2.3 - How You Feel My Feelings

66 19 31
                                    

Kendaraan roda dua itu berhenti di depan sebuah bangunan di kawasan perumahan elit. Anara masih berdiri di samping motor, bergulat dengan gesper helm yang seolah enggan terlepas dari kepala. Seharusnya tadi dia tidak mengaitkannya terlalu erat, seperti yang biasa ia lakukan saat naik ojek online.

Namun itu tak bertahan lama karena sepasang tangan lembut muncul di bawah dagunya, dengan cekatan membuka gesper helm tersebut sambil memberi seulas senyum. "Biar aku bantu."

"Makasih, Kak Jae."

Jaendra lalu mempersilakan Anara masuk melewati pekarangan yang luas dengan hamparan bunga-bunga terawat. Seorang pria paruh baya terlihat sedang menyirami tanaman, dan Jaendra sempat menyapanya sebelum mereka melangkah masuk.

"Sore pak Muh!"

"Sore den.. udah pulang nih, bawa siapa itu? Pacar ya???" Sahutnya, menggerakkan selang air ke kanan ke kiri. Beliau tukang kebun keluarga Dion selama 10 tahun lebih, namanya pak Muharsono.

"Temen!!!" Jaendra melotot tajam. Untuk sejenak melirik Anara yang tetap memasang senyum sopan, takut-takut gadis itu risih. "Yuk Nar, masuk." Meninggalkan pak Muh di halaman rumah, keduanya memutuskan untuk masuk. Daripada Jaendra diledek habis-habisan oleh tukang kebun itu, karena ini pertama kalinya ia membawa seorang gadis ke rumah.

Setelah ajakan Dion sore itu, Anara justru menjadi lebih akrab dengan Jaendra. Tak jarang, laki-laki itu sering mengajak Anara bergabung untuk makan di meja yang sama di kantin, mengobrol banyak hal sampai lupa waktu. Lama-kelamaan, Jaendra sering membantu Anara untuk hal-hal kecil sampai yang rumit sekalipun, Jaendra tak pernah menolak. Dengan senang hati menawarkan bantuan tanpa pamrih, membuat beban kuliah Anara sedikit lebih ringan.

Saat bertemu di sekre pun, Anara bisa lebih banyak mengobrol banyak hal. Bukan lagi hanya sekadar urusan teater yang biasa menjadi alasan Anara bisa berinteraksi dengan Jaendra atau Dion. Bukan lagi sepatah dua patah kata singkat seperti angin lalu. Anara kira Jaendra dan Dion sama saja, ternyata mereka cukup berbeda dalam beberapa hal. Entah mengapa, untuk sesaat, Anara mulai sedikit demi sedikit melupakan perasaannya pada Dion.

Hari ini, Anara kesulitan mencari orang yang dapat membantu tugas desain 3D-nya. Anara sama sekali belum mahir menggunakan software desain tapi tugasnya harus segera dituntaskan sebagai syarat mengikuti ujian praktek minggu depan. Tidak terasa, sebentar lagi Anara telah menyelesaikan semester pertama perkuliahannya. Bayang-bayang mama Jeni mengibaskan dua buah tiket liburan ke Eropa memenuhi imajinasi Anara. Ingin segera menikmati waktu libur semesternya bersama keluarga dan menghempaskan semua beban kuliah di pundaknya.

Jaendra mempersilahkan duduk di ruang tamu sementara ia akan berganti baju. Kemudian tak lama setelah itu, baru munculah wanita berumur 40-an membawa minuman dan beberapa kue coklat ke hadapan Anara setelah Jaendra memberitahu bahwa seorang tamu berkunjung.

"Siang tante, aku temennya kak Jae." Sapa Anara seramah mungkin, bersama lengkungan bibirnya yang khas. Manis dan hangat.

"Oh ini ya yang namanya Anara."

"Y-ya? Ah, iya tante. Saya Anara." Balas gadis berambut hitam legam yang dicepol rendah. Anara sedikit terheran-heran mengapa mama Jaendra bisa tahu namanya padahal ini pertama kali ia bertamu.

"Yampun cantik sekali, pantes Jae suka." Mama Rara duduk di sofa memeluk nampan kosong, matanya berbinar cerah.

"Ya?"

"Suka ceritain kamu ke tante." Ralatnya.

Anara mengangguk-angguk, mulutnya membulat kecil. Mungkin karena itu mama Jaendra tahu nama Anara, tapi kenapa Jaendra menceritakannya? Anara merasa malu karena dia merasa bukan seseorang yang istimewa.

Countdown: 100th DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang