Penghuni Baru

305 23 6
                                    

"Ridho ayo cepat! Kemasi barang-barangmu! Bawa yang penting-penting saja ya!" Satu suara perempuan berseru dari luar kamar seorang remaja cowok 17 tahun yang tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam kardus, ada pakaian, koleksi buku, dan juga harta karunnya, yaitu mobil mainan favoritnya Tamiya yang jumlahnya sampai 27 buah yang dirawatnya sejak masih anak-anak ingusan.

"Kenapa harus pindah sih!" Celetuk anak itu keras. Ditujukan agar ibunya bisa mendengar.

"Ayahmu dipindah tugaskan ke sana, jadi mau tak mau kita ikut pindah" sahut ibunya.

"Terus rumah ini siapa yang nempatin?"

"Ada, paman dan bibimu"

"Kita akan pindah ke kampung kan Bu?" Tanyanya lagi sembari memplaster kardus dimana dia menyimpan buku-buku nya.

"Iya, kampung itu tak punya kepala puskesmas. Jadi ayahmu ditugaskan ke sana" Sahut sang ibu, yang ternyata sama sibuknya dengan Ridho. Perempuan itu juga tengah mengemasi barang-barang dan surat-surat berharga.
***

Mobil yang membawa keluarga Pak Atma itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang walau besar namun terkesan sederhana, kalau tak mau dikatakan kurang terawat. Di belakang mobil turut berhenti pula sebuah truk kecil yang mengangkat perkakas rumah tangga.

Seorang lelaki berpakaian dinas beserta beberapa orang kampung menyambut Pak Atma.

"Selamat datang pak Dokter di kampung Bandar Selamat" sang Kepala Desa segera menyalami Pak Atma begitu dokter berusia hampir 40 tahun itu turun dari mobil diikuti istri dan anak semata wayangnya.

"Terima kasih pak kades" sambut Pak Atma ramah, keduanya berpelukan kecil, lalu menyalami beberapa penduduk yang di sana.

"Ini rumah yang kami sediakan buat keluarga bapak. Rumah ini tak ada yang punya. Peninggalan Belanda."

"Lho rumah sebagus ini kok tak ada yang punya pak?" Tanya Bu Mira, istri pak Atma pada pak kades, sedangkan Ridho cuma diam mematung dengan punggung menyandang ransel besar.

"Oh, lupa ini istri dan anak saya pak" pak Atma memperkenalkan Bu Mira dan Ridho.

"Ridho pak!" Sahut remaja kelas 2 SMA itu.

"Wah saya juga punya anak seumuran kamu. Namanya Bayu, kapan-kapan bapak kenalkan supaya kalian bisa berteman" ucap Pak Kades yang bernama Bambang itu dengan ramahnya.

"Oh iya pak, kenapa rumah ini tak ada yang punya?" Tanya Bu Mira lagi karena masih penasaran.

"Hmmm saya juga tidak tahu, awalnya rumah ini mau dijadikan kantor kepala desa tapi tak jadi, orang-orang juga tak tertarik, mereka bilang rumah ini suram dan rada menakutkan"

"Ada setannya ya pak?" Untuk pertama kali Ridho menimbrungi yang karuan saja karena pertanyaannya itu si ibu menginjak kakinya sedangkan sang ayah memelototkan mata. Ridho seketika terdiam.

"Bukan nak, seumur-umur bapak tidak pernah melihat hantu disini. Mungkin karena rumah ini peninggalan penjajah, dan konon dulu bangsa penjajah kelewat kejam saat ada di kampung ini. Makanya penduduk enggan memilikinya karena dendam turunan. Kalau bapak dan ibu berminat memilikinya, bisa kita urus" tawar Pak Kades.

"Ah bapak ini, baru juga tiba udah membahas kepemilikan rumah" sahut Pak Atma sungkan.

Lalu dipandu pak Kades mereka memasuki rumah itu yang ternyata bagian dalamnya sudah bersih.

"Semalam penduduk bergotong royong membersihkan"

"Wah jadi merepotkan ya pak. Terima kasih banyak" ucap Bu Mira lalu dia segera meminta sopir truk untuk mengambil tikar dan membentangkannya di ruang tamu.

FALLEN ANGEL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang