CERPEN ISLAM TANPA PACARAN

106 8 0
                                    

Cerpen Santri: Demi Cinta, Aku Rela Tidak Pacaran


Hubunganku dengan Alisa sedang diujung tanduk. Ia minta putus. Aku bingung, karena merasa tidak ada masalah apa-apa.

“Aku ingin mengakhiri hubungan ini,” kalimatnya singkat, tapi mendatangkan luka yang tak berkesudahan.

Aku mengenal Alisa ketika acara haul pondok. Saat itu ia sedang bersama keluarganya, sementara aku sedang menjadi panitia prasmanan.

Alisa terlihat bolak-balik ke prasmanan dan nampak kerepotan. Reflek aku antarkan beberapa minuman dan buah-buahan ke tempat keluarga Alisa. Ia sangat senang. Disitulah kemudian aku kenal namanya, Alisa Larasati.

Pertemuan kedua justru terbalik. Alisa sedang menjadi petugas prasmanan diacara hataman putri, sementara aku ditugaskan menjadi penerima tamu. Aku bolak-balik mengantarkan semua yang datang untuk menikmati hidangan.

“Kang Randu, monggo makan dulu, mumpung tamu sedang sepi,” katanya dengan sopan.

Itulah awal ia berbicara kepadaku sejak kami kenal. Dan entah bagaimana, hari itu perasaanku terasa berbeda. Aku begitu bersemangat dan betah berlama-lama diputri.

Namun setelah itu, aku tidak pernah bertemu dia lagi. Karena dipesantren, santri putra dan putri dipisahkan oleh bangunan, tembok, juga aturan, pengurus dan keamanan.

Sampai akhirnya, pada waktu liburan pondok, ketika aku di rumah, tanpa sengaja kami bertemu ditempat yang sama. Waktu itu aku sedang pesan bakso langganan yang cukup terkenal di pasar kecamatan. Saat itulah Alisa datang.

Kami menikmati bakso bersama di meja yang sama. Kami ngbrol tidak lama. Aku baru tahu ternyata ia tetangga desaku.

Pertemuan diwarung bakso berlanjut diobrolan WA. Di WA ia sangat asyik dan lebih terbuka, terlebih ketika bercerita suka dukanya selama di pondok. Aku merasa nyaman dan betah berlama-lama chatan dengan Alisa. Dari situ aku bertambah yakin akan perasaanku kepada Alisa.

Hingga tanpa terasa, waktu libur pondok akan berakhir. Dua hari lagi kami harus berangkat ke pondok. Jika tidak, kami bisa kena ‘taziran’. Kami memutuskan ketemuan.

“Dik Alisa berangkatnya bareng siapa?” tanyaku hati-hati.

“Sama bapak dan ibu, Kang,” jawab Alisa dengan wajah yang selalu tertunduk. Ia seperti biasa tidak berani menatapku.

“Kang Randu sendiri sama siapa?”

“Aku berangkat rombongan dengan santri lain.”

Kami ngobrol tidak lama, karena Alisa nampak gelisah. Sebentar-sebentar lihat ke jalan.

“Ada apa, Dik?”

“Gak apa-apa, Kang. Gak enak aja kalau ada yang melihat kita.” Aku tersenyum maklum. Bagaimanapun gak baik ngobrol berdua dengan lawan jenis dan bukan muhrim, meski bukan dipesantren.

Alisa pulang lebih cepat dari yang kuharapkan. Padahal aku sudah berniat mengutarakan perasaanku. Semalaman aku melatih diri, mempersiapkan apa yang harus aku katakan. Nyatanya aku belum berani dan tidak punya cukup kesempatan. Tapi aku terpana pada kata-katanya sebelum pergi.

“Kang, nanti disana jangan lupa doakan Alisa ya. Biar Alisa semangat dan bisa seperti Kang Randu sampai kelas Alfiyah,” ucapnya pelan, tapi debarnya sangat terasa dijantung perasaan. Apakah ini pertanda kalau sebenarnya Alisa juga punya perasaan yang sama?

Hari itu Alisa berangkat ke pesantren. Ia berkirim pesan WA untuk yang terakhir kalinya, “Kang, Alisa berangkat. Sampai jumpa ditempat dimana bertemu menjadi mimpi yang tak bisa menjadi nyata.” Aku tersenyum. Aku menangkap ada rindu yang tersamarkan pada setiap kalimatnya.

CERPEN REMAJA MUSLIMAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang