7

266 35 11
                                    

Menunggu itu menyakitkan. Melupakan itu menyakitkan. Tapi tidak tahu harus berbuat apa adalah jenis penderitaan yang lebih buruk. -Paulo Coelho.
.
.
.

Nahas memang, Jimin tepergok oleh suaminya sendiri. Bukan sengaja berbuat curang, berselingkuh semacam pengkhianatan. Tapi ketahuan sedang berdua dengan lelaki lain, tentu membentuk asumsi negatif.
Nasi sudah menjadi bubur, Jimin berujung pasrah. Tak banyak yang bisa diperbuat sebagai bentuk pembelaan diri. Mau menyalahkan siapa? Min Aeri? Sekretarisnya bahkan tidak di sana saat peristiwa berlangsung dan sedari awal dia menawarkan jalan untuk membatalkan pertemuan itu.

Lalu, Tuan Wang? Dia hanya rekan bisnis, berperan sebagai tamu dalam pertemuan mereka. Jimin abai, lebih berpihak pada sisi positif pada niatnya yang murni berdasarkan ketetapan profesi. Kendati dia telah memahami niat tersembunyi Jackson Wang.

Situasi demikian wajar mengalami kebuntuan di tengah jalan. Perang argumen bersama suami sudah pasti akan segara dihadapi. Belum lagi penjelasan untuk menghapus rasa jengkel si investor baru. Perlakuan semena-mena Jimin atas kepulangannya secara tiba-tiba, menjadi penghinaan bagi Tuan Wang. Jimin perlu waktu dan berpikir jernih untuk membujuk pria tersebut, agar perusahaan Jeopark tidak terimbas dampak oleh sikap cerobohnya.

Jimin melangkah ragu-ragu, mendekati suaminya yang kini bermuram durja di balkon, duduk di kursi besi. Dengan rasa gugup bukan main, dia coba tegar menantang Jeon Jungkook. Kekacauan mestilah segera diluruskan demi melenyapkan kesalahpahaman yang telanjur muncul.

"Minguk sudah tidur." Sengaja Jimin mengalihkan pandang ke sisi lain, menakutkan bila bersitatap dengan sorot tajam di mata suaminya. "Tuan Wang, dia Investor baru. Aku bertanggung jawab penuh untuk mengurus semua bagian yang berhubungan dengan dia. Jadi, yang tadi itu--aku berani bersumpah tidak seperti prasangkamu.

"Jackson Wang, apa kau tahu dia siapa?" rautnya dingin. Kemarahan terbaca jelas, hingga Jimin menahan penglihatannya tetap lurus ke depan. Akan sulit baginya merespons kala terintimidasi aura suaminya sendiri.

"Aku mengenal dia sebagai investor, tidak lebih."

"Salah satu pembelot di Zuna Inc dan dialah propokator yang menghasut investor lain. Mereka ikut menarik sahamnya--sekarang kau tahu dia juga penyebab kemunduran Zuna Inc."  Jungkook melirik istrinya. Rahang mengetat dengan tatapan kecewa nan kental.

"Aku benar-benar tidak tahu sebelumnya." Kening  Jimin berkerut heran, melongo tanpa mampu bicara banyak. Serta merta pula Jungkook tertawa miris sebelum delikan sinis dihunuskan lagi pada istrinya.

"Mustahil kalian mencari tahu. Sepak terjang yang kuamati, perusahaan tempatmu bekerja cuma mementingkan perkembangan grafik pendapatan. Aku bisa pastikan itu dengan melihat cara kerjamu," cetus Jungkook menohok. Nada suaranya lebih santai kini, berbanding terbalik dengan kesedihan di parasnya, amat terpukul.

"Tuduhanmu menyakitiku. Kenapa kau tega berkata seperti itu? Aku ini istrimu."  netra Jimin mulai berkaca-kaca. Perlawanan terlepas juga, gagal memendam bantahan.

"Istri? Apa kau menghormatiku sebagai suami? Jimin, kalau memang kecerdasanmu membuat perusahaan Jeopark terpukau, harusnya kau bisa nilai sendiri kelakuanmu yang sampai diluar batas. Kau bukan wanita lajang, tapi perbuatanmu menjelaskan penolakan terhadap kenyataan."

"Aku punya alasan untuk melakukannya. Aku juga bekerja, apakah salah?"

"Sudah, cukup kali ini!" Berat dia hela napasnya. "Aku yang salah karena selamanya akan berharap padamu. Kupikir istriku bisa menjadi pendukung di situasi terpuruk sekalipun, ternyata ekspektasiku ketinggian." Kontan Jimin mencelus.

"Niatku tidak begitu. Aku peduli denganmu dan Minguk. Maaf kalau aku belum bisa menyesuaikan waktu. Aku berjanji akan mengubah semuanya menjadi lebih baik, percayalah padaku." Senyum getir hadir di bibir Jungkook, meneliti wajah istrinya yang sekarang berlinang air mata.

"Tidak perlu memaksakan dirimu lagi, Jimin. Mungkin di sanalah rasa nyaman yang kau dapat. Jika demikian, aku rela untuk menyingkirkan segalanya." Lirih kalimat terakhir dia ucapkan, samar-samar bergetar di telinga.
 
"Apa maksudmu?" Jimin menegakkan dada, tiba-tiba diserang cemas. Dalam hati meyakinkan diri bahwa yang terdengar cuma kekeliruan.

"Jimin, maaf--semuanya membuatku lelah, aku jenuh. Pikiranku tak mampu menampung masalah yang rumit ini."  Pernyataan sekian nyaris teredam, Jungkook lemah mengutarakan niat tersebut.

"Katakan dengan jelas, agar aku bisa melihat kesungguhanmu."

"Mari kita coba berjalan di tempat masing-masing, mungkin ini satu-satunya penyelesaian buat kita. Keberadaanku  adalah penghalang untuk kariermu, mulai terpikir sejak pertama kali kau menerima tawaran pekerjaan di perusahaan itu. Berat mengatakan aku tidak menyetujui langkah yang kau ambil. Kau begitu menginginkan posisimu sendiri. Dan hari di mana kau mulai bekerja, di situlah kau menggaris jarak pemisah di antara kita."

"Kau ingin perceraian?!" Seketika suara Jimin merendah, dia tidak menginginkan ini, bukan ini. "Oh, apa karena kau sudah menerima perhatian dari sekretarismu itu? Apa kau lupa bahwa kita sama-sama tahu seperti apa cara dia mendekatimu?"

"Jimin, cukup! Kau lebih dahulu tahu kebenarannya. Berulang kali kutegaskan tidak memiliki perasaan apa-apa pada dia. Ini murni keputusanku! Sekretarisku atau investor baru di kantormu tidak ada sangkut-pautnya dalam hal ini."

"Kau semaunya jika sedang emosi. Kau tetap juga tidak pernah bisa bersikap dewasa. Yang kau nilai hanya kesalahan orang lain, menutup mata untuk kesilapanmu sendiri." Jimin mengusap pelan tangisnya. Dia harus mempertahankan tegar dan sisa ketenangan sebagaimana dirinya biasa.

"Dari jauh hari sudah kupertimbangkan. Bukalah matamu lebar-lebar Jimin, rumah tangga kita tidak baik-baik saja. Kau menikmati, terlalu senang bersama kesibukanmu, maka dari itu kau tidak merasakannya."

"Baik, aku tidak akan mengajukan pembelaan diri di sini. Kau sangat mengenalku 'kan? Aku selalu mengambil keputusan lewat tindakan, tanpa bisa mengatakannya. Ini pilihanmu dan aku menghargainya."

"Setidaknya beri aku waktu untuk berdamai dengan keadaan, Zuna Inc sedang mengalami guncangan." Napasnya berembus rendah, sedang tatapannya turun ke bawah untuk sejenak.

"Jungkook, dari detik ini kita berjalan di tempat masing-masing. Apapun yang terjadi besok dan seterusnya, kuharap kau bisa meraih tujuanmu. Maaf--" Jimin bangkit menyingkir, meninggalkan suaminya di sana diliputi raut tak mengenakkan. Dia seolah tidak memperoleh kelegaan dalam diplomasinya tersebut.

-----

(END) SolipsisticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang