Ridho menuju gudang, mencari-cari pakaian bekas ayahnya yang masih bagus yang telah terbungkus di dalam kardus. Setelah menemukan sebuah kemeja dan celana jeans yang dikiranya cocok, dia pun kembali menuju kamar dimana Mumud si peri tampan itu tengah menunggu hanya dengan berbalut handuk di pinggang. Sumpah kalau saja ingin menurut nafsu Ridho pasti sudah melahap bahkan melompat ke selangkangan si makhluk ajaib itu, tapi dia juga takut dan tahu diri, dia yakin si peri ini punya kekuatan, nah kalau dia kurang ajar bisa-bisa dia kena kutuk atau malah-malah gantian di kurung dalam cermin.
"Kau pakai ini" ucap Ridho sambil lemparkan pakaian milik ayahnya ke atas ranjang di samping Pramudya yang tengah duduk di tepi ranjang.
"Apa itu?" Tanya sanh peri.
"Pakaian, jujur ya pakaian perimu itu norak, seperti dari jaman purba. Kau sekarang hidup bersama manusia, nah jadi harus berpenampilan layaknya manusia" jelas Ridho.
"Baiklah" jawab Pramudya, lalu pemuda ini bangkit dan enak saja dia tanggalkan handuknya. Lagi-lagi nafas Ridho menyesak dengan sepasang mata memanas.
"Ya ampun, makhluk ini senang sekali menggodaku, apa dia tak tahu kalau aku ini gay?" Membatin Ridho dalam hati, sepasang matanya memandang gundukan dua bukit bokong milik Pramudya yang berdiri membelakanginya.
"Hei kepala brokoli! Bagaimana cara memakai benda ini" ucap Pramudya sembari menyodorkan kain segitiga berwarna coklat, sempak.
"Pakai saja, masukkan kedua kaki mu ke sana, itu fungsinya biar perkakas antikmu itu nyaman, heran apa para peri gak pake sempak?" Gerutu Ridho.
Tak berapa lama Pramudya selesai berpakaian. Seketika Ridho takjub, berpenampilan layaknya manusia, peri yang dipanggilnya Mumud ini benar-benar perfect tampan sempurna. Bahkan Bayu si badung pujaan cewek-cewek di sekolahnya tidak ada apa-apanya, begitupun Juna. Astaga Ridho, kemarin kau tertarik pada Juna, masakan begitu dapat yang lebih bening langsung lupa.
"Bagaimana? Apa aku terlihat tampan?" Tanya Mumud narsis.
"Cih biasa saja" gengsi Ridho mengakui kalau Mumud benar-benar tampan.
"Sekarang aku harus membaca mantra agar..." Belum selesai Pramudya bicara tiba-tiba
Kreekk pintu kamar terbuka lalu meledaklah suara jeritan
"Aaaaa, baju terbang. Setan!" Satu jeritan perempuan membahana dan brukk sosok itu ambruk pingsan.
"Mak" panik Ridho segera menghambur menolong sang ibu.
***"Kenapa kau tak bilang kalau di dunia ini cuma aku yang bisa melihatmu" ucap Ridho kesal. Gara-gara keteledoran Mumud ibunya harus pingsan gara-gara melihat pakaian melayang-layang di dalam kamar, karena sejatinya sang ibu tak dapat melihat Pramudya, jadi yang terlihat hanya pakaian yang digunakannya saja.
"Ya, karena kau manusia pertama yang menyentuhku, maka cuma kau yang bisa melihatku. Aku lupa setiap akan memakai benda milik manusia aku harus membaca satu mantra, agar benda itu juga menjadi tak terlihat seperti ku. Kalau tidak lihatlah akibatnya, ibumu sampai kaget melihat pakaian terbang yang sebenarnya sedang aku gunakan"
"Terus bagaimana kalau ibu sadar nanti?" Tanya Ridho panik.
"Itu terserah mu cari alasan apa, oh iya aku mau jalan-jalan keluar, sudah lama tak melihat indahnya dunia manusia, sampai jumpa" lalu seperti makhluk gaib sosok Pramudya melangkah enak saja menembus dinding.
"Hei jangan pergi! Kepala Jamur, kembali!" Panggil Ridho namun sosok Pramudya telah lenyap.
***Pramudya melangkah enteng menyusuri jalan, sebenarnya dia ingin menyaksikan keindahan kampung tempat tinggal barunya di dunia manusia itu melalui udara, namun tenaga dalamnya masih belum pulih sempurna, jadinya ya dia jalan kaki saja menyusuri jalanan kampung. Hatinya gembira luar biasa, setelah beratus-ratus tahun terkurung di dalam dunia cermin yang serba putih bening, kini dia bisa melihat aneka warna dunia manusia, diam-diam terbit pula rasa rindunya akan istana atas angin, Pramudya reflek mendongak ke atas awan, seolah-olah dapat menembus pandang ke istana Megapura.
Peri tampan ini kembali berjalan, pemandangan alam dan aktifitas manusia benar-benar sangat menarik perhatian, hingga tanpa sengaja dia tiba di sebuah pasar.
Tentu saja pemandangan akan hiruk pikuk pedagang dan pembeli menarik perhatiannya. Pramudya berhenti di dekat penjual martabak.
"Apa itu? Kelihatannya enak" celetuk Pramudya yang memperhatikan si Abang martabak tengah mengaduk adonan. Sedangkan si Abang tak menyadari karena tak dapat melihat wujud Pramudya.
Pramudya menjulurkan tangan mencoba mengambil martabak yang telah matang, karuan saja si Abang martabak langsung pucat pasi ketika melihat sepotong martabaknya terangkat tanpa ada yang mengambil.
"Setan! Ada tuyul martabak!" Jerit si Abang.
Pluk, reflek Pramudya melepaskan martabak itu hingga terjatuh ke atas tanah karena terkejut.
"Sialan baru juga mau masuk ke dalam mulut" maki Pramudya.
Karena jeritan si Abang martabak tadi maka ramai orang mengerumuninya. Orang-orang segera tak percaya saat si Abang martabak menjelaskan apa yang dilihatnya.
"Dasar koplak, pasti habis teler lem kambing" ucap seorang bapak-bapak sembari meninggalkan si Abang martabak yang masih berusaha meyakinkan penglihatan anehnya barusan.
"Tertiup angin kali" seorang ibu menceletuk.
"Masakan angin bisa menerbangkan martabak?" Bela si Abang martabak.
Pramudya tersenyum geli melihat debat itu, lucu saja melihat manusia saling berselisih paham.
Mulut Pramudya berkomat-kamit membaca mantra, mantra yang dulu diajarkan oleh gurunya agar dia dapat membuat benda-benda manusia menjadi tak terlihat dan menjadi miliknya. Seusai baca mantra, Pramudya tudingkan jarinya ke arah bungkusan martabak.
Blesss, martabak itu lenyap dan tahu-tahu sudah ada di tangannya. Tanpa basa basi dia segera melahapnya, kali ini aman, karena martabak itu telah dimanterainya agar tak terlihat lagi.
"Enak!" Gumamnya takjub.
"Ternyata makanan buatan manusia enak-enak" Pramudya ketagihan.Dasarnya memang dia bangsa usil, maka keusilannya itu bukan sebatas mencuri martabak, melainkan juga makanan yang lain, mulai dari bakso bakar, jagung rebus, gorengan, tape, hingga kue putu.
"Yang ini paling enak" gumamnya sembari menelan kue putu yang baru dicurinya, sosoknya sendiri tengah duduk diatas atap sebuah toko sepeda, sedangkan ditangannya ada kresek berisi kue putu hasil curiannya.
Lagi sedang enak-enak, tiba-tiba hidungnya mengendus bau sesuatu, daya menanggapi rangsangan di kulit dan indera penciumannya melonjak tajam.
"Bau siluman!" Pramudya terlonjak kaget. Segera dia bangkit berdiri dan melompat turun dari atap bangunan toko. Pandangan matanya mengedar ke seantero pasar, namun tak ada siluman ataupun makhluk yang beraurakan siluman.
"Jelas-jelas aku mencium bau siluman? Tapi mana makhluknya?" Ucap Pramudya. Saat itu pula dari jalanan pasar lewat empat buah sepeda motor yang masing-masing dikendarai oleh remaja pria berparas tampan. Mereka adalah geng Sepakat.
"Bau siluman ini semakin kuat" ucap Pramudya yang mau tak mau melihat kearah empat remaja yang lewat tadi.
"Ah mungkin hidungku salah mencium, jelas-jelas semua orang disini adalah manusia" Pramudya garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sayup-sayup dia bisa mendengar bisik-bisik para pedagang.
"Anak pak kades itu ganteng ya, tapi urakan" ucap seorang pedagang sayur.
"Ganteng, tapi sombong, kata anakku dia itu berandalan di sekolah" sahut yang satu.
"Kemarin anakku cerita mereka habis menganiaya anak baru hingga babak belur. Duh jahat benar ya, itulah kalau anak terlalu dimanjakan. Pak kades selalu saja membela anaknya meskipun salah" ibu-ibu dipasar ikut menimbrungi bergosip.
Pramudya tak merasa penting akan gosip itu, dia telah cukup lama meninggalkan rumah Ridho, berarti ini saatnya dia pulang. Sekali Pramudya menjentikkan jari, tubuhnya telah lenyap dari pasar dan telah berpindah tempat tepat di halaman rumah Ridho.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FALLEN ANGEL
FantasySeorang peri berjenis kelamin pria harus mendapatkan hukuman berat akibat kesalahan fatal. Dia disegel kedalam sebuah cermin dan di campakkan ke dunia manusia, setelah ratusan tahun tersegel di dalam cermin tiba-tiba saja tanpa sengaja Ridho Syuhada...