Semenjak dia hadir, segala ketakutanku sepenuhnya sirna.
—Dion
-
Seperti yang selalu Dion dengar dari orang-orang, "gak kerasa ya, perasaan baru kemaren deh kita ketemu."
Terkadang benar, waktu itu seperti pasir yang mengalir di sela-sela jari. Semakin erat kita menggenggamnya, semakin cepat ia menghilang. Namun, kenangannya tetap ada, layaknya butiran pasir yang masih menempel di telapak tangan. Waktu pasti berlalu dengan cepat, tetapi kenangan itu terus melekat dalam ingatan.
Dion merasakan hari-hari terus berjalan membawa pergi momen-momen berharga yang tak bisa kembali. Setiap detik yang terlewati adalah pengingat bahwa hidup ini tak pernah benar-benar bisa kita kendalikan.
Dion duduk di kamarnya yang kini tampak semakin kosong, memandangi beberapa potret momen yang memenuhi dinding. Dulu, saat pertama kali masuk rumah sakit, Dion berpikir umurnya tak akan lama lagi. Diagnosa kanker otak menghantam bagai petir di siang bolong, membuatnya merasa hidup ini telah berakhir. Namun lagi-lagi, Tuhan menguatkannya, hingga empat tahun berlalu, Dion masih di sini, masih bertahan, meski setiap hari rasanya seperti penjara yang tak berujung.
Ya, ini sudah empat tahun.
Anara benar, jika kita hidup dalam pengharapan besar, selalu ada hal baik yang datang. Dion bertahan selama ini karena harapan itu, harapan yang tak pernah padam. Sebab Anara hadir dalam hidupnya seperti cahaya di tengah kegelapan, memberinya alasan untuk terus berjuang. Jika saja Tuhan tak memberikan rasa sakit ini, Dion mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Anara, sosok gadis yang penuh cinta dan ketulusan.
Kembali pada potret-potret di dinding, ada beberapa momen yang Dion lewati bersama orang-orang terdekatnya. Wisuda Jaendra, ulang tahun Anara, pernikahan Jonathan, liburan bersama Mama Rara dan Papa Daniel, menghabiskan malam tahun baru bersama keluarga Anara, dan masih banyak lagi momen yang diabadikan Dion dalam jepretan kamera. Setiap foto adalah pengingat betapa berharganya hidup ini, meski Dion tahu waktunya mungkin tak lama lagi.
Dion mengeluarkan catatan dari dalam laci, sebuah buku diary yang sudah menemani hari-harinya. Dulu, saat masih di sekolah dasar, Dion sempat diolok-olok karena punya hobi menulis diary. "Cowok kok nulis diary, dasar banci!" Tapi Jaendra, sahabatnya rela babak belur demi membela Dion sampai masuk rumah sakit karena pendarahan di hidung. Sejak saat itu, ia berhenti menulis, memilih menyimpan semua kata-kata dan perasaannya dalam hati.
Namun satu tahun terakhir, Dion mulai banyak menulis lagi, menulis detail kecil dalam hidupnya. Sebab lama-kelamaan Dion mulai sering melupakan hal-hal kecil. Dia mulai lupa apa yang dilakukan kemarin, siapa yang ditemuinya, apa yang ia makan, dan banyak hal-hal lain yang terlupa begitu saja. Bahkan Dion sempat tak mengenali keluarganya sendiri di beberapa waktu ketika penyakitnya kambuh. Tapi ada satu yang Dion tak pernah lupa, yakni, segala hal tentang Anara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Countdown: 100th Days
Fiksi PenggemarMencintai wanita yang sama dan terjebak dalam kisah cinta segitiga, tidak pernah menghancurkan kokohnya persahabatan Dion dan Jaendra. Namun justru cinta yang paling tulus lah yang membuat mereka tenggelam dalam luka paling dalam. Anara hanya mampu...