nanti."
Kean berdecak, lalu menarik tangan Kale---memaksa bermain. "Ayolah, gue gak ada temen," bujuk Kean.
Kale mengembuskan napas menunjukkan malas, tetapi meraih raket dan berdiri. Ia melangkah ke sisi lain net. Dengan senyum yang merekah, Kean memukul kok yang langsung diterima Kale. Permainan berjalan lancar dan menyenangkan. Ya, sampai teman perempuan di sebelahnya bermain brtual hingga tidak sengaja mendorong Kale yang akan melakukan smash.
•••
"Le, lo beneran gak apa-apa?" tanya Ranti—teman Kale yang tidak sengaja mendorong—ketika melihat Kale memasuki kelas sambil menenteng baju olahraga.
Mendengar namanya dipanggil, Kale menoleh. Ia terkekeh. "Gak apa-apa. Santai aja, Ti," balasnya, lanjut berjalan menuju kursinya, diikuti Kean.
"Lutut lo gak apa-apa?" tanya Ranti, duduk di kursi di hadapan Kale.
Kale kembali terkekeh. Lucu sekali reaksi rasa bersalah temannya itu. Bungsu itu lalu menyelonjorkan kaki di bawah meja. Baru mau menjawab, Kean menimpali, "Makanya, main tuh santai aja, anjir. Jangan brutal."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Novela JuvenilEkspektasi dan tuntutan yang tinggi membuatnya kehilangan tujuan hidup. Tidak terhitung sebanyak apa mimpi yang sirna bahkan yang belum sempat ia ucap. Terlalu banyak memendam rasa, menghancur hidupnya secara perlahan. Menjadi saksi bagaimana kakak...