⚠️ self-harm
Selamat membaca
•••
Tiga orang dari keluarga Baskara itu sedang berkumpul di ruang keluarga—si sulung di kamar, sedang sibuk dengan urusan kuliahnya. Kale duduk di karpet sambil menonton tayangan Detective Conan di televisi. Rama duduk di sofa bersama Rania. Ketika iklan tayang, Rama langsung mengganti salurannya ke saluran yang menayangkan sepak bola.
"Kenapa gak bilang?" tanya Rania, menyimpan selembar kertas yang baru diambil dari tasnya di hadapan Kale.
Kale diam, memperhatikan angka 60 di kertas itu, dirinya tidak siap mendengar omelan dari sang ibu saat ini. Tenggorokannya terasa sakit, kesulitan menelan air ludah.
"Jawab, Kale!" seru Rania, membuat Kale memejamkan mata, menyiapkan hati.
Menarik napas, lalu mengembuskannya, Kale menjawab, "Kalau Kale kasih alesan juga, emang Ibu bakal percaya?" Sambil berbalik ke arah Rania.
"Logis gak alesan kamunya?"
"Selogis-logisnya alesan gue, di mata Ibu gue tetep salah," batin Kale.
"Kale gak ngerti materinya." Jawaban singkat Kale, sontak membuat Rania berdecak.
"Kamu pinter, Kale, gak mungkin gak paham sama materinya," ucap Rania, "lagian, sejak kapan kamu dapet nilai 60? Selama ini, sesusah apa pun materi yang kamu gak ngerti, nilai kamu tetep di atas 80."
Kale memalingkan wajah, kembali menatap televisi yang menyala menayangkan sepak bola---Rama sedang menontonnya. Di bawah meja, Kale mencubit kecil tangan kanannya menggunakan tangan kiri---pelampiasan kecewa di hati yang tidak bisa diungkapkan.
Keberadaan Rama di sana tidak membantu apa-apa. Pria beranak dua itu hanya asyik berfokus pada pertandingan sepak bola. Ya, seperti biasa. Semuanya seolah abai dengan apa yang Kale rasa.
"Itu, kan, dulu. Tingkat kesulitan materi yang dulu sama yang sekarang udah beda. Jenjang sekolah Kale aja sekarang udah beda. Kenapa masih dibandingin sama yang dulu?" tanya Kale, membela diri, tidak terima dengan argumen sang ibu.
"Alesan," celetuk Rania. "Makanya, kalau belajar tuh yang bener!"
Bungsu itu hanya diam mendapatkan respons tidak enak dari sang ibu. Menyanggah pun pasti akan berakhir beradu argumen. Kale menghela napas, menahan kesal di hati.
"Harus kayak gimana gue belajar biar masuk kriteria 'belajar bener' menurut Ibu?" batin anak itu.
Enggan mendengarkan kalimat-kalimat lain yang akan keluar dari mulut sang ibu, Kale bangkit untuk berjalan menuju kamarnya, mengabaikan kertas ulangan di atas meja.
Sedang menaiki tangga, Rania berucap kencang, "Jangan dapet nilai di bawah 80 lagi! Malu-maluin aja." Membuat Kale diam, lalu menghela napas. Tanpa berbalik, bungsu itu melanjutkan langkah.
"'Malu-maluin aja'," gumam Kale di balik pintu yang tertutup. "Di mata Ibu kayaknya gue sering banget dicap malu-maluin," lanjutnya, menggelengkan kepala sambil berdecak, kemudian terkekeh.
Merasa semakin kesal jika terus mengingat percakapan tadi, Kale berjalan menuju ranjang, lalu melompat ke ranjang dan tengkurap. Kepalanya ditutupi bantal. Sampai mengantuk menyapa pun, posisinya tetap sama.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22, tetapi posisi Kale masih tetap sama. Pintu kaca menuju balkon bahkan gordennya belum ditutup, membuat cahaya bulan dan lampu jalan masuk ke kamar Kale.
•••
Karel sedari tadi diam di kamar. Ia tahu bahwa pada akhirnya sang adik tetap dimarahi ibunya. Pintu kamar sulung itu sejak tadi dibuka, membuat kalimat terakhir yang terlontar terdengar jelas oleh Karel.
Niat hati ingin menghampiri sang adik, tetapi kelas pengganti lewat daring sudah dimulai. Setelah kelas selesai pun, Karel harus melanjutkan diskusi dengan teman satu kelompok mengenai projek yang harus dikerjakan.
Bohong jika Karel tidak khawatir terhadap Kale. Setelah menyelesaikan diskusi, Karel langsung memberes laptop, buku, dan pulpen. Laki-laki berusia dua puluh itu langsung berjalan menuju balkon yang tersambung dengan balkon kamar adiknya.
Cahaya lampu terang dari kamar Kale menyapa mata. Karel bisa langsung menyimpulkan bahwa gorden di pintu balkon belum ditutup. Langkahnya membawa ia ke balkon kamar sang adik. Mencoba menggesernya, ternyata benar, pintunya bahkan belum dikunci.
Memasuki kamar, penampakan Kale yang tidur tengkurap dengan bantal yang menutupi kepala menyapa. Risau adiknya merasa sesak, Karel menepuk kencang betis Kale.
"Aw!" seru Kale di balik bantal, merasakan panas di betis.
Kale langsung membuka bantal di kepala, lalu menoleh untuk mencari tahu siapa pelaku. Melihat sang kakak yang berdiri di samping ranjang, Kale bangun dan melemparkan bantal di tangan kepada Karel yang sigap menangkap.
"Apaan, sih?" tanya Kale, menatap tajam Karel—merasa kesal.
"Gak, sih," jawab Karel duduk di ranjang Kale sambil memeluk bantal, memantik kesal Kale.
Tidak mau sang kakak duduk di ranjangnya, Kale mendorong Karel menggunakan kaki agar menjauh. Tetapi sia-sia, malah Karel kembali menepuk kencang kakinya.
"Sakit, ih," ucap Kale sambil mengusap kaki.
Kale berdecak, lalu mendekat dan memukulkan guling pada Karel. "Ganggu banget!" seru Kale, sambil terus memukul Karel.
Mendapat perlakuan seperti itu, Karel tertawa sambil melindungi diri. "Udah, anjir, sakit," ucapnya di sela tawa.
Menghentikan aksinya, Kale kemudian duduk bersila di dekat Karel. Bukannya diam, Karel malah memukul balik adiknya menggunakan bantal yang dipegang, membuat Kale hampir terjatuh dari ranjang. Bukan pukulan berkali-kali, tetapi pukulan satu kali dengan tenaga maksimal. Jelas saja, Kale yang tidak waspada akan pembalasan Karel tidak siap. Karel kembali tertawa, berbeda dengan Kale yang semakin kesal.
Mendorong kakaknya, Kale bertanya, "Lo ngapain ke kamar gue, sih?" sambil kembali duduk, tetapi agak jauh dari Karel.
"Dibilangin gak ngapa-ngapain," jawab Karel.
Kale turun dari ranjang, kemudian menarik tangan Karel, mengusirnya dari kamar. Berhasil mendorong sang kakak keluar dari kamar melalui balkon, Kale berucap, "Balik lo ke kamar."
Lagi, Karel tertawa mendengarnya. "Selamat tidur, bocil," ucap Karel, berjalan menuju kamarnya. "Tidur aja, deh, lo, cil. Gak usah mikirin yang tadi," lanjutnya di balik pintu balkon.
Kale yang hendak menutup gorden setelah mengunci pintu balkon, menghentikan aksinya. Ada rasa tenang yang menghampiri setelah mendengar kalimat itu. Senyum bungsu itu terlukis tipis.
Setelah menutup gorden, Kale berjalan menuju ranjangnya setelah mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur. "Gue tau, abang gak kayak ayah yang cuma diem liat gue dimarahin ibu," batinnya, lalu menarik selimut menutupi seluruh tubuh, tanpa membereskan bantal dan guling.
•••
TBCHai! It's been a long time, kan?
4.11.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Novela JuvenilEkspektasi dan tuntutan yang tinggi membuatnya kehilangan tujuan hidup. Tidak terhitung sebanyak apa mimpi yang sirna bahkan yang belum sempat ia ucap. Terlalu banyak memendam rasa, menghancur hidupnya secara perlahan. Menjadi saksi bagaimana kakak...