Saat malam tiba, langit menjadi gelap. Bahkan cahaya bulan pun tak mampu menyinari jalanku.
Tapi selama kau tetap di sini, berdiri di sisiku, aku tidak akan pernah takut pada apapun.—Dion to Jaendra
Part ini agak panjang, jadi ambil posisi terbaik kalian supaya bisa meresapi tulisannya dengan perasaan hangat~
---
Sepasang kaki Jaendra menahan pedal, dan tangan kirinya menarik rem agar roda sepeda berputar perlahan, lalu akhirnya berhenti sepenuhnya di sisi jalur. Dia menopang sepedanya dengan sebelah kaki dan sedikit memutar badan hanya untuk menatap jalanan di belakang. Menunggu seseorang yang tertinggal beberapa meter dari tempatnya berhenti.
Sepuluh menit berlalu, dan orang yang Jaendra tunggu tak kunjung datang. Kecemasan mulai merayap di pikirannya. Pada akhirnya, Jaendra memutuskan untuk berbalik arah, memastikan tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Dion.
Namun, saat kedua kaki Jaendra hendak mengayuh kembali pedal sepedanya, orang yang ditunggu akhirnya muncul. Melaju dengan kecepatan penuh bersama sepeda sport, semakin dekat, dan tiba-tiba berhenti tepat di sebelah Jaendra dalam hitungan kurang dari 1 menit. Napas Dion sedikit tersengal, dia membetulkan letak helmnya yang sedikit menutupi kening. Kemudian, Dion tersenyum penuh arti, menunjukkan dua bungkus camilan di tangannya.
"Ada tukang pentol, sayang kalau dilewatin gitu aja." Dion memberikan satu bungkus kepada Jaendra. "Tenang, ini gak pake bumbu kacang."
Jaendra berdecih kecil, merasa konyol karena menyadari bahwa selama sepuluh menit tadi, dia mengkhawatirkan seseorang yang sedang membeli dua bungkus pentol di jalan. Jaendra tak sadar kapan Dion menurunkan kecepatan sepedanya hingga tertinggal jauh di belakang tanpa sepengetahuannya. Maklum, sepeda tidak punya kaca spion.
"Udah keren-keren gini, malah makan pentol." Sarkasnya, memasukkan satu biji makanan kenyal itu ke dalam mulut. Baju olahraga mereka sudah basah oleh keringat, dan menurut Jaendra, itulah letak kerennya orang yang berolahraga.
"Kenapa? Emang kalo makan pentol menurunkan derajat manusia?"
Laki-laki berlesung pipi itu hanya terkekeh, memilih melempar pandangan ke telaga di sisi jalur sepeda yang mereka lalui sambil menghabiskan makanannya. Telaga dengan air kehijauan yang tenang, seperti tak pernah memiliki ketakutan apapun.
Sementara itu pandangan Dion tak sengaja teralih pada bintik-bintik ruam di sepanjang lengan Jaendra yang tak tertutup kaos. Bagian tangannya dibalut perban untuk mengurangi gesekan akibat bersepeda. Dion sering melihat telapak tangan Jaendra penuh luka-luka karena ruam itu seringkali berakhir lecet karena aktivitas sehari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Countdown: 100th Days
FanfictionMencintai wanita yang sama dan terjebak dalam kisah cinta segitiga, tidak pernah menghancurkan kokohnya persahabatan Dion dan Jaendra. Namun justru cinta yang paling tulus lah yang membuat mereka tenggelam dalam luka paling dalam. Anara hanya mampu...