1.5 - Text From Nowhere

63 18 13
                                    

Satu bulan setelah Dion meninggal.

Jika ditanya hal-hal menarik apa saja yang Anara lewati selama selama empat tahun di bangku kuliah, dia juga tidak tahu. Dulu saat dirinya masih menjadi gadis remaja SMA, tak ada satu hari pun yang terlewat membayangkan se-menyenangkan apa hari-harinya sebagai mahasiswa DKV di kampus impian. Anara sangat mengidamkan kesibukan dunia kampus bersama jurusan yang diimpikannya sejak dulu. Karena itu, semangatnya tak pernah pudar kala menginjak status sebagai mahasiswa baru. Bahkan semester pertama kuliah, ia mendapat IPK sempurna.

Tapi nyatanya Anara si mahasiswa ambis itu tak bertahan lama. Seiring waktu berlalu, Anara hanya datang untuk menghadiri kelas atau praktek. Lalu mengerjakan tugas sesegera mungkin, mengikuti ujian secepat yang dia bisa, mengundurkan diri dari organisasi yang dia ikuti di kampus, dan setiap ada waktu luang, tak pernah ia gunakan untuk bermain atau bersenang-senang hingga Anara mulai kehilangan banyak teman.

Lebih tepatnya Anara yang lebih banyak menghindar.

Semua yang telah dikorbankannya bukan tanpa alasan. Bagaimana dirinya bisa bersenang-senang diluaran sana sementara Dion sedang berjuang dengan penyakit mematikan yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya. Anara tidak ingin jika suatu saat dirinya tidak berada di sisi Dion, sesuatu hal buruk terjadi dan Anara tidak mau merasakan penyesalan seumur hidupnya.

Pemakaman Dion adalah hari terburuk sepanjang hidup Anara. Bahkan ia tak sanggup menyaksikan bagaimana peti mati itu perlahan turun ke liang lahat. Anara hanya berakhir tak sadarkan diri berkali-kali.

Satu bulan telah berlalu, tidak ada yang berubah dari Anara selain terus menerus terpuruk dalam kesedihan. Wanita itu seperti mayat hidup yang kehilangan tujuan. Bertahan hidup hanya untuk menangisi kepergian seseorang.

"Aku memiliki kesempatan tetap berada di bumi, sebelum aku benar-benar pergi ke alam baka. Mari kita berbagi kebahagiaan sampai hari itu tiba. Untuk 100 hari kedepan, aku akan datang menemani kamu."

Bermenit-menit bergelut dalam pikiran kosong, kedua bola mata Anara bergerak kembali menatap layar raksasa tepat beberapa meter di depan sana kala mendengar sepenggal dialog adegan film romatis yang tiba-tiba saja menarik atensinya.

Garis bibirnya terangkat sedikit, nyaris tak terlihat. Tersenyum getir melihat setiap adegan yang muncul dalam film.

Tokoh wanita di film itu baru saja kehilangan orang yang dicintai sampai nyaris gila. Larut dalam kesedihan mendalam sampai melakukan hal-hal gila yang tak masuk akal.

Anara merasa jika tokoh utama itu, mirip dengan keadaannya saat ini. Seolah dia ingin mengajak Anara bersedih bersamanya, menangisi nasib mereka yang sama-sama mengenaskan.

Namun Anara tahu jika alur cerita di dalam film itu adalah fiksi. Sebuah cerita yang dikarang penulis dari imajinasinya dan tokoh yang memerankan wanita menyedihkan itu hanyalah seorang aktris yang dituntut untuk melakonkan sebuah karakter. Sementara bagi Anara, kisah kelabu tersebut terjadi padanya bukan sekadar cerita fiksi, tapi kenyataan pahit yang benar-benar nyata. Anara-lah Si wanita malang yang sesungguhnya.

Anara menghembuskan napas pendek sambil menatap kembali tiket film yang dipilihnya secara acak. Ia kemudian bertanya pada diri sendiri mengapa memutuskan untuk menonton kisah cinta menyakitkan seperti ini alih-alih memilih film yang menyenangkan seperti komedi atau paling tidak petualangan. Usahanya menghibur diri sungguh sia-sia.

Menonton hanya membuatnya semakin terlihat nelangsa. Apapun yang ia lakukan tidak pernah membuatnya lupa akan sosok Dion. Akhirnya Anara memilih untuk meninggalkan bioskop, sebelum beberapa dialog singkat di film itu menghentikan langkahnya.

"Bagaimana jika malam ini kita mendengarkan lagu romantis sebelum tidur? Aku akan bernyanyi untukmu."

"Apapun itu, yang penting kamu masih di sisiku."

Countdown: 100th DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang