3

258 35 20
                                    

Keesokan harinya, kebiasaan serupa masih juga berlangsung di kediaman keluarga Jeon. Masing-masing seakan sedang berlomba untuk cepat. Siapa yang siap lebih dahulu, maka dapat pergi keluar tanpa harus dipusingkan oleh perihal lain yang ada di rumah mereka.

Jungkook memampangkan muka kesal. Beruntung dia bangun di awal kali ini, sengaja mengatur jam weker agar tak lagi terburu-buru seperti kemarin. Namun, di balik keberhasilannya bangun pagi, betapa marah dia saat bunyi keras jam weker justru mengagetkannya.

"Ada pertemuan lagi di kantormu?! Masih jam tujuh, tapi kau sudah selesai berkemas." Turun dari tempat tidur, Jungkook mendekat ke lemari dan mencari selembar handuk di sana. "Aku tidak menemukannya, kau menaruhnya di mana? Bisa tolong ambilkan handukku? Tidak ada di sini." Kerut di dahinya menandakan kejengkelan mutlak kala dia mendapati istrinya tidak menghentikan kegiatan meriasnya.

"Kenapa tidak ada yang bisa kaulakukan sendirian? Tanya Sora, minta padanya. Mungkin dia belum memindahkan semua pakaian kita ke lemari." Bukan ucapan yang enak didengar, fokus Jimin tertuju ke lipstik nude yang sedang dia poles ke bibirnya.

"Sora bukan istriku!" Jungkook menjawab ketus, kendati tetap diabaikan oleh Jimin. Dia enggan bertemu mata dengan suaminya, yakin perdebatan kecil akan terjadi dan bisa memakan sia-sia waktu berharga yang dia punya.

"Dia pelayan, aku istrimu. Terus apa masalahnya?" Daripada adu argumen perkara sepele, Jungkook memilih angkat kaki dari kamar mereka untuk terpaksa menemui Sora. Rasa dongkol menyebabkan dia bertindak ceroboh, padahal hanya bokser sebagai penutup tubuhnya dan dia tak menyadari. Hentakan kakinya mengundang perhatian Sora. Perempuan ini menoleh ke belakang, serempak kontan menutup muka dengan kedua telapak tangannya.
"Anda ingin sesuatu, Tuan?"

"Ada apa denganmu?"

"Maaf, tapi Anda tidak memakai baju." lirih Sora saking sungkannya terhadap sang Tuan.

"Aku perlu handuk juga jasku, antar ke kamar!" Tak habis pikir kejadian serupa tempo hari terulang lagi, alhasil dia mengambil langkah panjang untuk menyingkir.

"Baik, Tuan." Sora mendesah pelan, sorot matanya menatap iba pada sosok Jungkook yang kini memunggunginya.
Sudah sembilan tahun dia bekerja dan hampir seluruh peristiwa yang terjadi di dalam rumah ini tak lolos dari pengamatan Sora, terutama bagaimana sikap majikannya terhadap satu sama lain.

Tahun-tahun yang baik bagi mereka masih bertahan di dalam ingatan Sora. Ketika Minguk lahir hingga belajar merangkak, kemesraan mereka menjadi kebanggaan di mata Sora. Banyak tanda positif dia temukan dari keduanya. Cara mereka saling menatap, berbagi pujian romantis, tak jarang pula menghabiskan waktu bersama dengan cara-cara sederhana. Ada kalanya sampai membuat Sora terpana. Di saat suasana hangat itu berangsur-angsur memudar, Sora tak bisa menampik kesedihan yang turut dia rasakan.

-----

"Papa, besok orang tua diundang ke sekolah." Minguk mengumumkan sambil memakan sandwich keju miliknya.

"Ke sekolah? Untuk apa?"

"Aku akan membaca puisi. Teman-temanku mengajak mama mereka. Tapi, mama bilang dia tidak bisa." Minguk mengambil tisu yang terletak di atas dasbor, mengelap remah-remah atau saus yang mungkin tertinggal di sisi mulutnya. Lalu, sebotol susu yang dia bawa pun diminum setengahnya.

"Mama tidak bisa menemanimu?"

"Uhm," gumam Minguk seraya manggut-manggut, "Mama bilang pekerjaannya sangat banyak."

"Begitu, ya." Pengakuan sang putra membuat Jungkook mendengkus kecewa, "Tega sekali dia."

"Aku tidak apa-apa."

"Tidak bisa begitu, Mamamu sudah kelewatan."

"Tapi Mamaku berbeda dari mama mereka. Aku sudah biasa tidak menemukan mama saat pergi atau pulang sekolah."  Refleks pula tangan Jungkook memijit pelipisnya sendiri.

"Papa yang akan datang."

"Tidak perlu dipaksakan, aku bisa mengajak Sora."

"Kau mencoba membantah, Papa?!"

"Tidak! Aku pergi denganmu, aku cuma tidak mau merepotkan Mama dan Papa."

"Hentikan pikiranmu itu! Kau putraku satu-satunya, lebih berharga dari dugaanmu."

Usia lima tahun cukup membuat Minguk memahami watak ayah ibunya, bahkan situasi di keluarga mereka. Sebagian kenyataan dia simpan sendirian, termasuk mengenai ketidakpuasan atas sikap ibunya. Tentu dia mengidam-idamkan seorang ibu yang kerap berada di sisi guna menemani bahkan membagi pelukan sayang.

-----

"Kau sudah mengirimkan bunganya?" Jackson Wang tengah berbincang dengan seseorang melalui telepon sembari dia mengamati perusahaan Jeopark Corporation di tepi jalan. Dia sengaja menghentikan laju mobilnya tak jauh dari gedung tersebut. "Biarkan saja dia tahu, justru itu rencanaku." Garis bibirnya melengkung, jangka dia memandang potret wanita cantik berseragam rapi di layar ponselnya.

Di dalam perusahaan Jeopark, aktivitas berjalan seperti biasa. Semua karyawan sibuk dengan pekerjaan mereka, begitu pula Jimin. Baru saja tiba di ruangan, dia justru dikejutkan kemunculan dua buket bunga yang terletak di atas meja. Langkahnya dipercepat guna meraih buket itu, mencari sticky note untuk memastikan oleh siapa. Kening Jimin sontak berkerut dini dia tahu pelakunya.

Berujung telunjuknya buru-buru menekan tombol interkom dan dia berkata, "Ke ruanganku sekarang!" Embusan napasnya mengudara rendah, duduk tanpa minat yang kentara di rautnya. Jemari saling bertaut, pandangan si Manajer Umum tertuju pada buket bunga di hadapan dia. "Mungkin dia tidak semudah perkiraanku."

"Anda memanggil, Saya?" interupsi Aeri, selalu sigap bila dibutuhkan sang pimpinan.

"Duduklah! Apa kau tahu siapa yang membawa bunga-bunga ini?" selidik Jimin kemudian. Dia mendorong buket-buket itu agar Aeri dapat memperhatikannya dengan jelas.

"Office boy yang mengantar ke sini, tapi Saya tidak tahu siapa pengirimnya. Mungkin dari pengagum rahasia Anda." Aeri mengambil satu buket bunga, sempat mengamati konsep rangkaiannya. "Seleranya cukup bagus."

"Tuan Wang, itu dia." Jimin  menyandarkan punggungnya pada kursi.  "Ternyata kau benar, dugaanku meleset. Dia bukan cuma tertarik terhadap proyek kita."

"Anda lebih menggoda, entah kenapa sejak awal Saya dapat menebak gelagatnya bahwa dia menyukai Anda."

"Aku tidak ingin bermain, Aeri. Aku sudah bersuami dan punya anak." Jimin tampak berpikir, bingung tindakan apa yang harus diperbuat setelah menghadapi kenyataan ini. Jelas tak lagi mudah berinteraksi langsung dengan si pria bernama Jackson Wang. Salah sedikit saja, kesepakatan terancam batal.

Di sisi lain Jimin tak ingin mengambil risiko, walau dilakukan secara pura-pura.
"Jadi, kita harus bagaimana? Oh, sebentar--apakah Anda sudah membaca pesan yang tertulis di sini?! Jika firasatku tepat, Tuan Wang sedang berniat mendekati, Anda."

"Ya Tuhan, kepalaku jadi pusing." Sepenggal kejujuran singkat yang dapat  dia ungkapkan, "Tolong bawa bunganya keluar, tempatkan di mana saja yang menurutmu bagus."

-----

(END) SolipsisticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang