12

359 41 15
                                    

"Tidak ada yang lebih baik daripada pulang ke keluarga, makan makanan enak dan santai." (Irina Shayk)

.
.
.

Masa-masa untuk tetap bingung telah berakhir. Jimin kini berada dalam kondisi siap memutuskan. Nurani seorang ibu sepatutnya tak perlu mempertimbangkan ulang sebuah perihal, jika berhubungan dengan keluarga, apalagi seorang anak. Tentu merupakan prioritas utama tanpa harus bernegosiasi terlebih dahulu.

"Bagaimana keadaan suami Anda?" di tengah-tengah perbincangan dengan si Manajer Umum, Aeri menyeruput tenang minuman dingin bersoda. Dia mengaduk-aduk isi gelas selagi menanti tanggapan Jimin.

"Memprihatinkan. Aku sempat tidak percaya peristiwa kemarin. Selama kami hidup bersama, dia belum pernah tumbang karena cape atau sakit ringan. Fisiknya kuat karena dulunya dia rajin berolahraga." Jawaban terbilang lancar, kendati pikirannya menyeberang entah ke mana.

"Mungkin saja pekerjaannya yang sekarang menguras tenaga dua kali lipat--kalau sikapnya pada Anda?"

"Aku tidak peduli lagi tentang bagaimana sikapnya. Waktu itu dia yang mengajukan perceraian, dia berpikir hubungan kami rusak hanya karena karierku."

"Bisa jadi dia salah paham." Min Aeri menyahut cepat.

"Kurasa dia memang mungkin demikian. Jungkook selalu menganggap segalanya aman-aman saja, selagi tidak ada perkataan protes." Seperti beban telah habis, meski Jimin tetap kalah dalam pertarungan ini. Dia menyeruput pelan ice mango tea miliknya.

"Pria selalu tampak keras diluar, walau mereka juga punya sisi yang rapuh. Siapa tahu dia cuma ingin membuat Anda menikmati pilihan."

Embusan angin menerpa helai rambut Jimin. Cahaya oranye mulai merentang luas menyelubungi sebagian sisi langit sore. Gulanalah yang membawanya turun ke jalan, singgah di kafe demi sekadar menenangkan pergumulan ego di dalam benaknya.

"Aku memiliki tujuan lain di balik pertarungan karier, Aeri. Kupikir suamiku mau memahami kesilapan dia jika kutunjukkan dengan cara serupa. Faktanya, nalar yang berbeda tidak menghasilkan apa-apa dari rencana ini. Aku justru tampak sebagai satu-satunya yang perlu bertanggungjawab."  Jimin mendengkus sebelum menandaskan minumannya.

"Harusnya Anda tidak lagi melibatkan diri ke dalam pekerjaan sulit di perusahaan ini. Ada suami dan putra yang sangat membutuhkan Anda."

"Aku tahu. Sudah kukatakan akan berakhir dengan keputusanku. Barangkali keberadaanku ditakdirkan untuk mengalah, tetapi setimpal selama Minguk bisa memahami diriku. Aku tidak mau dia lupa caranya bergantung pada orang tua, bermanja-manja atau mengadukan apa saja yang membuatnya gelisah. Aku ingin menemani dia saat merasakan perubahan itu semua." 

"Jadi, cuma karena Minguk?!"

"Aku takut berharap banyak, Aeri. Setidaknya kucoba membuang semua harapan yang ada. Satu dekade lebih bukanlah singkat, kukira sudah saatnya untuk dapat memaklumi perubahan Jungkook."

"Anda pasti lelah jika mengambil beban itu seorang diri. Kenapa tidak dibicarakan langsung dengan Tuan Jeon? Sebagian orang membutuhkan penerangan, daripada kita menunggu pengertian dari kesadarannya."

"Aku malu melakukan hal-hal seperti itu. Kami tidak di masa remaja yang dipenuhi asmara picisan."

"Kenapa tidak? Usia dalam hubungan tidak memengaruhi sisi romantis, patutnya begitu. Saya menyaksikannya pada pernikahan banyak pasangan lawas. Mereka masih bisa bersenda gurau, saling muji di hadapan orang lain di usia senja. Muka keriput, gigi ompong tidak menjadi kendala. Cinta mereka masih menonjol secara alami." Jimin mendesah amat keras, dia kepalang ingin memasrahkan diri.

"Semoga Anda masih mendapatkan kesempatan untuk merasakan manisnya keakraban itu lagi. Anda sangat baik, Saya dapat menebaknya dari cara pikir dan sikap yang Anda perlihatkan."

"Terima kasih, aku pasti merindukan masa-masa berbincang dan bekerja denganmu."

"Astaga, Saya melupakan bagian itu. Apakah wajib dilakukan? Kenapa tidak tetap bekerja di sini."

"Aku melepasnya untuk menjaga perkembangan mental putraku--Jeopark akan terus berkembang di tangan yang tepat."

"Kuharap apapun prosesnya, menjadi mudah bagi Anda," kata Min Aeri usai menghabiskan minumannya. "Kapan rencananya Anda menaikkan surat pengunduran diri kepada Pimpinan?"

"Secepatnya--mengenai pengalihan tanggung jawab seluruh sistem yang selama ini kutangani, apa kau bersedia membantuku?"

"Apa yang Anda katakan? Itu merupakan tugas Saya. Tanpa diminta, tentu Saya tetap melakukannya." 

"Lega sekali rasanya karena masih memiliki seseorang yang dapat diandalkan."

-----

Matahari selangkah demi langkah naik ke permukaan, makin tinggi ke atas langit. Sinarnya mendekap punggung kekar Jeon Jungkook. Dua hari terbaring di rumah sakit, tubuhnya jauh bugar sekarang. Aura gagahnya pun telah kembali, tiada lesu terlihat. Rona intens terbaca, seraya dia mengotak-atik layar ponsel di genggamannya.

"Kau sudah siap 'kan?" tanya Jimin dini dia masuk ke ruang pasien.

"Ada jadwal meeting hari ini, aku akan pergi. Tidak enak jika dibatalkan." Jelas kondisinya amat afiat, tiada mencemaskan lagi.
 
"Jangan memaksakan diri. Tubuhmu memang sudah fit. Namun, pikiran juga butuh rileks. Utuslah seseorang untuk menggantikanmu. Akan menjadi buruk kalau tiba-tiba konsentrasimu terguncang saat rapat terlaksana."

"Tapi, aku belum pernah mengandalkan orang lain sebagai perwakilan di rapat penting--kau sendiri kenapa tidak bekerja?!"

Pertanyaan tersebut membuat Jimin sedikit terkejut. Dia bergegas menegakkan badan, menghadap suaminya dengan tatapan ragu-ragu. "Aku mengambil cuti selama menemani dirimu di sini."  Hanya sekejap, lalu wajahnya tertunduk lagi.

"Pulanglah dulu, kita akan membicarakan segalanya. Aku kasihan harus terus-terusan melihat Minguk bolak-balik cuma gara-gara menemui kita." Kontan Jimin mendongak, menantang penjelasan dari sorot jelaga di hadapannya. "Aku memintamu kembali dan segera menyelesaikan permasalahan ini.

"Y-ya. Kalau begitu aku akan pulang." Dijawab lagi-lagi tanpa menengok.

"Jimin, aku tidak pernah memintamu pergi. Kau sendiri yang meninggalkan rumah."

"Itu caraku supaya tetap dapat berpikir jernih. Kau mengajukan perpisahan dan aku mencoba meringankan rencanamu."

"Maafkan aku. Kau tahu apa yang terjadi pada diriku 'kan? Aku seseorang dengan kemampuan terbatas dalam menangani situasi yang runyam. Perkataanku waktu itu tidaklah murni dari hati. Emosi selalu menguasai lebih cepat semenjak Zuna Inc mengalami kemunduran. Aku salah karena meluapkannya kepadamu. Hanya saja, aku terlalu lambat menyadari bahwa sebenarnya kau pun membutuhkan perhatianku. Aku egois, apa kau mau--"

Kalimatnya menggantung dini dia temui pandangan buram mengarah padanya. Jimin yang menangis mengalahkan seutuhnya kekeraskepalaan. Jungkook seolah ditampar satu kenyataan nyaris terlupakan, di mana istrinya ini begitu sensitif. Dan dia melewatkan peluang-peluangnya, mungkin kadung ceroboh terhadap tanda-tanda yang semestinya dipelihara.

"Jimin--"  Air mata diseka lekas-lekas, ingin memutar badan untuk segera meninggalkan ruangan. Alih-alih lengannya di tahan, ditarik lembut ke pelukan. "Maaf, tolong maafkan aku! Aku yang tidak menyadarinya, aku memang bodoh."  Rasa-rasanya sungguh lelah untuk menyahut, Jimin sekadar menyimak kata-kata penyesalan dari belah bibir suaminya sembari menikmati keping-keping tekanan berantara pula terkikis.

.....

(END) SolipsisticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang