4 bulan yang lalu.
"Selamat siang!"
Pintu bergeser pelan, bersama sapaan riang wanita berambut coklat panjang terurai. Kedatangannya menjadi alasan Si pemilik ruangan langsung mengembangkan senyum cerah.
Dion menyimpan buku yang tengah dibacanya ke samping ranjang. Membaca buku adalah kegiatan yang wajib setiap kali ia harus datang ke rumah sakit. Tapi kali ini, Dion lebih memilih menyimpan benda itu sejenak. Ada yang lebih ia sukai disini, satu-satunya orang yang dapat mengalihkan dunianya dari buku kesayangan.
Bingkisan-bingkisan yang memenuhi tangan Anara, disimpannya di atas sofa sudut ruangan bernuansa serba putih. Kebiasaan saat berkunjung, makanan apa saja yang terlihat sebelum ke rumah sakit pasti Anara beli.
"Mama Rara kemana? Kok sepi?" Anara menyadari jika ruangan yang biasanya diisi dua orang, kini hanya tersisa Dion duduk di ranjang bersama selang infus yang menghiasi punggung tangan.
"Lagi urus administrasi buat bulan ini."
Anara mengangguk seraya ber-oh. Pikirnya pasti Mama Rara tidak akan lama jika sampai berani meninggalkan Dion sendirian padahal Anara sudah bilang bahwa ia akan telat.
Sekitar dua minggu sebelumnya, Dion kembali dilarikan kerumah sakit setelah ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya. Dion harus kembali menghabiskan hari-harinya di rumah sakit sembari menjalani kemoterapi selama beberapa minggu ke depan sampai keadaannya kembali stabil. Kemudian menunggu hasil lab yang keluar tiap akhir bulan, memutuskan apakah Dion dapat pulang atau tetap tinggal dalam kurun waktu tertentu.
"Jangan banyak gerak, kak. Tidur lagi aja. Kerasa pusing gak?"
"Pusing."
"Obatnya gak mempan kah?"
"Pusing mikirin kamu terus. Kangen, pengen peluk." Dion bergumam, masih sempat memamerkan senyum di bibir yang pucat pasi. Memberi isyarat pada Anara untuk mendekat padanya.
Anara sedikit merengut kesal, "kak, jangan becanda." Wanita itu merapatkan jarak dengan duduk di tepi ranjang, "aku disini kok, gak akan pergi."
Tangan Anara menelusup diantara lengan Dion, memeluk tubuh ringkihnya hati-hati, dan pria itu mendaratkan dagu di bahu wanitanya. Hal yang membuat Anara meringis dalam hati, tubuh Dion sekarang sudah sekurus ini. Bahkan mungkin setara dengan berat badan Anara sendiri.
"Sakit ya?"
Anara merasakan anggukan pelan di bahunya. Kemudian dengan gerakan lembut Anara mengusap-usap belakang kepala Dion yang rambutnya telah habis tak bersisa. Berdoa dalam hati untuk mengusir nyeri yang mendera. Sakit akibat kanker otak yang tengah diderita Dion selama empat tahun. "Rasa sakit, tolong pergilah. Kak Dion orang baik, dia tidak seharusnya merasakan sakit hinggap di kepalanya. Dia tidak seharusnya hidup menderita seperti ini."
Doa yang sama selalu Anara rapalkan setiap hari. Semoga kali ini Tuhan mengabulkan permohonannya.
"Hari ini harusnya kita menikah. Tapi aku malah kayak gini lagi." Dion semakin mengeratkan pelukannya, semakin menenggelamkan wajah di perpotongan leher Anara, berusaha untuk menemukan kekuatannya sendiri. Dion tahu wanita itu seribu kali lipat lebih rapuh, tapi dengan tak tahu dirinya Dion selalu menjadikan Anara sebagai sandaran kala ia harus kembali berada pada situasi memuakkan ini.
Dion lelah ketika harus kembali mendaki sebuah harapan kalau pada akhirnya ia akan terjatuh berulang kali ke tempat yang sama. Berapa kali Dion berusaha sembuh selama empat tahun, namun hasilnya tetap sama. Dia kembali ke titik awal dimana rasa sakit selalu datang kembali menyerangnya sampai luluh latah. Menjadikannya pria yang tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Countdown: 100th Days
FanfictionMencintai wanita yang sama dan terjebak dalam kisah cinta segitiga, tidak pernah menghancurkan kokohnya persahabatan Dion dan Jaendra. Namun justru cinta yang paling tulus lah yang membuat mereka tenggelam dalam luka paling dalam. Anara hanya mampu...