10

331 36 11
                                    

Satu kata membebaskan kita dari semua beban dan penderitaan hidup: Kata itu adalah cinta. - Sophocles

.
.
.

Matahari sore perlahan meninggalkan langit. Pijar jingganya menyebar, menutupi gumpalan putih yang bertumpuk di sembarang arah. Padahal masih pukul lima, namun cahaya sang surya begitu cepat akan menghilang. Anak-anak berkumpul di depan gerbang sembari menanti jemputan, termasuk si tampan kecil. Mukanya yang datar menantang hawa, menanti jemputan ayahnya.

Dari kejauhan Jimin menyapa, melebarkan seringai. Tak pelak senyum Minguk terpancing tipis selaku anak yang memang minim ekspresi. "Kenapa wajahmu selalu begitu?"  Begitu dekat jemari Jimin menyapu gemas puncak kepala putranya. Lalu, raut Minguk kembali datar usai menjumpai Jackson Wang ada di belakang menyusul langkah ibunya dengan santai. Jelas sudah sumber penyebab mimik tak ramah tersebut. "Kelihatannya Papamu masih lama, mau ikut bersama Mama?" Pertanyaan sekian tiada digubris putranya, selain si tampan kecil itu fokus menatap tak suka pada sosok pria di balik punggung Jimin. "Minguk, Mama bertanya, Sayang."

"Tidak, Ma. Papa sudah di jalan. Dia akan marah kalau tiba-tiba aku pergi dan dia sedang menuju kemari."

"Ya sudah, Mama temani sampai dia datang--" sedikit lagi ucapan ini tuntas jika Minguk tidak berteriak tiba-tiba.

"Papa!" Senyum Minguk tertarik tipis seperti awal melihat ibunya tadi. Ada kelegaan pada embusan napasnya. Di sisi lain, Jungkook turun bersama gadis yang Minguk kenali merupakan sekretaris ayahnya. Dan hal itu mengubah air muka si tampan kecil untuk kedua kalinya, dia mendengkus.

Seraya berjalan menghampiri putranya, Jungkook melayangkan senyum membalas raut tanpa rasa yang ditujukan si tampan kecil itu. Berpura-pura mengabaikan kehadiran sang istri di sana bersama laki-laki yang sangat tidak dia sukai. 

Sekadar kebetulan, namun seolah pas sekali untuk memancing kobaran api pada emosional mereka masing-masing. Adanya Shin Yuna pun sama buruknya bagi perasaan  Jimin. Pandangnya terus menatap awas. Tidak mencolok, meski semestinya yang cukup menyudutkan si target.

"Minguk--maaf, kemarin Papa tidak bisa menjemputmu. Pekerjaan menahan Papa tetap di kantor hingga malam." Mereka berpelukan sejenak melepas rindu.

"Tapi, buat apa Nona Shin juga ikut bersama Papa? Apa pekerjaannya sudah selesai?"

"Papa yang memintanya pulang lebih awal setelah bekerja keras begitu banyak. Dan Papa menawarkan untuk sekalian mengantarnya pulang setelah menjemputmu. Kita akan makan siang ke tempat yang kau mau."  Gelagat keduanya tak luput dari perhatian Jimin, kentara sorot di matanya bertukar sendu. "Pamitlah dulu pada Mamamu," kata Jungkook lagi tanpa bernyali untuk menatap istrinya. Itu hanya akan menambah kusut beban di kepala, mengingatkan dia dengan keputusan yang dia umumkan juga kepergian Jimin dari rumah mereka.

"Minguk, bagaimana belajarmu di sekolah?" sapa Shin Yuna seraya mencubit gemas pipinya.

"Kau tidak boleh melakukan itu kepada seorang pria, bukankah namanya menggoda?"  Selajur Shin Yuna terkikik geli disusul tawa rendah oleh Jungkook.

"Kudengar Zuna Inc baru saja menyelesaikan proyeknya dengan grafik berangsur-angsur naik. Kabar ini sudah jadi buah bibir dari para donatur yang siap menanamkan aset mereka. Aku ucapkan selamat untukmu, Jungkook. Kau berhasil."  Jimin meyakinkan dirinya supaya melunak. Dia sungguh mengutarakan itu dalam kelapangan hati, terbukti dari garis lengkung di bibirnya. 

"Terima kasih."  Sejujurnya, Jungkook tidak menyukai situasi canggung di antara dia dan istrinya. Di balik suara amarah berbulan-bulan lalu, mereka masih terikat resmi pernikahan. Belum ada yang bertindak lanjut untuk mengajukan surat gugatan semacamnya.  Jungkook menyumpahi bagaimana waktu mempermainkan perasaan dan logika yang mereka punya.

"Minguk, sampai ketemu nanti ya, Sayang."

"Mama tidak ingin ikut? Kita bisa makan siang sama-sama."

"Mungkin lain kali, Sayang. Jika sudah waktunya Minguk menginap di tempat Mama. Kita akan pergi makan, atau mungkin sekalian berjalan-jalan." Bukan ditujukan padanya, Jungkook sangat paham. Lalu, rasa kesal dan kecewa menyerangnya begitu gampang.

"Tidak usah memaksa Mamamu, Minguk. Dia memang tidak pernah menyisihkan waktunya untukmu 'kan?!"

"Tidak, Pa." Hampir saja Jimin terpancing adu mulut. Wajahnya telanjur masam akibat keluhan dari bibir Jungkook. "Mama tidak seperti itu. Dia selalu menemaniku sekarang." Kelegaan mampir di pernapasan Jimin, sambil menatap sendu putranya yang terang-terangan membela dia.

"Mama pergi dulu. Bersenang-senanglah walau tanpa Mama, ya." Jimin membungkuk, menyejajarkan tinggi dengan putranya. Dia memegang pundak-pundak Minguk sebelum mendaratkan satu kecupan di dahi si tampan kecil.

Sekali lagi Jungkook merasakan hatinya bagai tersengat muatan negatif. Jimin yang terlampau tenang entah kenapa tidak menguntungkan bagi nalarnya. Justru dia lebih suka saat istrinya membantah, menghakimi dia dengan opini-opini di satu sisi.

"Semoga harimu juga menyenangkan, Jungkook." Ini dia. Akhirnya Jungkook tersadar bahwa istrinya seakan menjadi asing. Tergelitik oleh senyumannya yang selalu manis dan sempat terlupakan dalam banyak waktu, kini menimbulkan setitik nyeri di lubuk hati. Apa barangkali dia bisa kehilangan afeksi itu selamanya?

Jimin mengayun langkah, mendahului putra dan suaminya. Sesekali menyahut pertanyaan dari pria di sebelahnya. Beruntung situasi di sana tidak pula kian rusuh oleh ketegangan lain yang tercipta di tengah-tengah oknum di situ, seperti permusuhan Jungkook dan mantan rekannya, Jackson Wang. Kendati tembakan sinis kuat terpancar dari netra keduanya.

Jeon Jungkook berjalan lemah dengan muka tertunduk. Tiada berminat terhadap punggung istrinya yang perlahan menjauh. Tangannya terkepal di kedua sisi, menyimpan asumsi terburuknya dari perkiraan sekeliling.

"PAPA!" Spontan Minguk berteriak panik ketika tubuh ayahnya ambruk di permukaan aspal. 

Jeritan tadi begitu pula menghentikan pergerakan Jimin yang saat ini sedang akan membuka pintu mobil. Dia menoleh cepat hanya untuk mendorong jantungnya berdegup semberono.

"Jungkook!"  Tungkainya berlari terburu-buru, menyingkirkan kemungkinan tersungkur maupun tersandung sebab tingginya tumit sepatu yang dia kenakan. Jimin cemas bukan main. "Kenapa denganmu?!" Itu cecaran kecemasan seraya dia mengangkat kepala suaminya ke atas paha, menepuk-nepuk pelan pipinya berulang. "Jungkook, bangunlah!" Seruannya tak berdampak apa-apa. "Bantu aku, kita harus membawanya ke rumah sakit. Tolong, cepatlah sedikit!" Shin Yuna terperanjat oleh jeritannya.

"Noona, tolong Mamaku! Kita harus mengantar Papa ke rumah sakit." Pertama kalinya Minguk memperlihatkan reaksinya lebih kental. Dia menangis di samping ibunya yang tak kalah meratap bingung. Kemudian, Shin Yuna tersadar dari keheningan. Dia beranjak, mempercepat ayunan kakinya menuju  lokasi parkir si sopir perusahaan.

-----

(END) SolipsisticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang