"adek Abang ganteng banget".
"Tidurnya juga nyenyak banget , kayaknya ini tidur lo yang paling nyenyak dek dan tanpa rasa sakit". ucap kael sendu sambil mengelus wajah pucat adiknya yang sudah terbaring damai dalam sebuah peti berwarna putih lengkap dengan setelan jas dan dasi tidak lupa dengan jam tangan kesayangannya.
"Sampai saat ini gue masih berdo'a sama Tuhan , berharap Tuhan mau bermurah hati ngembaliin lo lagi". Kael terkekeh mendengar ucapannya sendiri namun air matanya lagi - lagi keluar padahal sejak adiknya dinyatakan meninggal oleh dokter dan disemayamkan di rumah duka Kael tidak berhenti menangis namun air matanya tak kunjung habis.
"Tapi gak mungkin kan ? atau emang lo yang gak mau bangun, hmm ? ". Kali ini Kael sudah tidak bisa lagi menahan isakannya bahkan penghiburan yang diberikan oleh para pelayat yang datang tidak sedikitpun mengurangi rasa sedihnya.
"Abang". Damian mengusap lembut bahu anak sulungnya lalu membawa jiwa yang sedang hancur itu kedalam pelukannya.
"Maaf pa". Ucap Kael semakin terisak.
"Nangis aja bangv, bahu papa dan mama selalu ada buat abang , ayo sembuh bersama - sama gak perlu cepat - cepat bang , pelan - pelan aja gak apa - apa". Dengan tangan yang terus naik turun mengelus punggung Kael , Damian mencoba menenangkan Kael , merengkuh jiwa rapuh anak sulungnya meski jauh di dalam sana ada jiwa yang sama hancurnya atau bahkan lebih parah.
"Abang kangen Jere pa , padahal abang masih bisa lihat jere tapi kenapa rasanya begitu jauh ? gimana nanti kalau abang udah bener - bener gak bisa lihat Jere lagi pa , Abang harus gimana pa ? ". Tangisan kael semakin terdengar menyayat hati meski teredam oleh dada bidang Damian membuat siapapun yang mendengarnya turut merasakan sebesar apa kehilangan yang sedang Kael rasakan.
"Hmm,.papa tau nak , papa mengerti sekali". Damian berulang kali mengecup kepala Kael dengan air mata yang sama derasnya dengan Kael.
"Nanti kita cari jawabannya sama - sama ya?". Diangguki Kael lalu mereka saling memeluk lebih erat lagi , saling mengadu rasa sedih yang mereka rasakan berharap bisa menjadi sebuah kekuatan.
"Jere , belahan jiwa mama". kali ini Yuan yang berdiri disamping peti jere sambi mengelus surai lembut jere mengamati setiap inci wajah jere , tanpa terlewat satupun lalu menyimpannya rapat dalam memori seakan takut akan melupakan wajah tampan anak bungsunya itu saat tak bisa ia lihat lagi , ah rasanya Yuan ingin puas - puas menatap wajah jere saat ini.
"Jere tau gak ? Waktu jere ninggalin mama , rasanya separuh jiwa mama hilang". Yuan berhenti sejenak mengambil nafas pelan lalu tersenyum kemudian tangannya berpindah mengelus pipi jere.
"Kalau Abang itu kebahagiaan , Jere adalah pelengkap kebahagiaan mama dan papa". Ucap Yuan lembut sambil sesekali menyeka air matanya.
"Rasanya mama gak rela , Tuhan ngambil kamu secepat ini tapi kelihatannya anak mama ini bahagia , kalau memang seperti itu mama rela meski harus ditukar dengan semua rasa sedih seperti ini asal Jere bahagia dan tidak sakit lagi , tolong beritahu Tuhan mama sangat menyayangi Jere dan sangat berterimakasih kepada Tuhan sudah dianugerahi anak baik seperti Jere". Setelahnya Yuan mundur lalu menoleh ke arah Joan yang sedari tadi berdiri di belakangnya mempersilahkan untuk mendekat disamping peti Jere.
"Je , lo tidur nyenyak beneran ternyata".
"Gue udah kangen lo, masa?".
"Gue pengen dipeluk sama lo tau Je?".
"Rasanya dada gue sesak banget Je".
"Gue gak tau, kalau kehilangan lo sesakit ini je". Joan mulai terisak.
"Dari kemarin gue selalu tanya sama Tuhan kenapa Tuhan ngambil lo bahkan kita baru ketemu beberapa hari".
"Kenapa Tuhan gak ngasih waktu lebih banyak buat kita sama - sama".
"Kenapa Tuhan ngasih rasa sedalam ini buat gue sama lo meski cuma ada 1 hari".
"Tapi lo tau gak Je , semua pertanyaan gue tadi gak akan pernah ada jawabannya".
"Bahkan semalaman gue berdo'a berharap Tuhan ngasih jawabannya ke gue tapi tetep gue gak punya jawabannya Je". Joan sudah tidak bisa menahan isakannya lagi Joan mulai Menangis tersedu.
"Tapi gue tau , Jere gue sekarang udah bebas, udah gak ngerasain sakit lagi". Joan mengusap air matanya kasar dan mulai tersenyum.
"For the last time thank you Je , see you in another life"
"Semoga di kehidupan selanjutnya Tuhan bisa ngasih waktu lebih lama buat gue sama lo untuk bersama - sama". Setelah berkata seperti itu Joan memilih pergi untuk menyendiri , menikmati rasa sedihnya.
Setelah beberapa hari disemayamkan dirumah duka hari ini rencananya jenazah Jere akan dimakamkan dan sebelum dilakukan upacara tutup peti untuk terakhir kalinya Damian mendekat kearah anaknya.
"Papa sayang sekali sama kamu tapi Tuhan sepertinya lebih sayangb, good bye son". Damian mengecup lama kening Jere untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya peti benar - benar ditutup.
•
Pemakaman Jere diwarnai isak tangis pilu dari keluarga , sanak saudara dan beberapa sahabat dekat Jere , menunjukkan betapa beratnya kehilangan orang yang disayang , hingga acara pemakaman selesai satu persatu orang meninggalkan pemakaman Jere meninggalkan tiga orang remaja laki - laki disana.
"Je.. gue bawain helm nih , katanya mau gue boncengin lo". ucap remaja bernama Nath sambil menangis sebal lalu meletakkan helm bergambar minions diatas makam jere.
"Jangan mau Je, nanti kalau kebut - kebutan dimarahin Tuhan".
"Ckk.. apaan sih lo Hans". Balas Nath kesal.
"Ssst.. gue belum selesai ngomong diem". Protes anak laki - laki yang dipanggil Hans itu lalu melanjutkan perkataannya.
"Mending gue , bawain lo seblak Je , yang lo liat di yutup, ternyata pas gue cobain rasanya pedes banget sialan , nangis lambung gue". Ucap Hans dengan air mata yang sudah mengalir deras.
"Udah gak usah dengerin temen lo berdua itu Je , gak pernah waras emang tapi disuruh berobat jalan Denial terus". Saut anak bernama Riel.
"Brengsek!". Ucap Nath dan Hans bersamaan
"Mending gue Je , katanya lo pengen main hujan , gue bawain lo semprotan burung sama airnya, simulasi aja dulu". Ucap Riel bangga lalu mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh.
"Lebih mirip pasien rumah sakit jiwa gak sih? si Riel". Bisik Hans pada telinga Nath.
"Lebih ke senior disana sih Hans". Saut nath tak kalah pelan.
"Jancuk!". Umpat pelan Riel yang notabene adalah seorang chindo asli Surabaya.
"Udah deh ayo pergi,kita pamit dulu ya Je , baik - baik lo sama Tuhan". Ucap Hans langsung mendapat pukulan dibahunya dari nath dan Riel.
"Bye Je , kita bakal sering kesini ketemu sama lo" ucap Riel lalu berlari kecil kearah kedua sahabatnya.
Sementara Joan yang masih berjalan pelan meninggalkan area pemakaman dikejutkan dengan teriakan dari belakang yang memanggil namanya.
"JOAN ! ". Teriak hans , Riel dan nath bersamaan membuat Joan menoleh bingung karena merasa asing dengan ketiga orang dihadapannya.
"Kalian siapa ? ". Joan memandang tiga orang yang terlihat menyebalkan sama seperti Jere
"Kita sahabat jere gue Nath , ini Riel terus itu Hans.
"Ada apa ? ". Seingat Joan ia melihat mereka saat dirumah duka maupun pemakaman Jere berlangsung dan mereka termasuk orang yang menangis kencang.
"Jere nitipin kita ke Lo". Ucap Hans membuat Joan semakin bingung dan lagi - lagi Hans dihadiahi pukulan di kepala belakangnya.
"Jangan dengerin ni burung onta, maksudnya Jere nitipin lo ke kita". Saut Riel diangguki Nath dan Hans.
"Tenang kita gak jago berantem , kalau Lo dalam bahaya mending lapor polisi ! ". Ucap nath penuh keyakinan membuat Joan memutar bola matanya malas
' beneran kata pepatah mati satu tumbuh seribu'. ucap Joan dalam hati lalu meninggalkan mereka Begitu saja.