Hukuman

725 26 3
                                    

Istana Atas Angin diguncang kegegeran dahsyat, Raja Peri murka besar, dia berdiri sembari berkacak pinggang, sayap dipunggungnya membentang lebar dengan bulu-bulu sayap yang terkembang, pertanda marahnya tak dapat lagi di redam.

"Mudya! Kau tau kesalahan apa yang telah kau perbuat?!" Bentak Raja Peri pada salah seorang putranya, Pramudya yang tengah berlutut di bawah tangga singgasana, ditengah tatapan takut bercampur kecewa para mentri istana Atas Angin.

"Ampun ayahanda, saya, saya sungguh tidak sengaja" Terbata-bata Pramudya menjawab, wajahnya pucat, keringat dingin jatuh menyecer dari sela-sela poni kecoklatan ya.

"Mustika Pelangi, salah satu benda pusaka kerajaan peri yang paling berharga telah kau pecah kan. Kau tau apa artinya itu?" bentak sang ayah.

Pramudya menggeleng lunglai.
"Mustika itu kan mangkuk kaca aneka warna biasa" celetuknya, dia tak menyangka jika benda yang berbentuk mangkuk dengan warna-warni bergemerlap itu adalah salah satu harta berharga kerajaan mereka.

"Mangkuk biasa katamu?" Murka sang ayah, Raja Peri di Istana Atas Angin.
"Kalau itu mangkuk biasa sudah pasti jadi tempat buah di dapur? Buat apa disimpan di ruang rahasia!" Hardik ayahnya, gusarnya bukan olah-olah. Bahkan sangking marahnya, beliau segera bangkit dari singgasana dan meraih tangan anaknya, diseretnya Pramudya menuju jendela besar, Ratu Peri sang ibu meski khawatir akan keadaan anaknya tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia tau seperti apa tabiat sang suami kalau sednag murka, bisa-bisa dia menerima kutuk mengerikan.

"Kau lihat bocah tengik! Lihat itu!" Raja Peri dengan paksa arahkan kepala anaknya melihat keluar jendela, sedangkan tangan kanannya menunjuk keluar.

Di luar sana, di tengah hamparan awan-awan putih berpayung langit biru nan damai, terbentang satu daratan. Sebenarnya daratan itu sebelumnya indah, penuh pepohonan, tanaman hias dan aneka bunga langka, namun sekarang keindahan itu sirna, karena tumbuhan-tumbuhan cantik itu telah kehilangan banyak warna, semua menjadi kecoklatan laksana seng berkarat.

"Negeri ini telah kehilangan warna" ujar sang Prabu dengan nada gelisah.

Bersamaan dengan ucapan beliau, saat itu pula terjadi kegegeran, seluruh pakaian orang-orang di istana bahkan di seluruh penjuru negeri telah berubah menjadi putih pucat laksana mayat, tak hanya sebatas pakaian, tetapi juga warna kulit, rambut bahkan bola mata ikut berubah menjadi abu-abu.

Orang-orang di istana mulai khawatir, mereka takut negeri mereka akan dilanda kutuk.

Pramudya kini bungkam, dia kini sadar bahwa kesalahannya kali ini benar-benar sulit dimaafkan.

"Kau tau Mudya? Warna-warna pada tumbuhan menjadi petunjuk apakah tanaman itu beracun atau tidak, bisa dijadikan makanan atau tidak, bisa dijadikan obat atau tidak. Kalau warnanya berubah gosong seperti itu bagaimana cara mengenalinya? Kalau begini kita harus meminta bantuan negeri peri lain untuk memasok makanan dan obat-obatan" Tambah sang ayah.
"Tak hanya itu! Kau lihat tubuhku ini!  Kau lihat ibumu! Kau lihat kakak-kakak mu, lalu para menteri, dan juga seluruh rakyat Atas Angin! Lihat perubahan fisik mereka! Termasuk juga dirimu! Kita menjelma seperti hantu pucat!"

Pramudya secara reflek usapkan kedua tangan ke wajahnya, dia melirik ke salah satu dinding dimana ada cermin besar yang sering digunakan ayahanya dengan kemampuan sihir untuk melihat kejadian di luar istana. Kedua mata Pramudya membeliak lebar,wajahnya yang dulu tampan berubah menjadi pucat laksana hantu.

Pramudya segera jatuhkan diri berlutut
"Ampuni aku ayahanda! Sungguh aku tidak sengaja memecahkan mustika itu!"

Sang ayah menghela nafas kecewanya.
"Kau tau? Bermain di ruang rahasia adalah terlarang, tapi kau melanggarnya"

FALLEN ANGEL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang