2.7. - Lost

73 9 42
                                    

Kamar luas bernuansa putih gading itu selalu menjadi tempat yang dirindukan Dion setiap kali pulang dari rumah sakit. Namun kali ini ruang pribadinya terasa sedikit berbeda, maket-maket yang biasanya disimpan di atas lemari kini terpajang rapi di rak dekat jendela, seolah-olah seseorang dengan sengaja menatanya untuk menyambut kepulangan Dion. Mahakarya yang pernah dia buat selama berkuliah di jurusan arsitektur sudah lama tak pernah tersentuh.

Dion berdiri di ambang pintu, menghirup dalam-dalam aroma kamar yang begitu familiar. Bau antiseptik rumah sakit yang masih terbayang di kepalanya, perlahan-lahan tergantikan oleh aroma menenangkan bunga lavender dari pengharum ruangan.

"Biar Dion aja, Ma," Dion mencoba mengambil alih koper yang dibawa oleh Mama Rara.

"Gapapa, enteng kok, koper kan punya kaki." Jawabnya sambil tertawa kecil, menggeret koper itu masuk. Ya ampun, berapa lama Dion menghabiskan waktu di rumah sakit hingga barang bawaannya 'pulang' dalam satu koper besar seperti ini? Karena sebelum-sebelumnya, tidak pernah se-lama ini.

"Itu roda, bukan kaki."

"Sama aja, yang penting bisa jalan."

Balasan sang Mama mengundang tawa kecil, lalu Dion duduk di tepi ranjang hanya untuk memperhatikan punggung Mamanya yang sibuk memindahkan pakaian dari koper ke dalam lemari. Sejenak, Dion tersadar bahwa Mama Rara kini tidak lagi sama seperti dulu. Kerutan di sekitar mata lebih nampak jelas, rambutnya pun samar-samar mulai dihiasi helaian warna putih, juga tubuh yang jauh lebih kurus daripada sebelumnya. Seolah-olah mencerminkan beban waktu yang telah mengikis usia.

Dion teringat masa kecilnya, ketika Mama dan Papa selalu disibukkan dengan pekerjaan. Saat itu, Dion tak terlalu ingat bagaimana sosok Mama Rara di masa muda, selain dari potret-potret lama yang tergantung di dinding rumah. Hari-harinya lebih sering dihabiskan bersama Jaendra, teman sekaligus saudara yang selalu ada di sisinya.

Namun meski begitu, bagi Dion, Mama Rara selalu menjadi sosok ibu yang sempurna. Dia selalu melakukan yang terbaik untuk anaknya, walaupun waktu dan tenaganya sering tersita oleh pekerjaan. Setiap perhatian yang diberikan, meski tak selalu hadir secara fisik, tetaplah menjadi cinta tulus seorang ibu.

Saat melihat Mama Rara yang kini tampak lebih tua dan rapuh, hati Dion mencelos. Seakan-akan waktu yang dia habiskan untuk berjuang melawan penyakit ini tak hanya merenggut kebahagiaannya, tapi juga mempercepat proses penuaan Mamanya. Kini perasaan bersalah mulai menyelimuti Dion, lantas ia berkata dengan suara pelan, "Ma, maaf ya."

Mama Rara berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan kebingungan. "Maaf kenapa, Nak?"

Dion menundukkan kepala. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Dion melanjutkan, "Aku gak bisa jadi putra yang sehat seperti harapan Mama dan Papa. Aku hanya bisa jadi beban di keluarga ini."

Mendengar itu, Mama Rara segera mendekat, duduk di samping putranya dan memandang dengan penuh kasih. "Nak, sehat atau sakit, kamu tetap putra Mama yang paling berharga. Anak itu tidak pernah menjadi beban bagi seorang ibu."

Sejenak, suasana hanya diisi dengan keheningan yang hangat. Dion merasakan sebuah pelukan erat. "Kamu dan Jaendra adalah hadiah terbaik yang Mama punya. Mungkin ini cara Tuhan menegur Mama agar bisa lebih banyak habisin waktu sama kalian." Wanita itu kembali melanjutkan, "kamu tidak perlu jadi sempurna, Mama berharap kamu sembuh bukan karena Mama ingin kamu menjadi putra yang hebat, tapi agar kamu selalu di sisi Mama untuk waktu yang cukup lama."

Countdown: 100th DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang