6

254 32 8
                                    

Di salah satu resto ternama di Seoul, Jimin duduk gelisah di tempatnya. Entah kenapa seakan sesuatu mengusik akal, hingga sukar menikmati hawa di sana. Ada Min Aeri mendampingi dan keduanya sedang menunggu di meja hasil reservasi Jackson Wang. Sebulan sudah kerjasama di antara keduanya terlaksana dan tak jarang mereka mengadakan pertemuan bisnis di luar seperti saat ini.

"Tuan Wang segera tiba." Aeri mengumumkan, usai menyimpan ipad miliknya. Lantas, dia menyesap teh hijau miliknya dengan hati-hati, "Ada apa? Wajah Anda kelihatan pucat."  Kening Aeri berkerut menyaksikan air muka sang pimpinan. "Apa perlu kita meminta Tuan Wang untuk menunda pertemuan ini? Saya mencemaskan Anda."

"Tidak Aeri, aku ingin semua ini segera selesai." Jimin mencurahkan pikirannya. Gagal menyembunyikan kekhawatiran, matanya gusar menatap ke sembarang arah.

Di balik risau nan kentara, Jimin menyimpan rencananya sendiri. Teringat kejadian bulan lalu, di mana sang suami mengutarakan penegasan mutlak padanya. Bukan sekadar ancaman untuk melonggarkan keras kepala. Kata-kata Jungkook pula terbukti. Sikapnya berubah drastis di hari berikutnya sampai kini. Dia hanya akan bicara seperlunya, terhitung jarang saling berbincang.

Jika Jungkook memperlihatkan perangai sebagai lelaki otoriter, maka tak ada jalan memutar selain tunduk menuruti dengan sukarela. Jimin tidak pernah bermaksud ingin benar-benar melawan suaminya. Namun, lalainya dia telanjur mengarah ke perilaku semacam itu.

Tentu jalan teraman adalah mengikuti kemauan suaminya dengan melibatkan secara tertutup sebentuk kebohongan kecil. Dia berasumsi inilah solusi teraman, kendati peluang dampak buruknya jauh lebih tinggi.  

Akar permasalahan yang berlangsung, Jimin membuat janji temu dengan partner bisnisnya, Jackson Wang. Mengatasnamakan profesionalitas kerja, Jimin pun tak kuasa menolak. Lagi pula pemilik perusahaan Jeopark secara tertulis menunjuk dia mengambil alih seluruh perkara menyangkut Tuan Wang.

"Anda takut ketahuan?" Terang-terangan Aeri mengutarakan tebakannya.

"Semenjak hari itu aku memang tidak bisa tenang, andai kau lihat kemarahannya. Sebetulnya Jungkook bukan pria  tempramen, aku sangat mengenal dia. Tetapi, aku ingin segalanya tetap berjalan lancar, tidak mengganggu sisi manapun."

"Butuh pertimbangan, tidak semudah perhitungan Anda. Keluarga dan karier adalah dua hal penting bagi wanita seperti kita. Saat keharmonisan dalam hidup terancam, kita wajib menganalisa letak kesalahannya."
 
Jimin mengembuskan rasa penatnya, lalu menyesap machiato yang nyaris dingin, "Aku paham maksudmu." Jimin kukuh ergelut dengan nalarnya sendiri, mencari jalan tengah guna menyelamatkan rumah tangga berikut pekerjaan yang dicintai.

"Dia sudah datang," bisik Aeri seraya sedikit mengangkat dagunya ke arah pintu.

"Kepalaku pusing." Jimin meneguk nyaris tandas minumannya.

"Anda ingin kita pulang? Biar kukatakan padanya." 

"Pria yang kita temui bukan orang biasa. Tuan Park sudah mempercayakan hal ini kepadaku. Salah sedikit saja, habislah segalanya. Mungkin aku tak punya muka lagi untuk bertemu mereka, terutama--"

"Nyonya Park, dosen favorit Anda. Saya benar 'kan?"

"Dia yang membuatku sampai bisa seperti ini."

"Selamat datang, Tuan Wang," sela Aeri sembari membungkuk sepintas. Sementara pria itu mengambil duduk di samping Jimin.

"Sudah pesan makanannya?" tuturnya dini memanggil pelayan yang kebetulan melintas. "Tolong daftar menunya, ya."

"Silakan, Tuan!" Si pelayan tetap berdiri di sana, menanti pesanan mereka.

"Maaf membuat kalian menunggu."

"Kami belum lama di sini, Anda tidak perlu sungkan."  Senyum simpulnya turut hadir, "Bagaimana perjalanan Anda?" enggan tamunya tak nyaman, Jimin sengaja beramah tamah.

"Lumayan melelahkan, satu setengah jam di perjalanan. Tapi kau tidak perlu cemas, aku selalu bersemangat bila akan bertemu denganmu."  Jackson Wang memandang Jimin dengan tatapan berbeda, tak berhenti mengulas ekspresi kagum di parasnya yang tampan.
 
"Sebaiknya kita pilih dulu menunya." Beruntung ada Aeri di situ yang memberanikan diri memotong pembicaraan tersebut, "Sejujurnya Saya agak lapar dan bisa payah  berkonsentrasi kalau tidak makan. Bukankah tujuan pertemuan ini untuk rapat penting?"

"Tidak masalah buatku. Makanlah sebanyak kalian mau, aku yang traktir."

"Anda sungguh dermawan Tuan Wang, aku tidak keberatan untuk memesan berbagai menu istimewa di resto ini."

"Apapun, Nona Min."

"Terima kasih, Tuan. Ah, Nyonya Jeon-- Saya akan ke toilet sebentar." Jimin mengangguk ringkas dan sepeninggal Aeri, hawa di sana mendadak canggung atau hanya dirasakan oleh Jimin.

"Tuan, jaga perilaku Anda. Saya tidak ingin menjadi perhatian orang-orang di sini." Secara halus Jimin memperingati, kala Jackson Wang mendekatkan kursinya.

"Papa harusnya mengajak Sora juga, aku bosan sama suasana di resto ini." Suara familiar tiba-tiba menyentak pendengaran Jimin, mencuri habis seluruh sisa dugaan positifnya. Dia luar biasa kalut, betah menunduk mula benar sekali menemukan sosok di dalam prasangka. Putranya, Minguk ada di sini.

"Apa kata orang bila tahu Papamu pergi dengan perempuan lain, biarpun dia pelayan, pengasuh, tetap sama saja rasanya. Papa tidak nyaman. Kalau ada mamamu beda lagi ceritanya, kita juga bisa mengikutsertakan Sora."

"Mana mungkin kita bisa membawa mama ke sini. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal, mereka membutuhkanku. Paing-paling Mama bakal jawab begitu."

"Kau bahkan hafal kalimatnya."

"Itu karena Mama--Ma, Mama di sini?!" Sejemang Minguk menyadari serangan panas menusuk ke kepala hingga rongga matanya. Kenyataan yang dia saksikan berupa pengkhianatan terparah sepanjang dia berusaha mengalah. Saking kecewanya, Minguk berlari keluar meninggalkan ayahnya.

"Pertemuan penting huh, Nyonya Jeon?!"  Serupa putranya, wajah Jungkook sepenuhnya memerah padam dengan gigi-gigi bergemeretak. "Kau akan terima konsekuensinya!"

-----

(END) SolipsisticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang