Sejak tadi ekspresi Minguk berbeda. Tatapannya mengarah ke depan, serius seperti seseorang yang tengah berpikir, sementara lengan-lengannya dilipat ke atas dada. Berulang kali Jungkook memuji penampilannya saat di sekolah tadi. Riuh tepuk tangan menyambut Minguk yang tampak tenang menuruni panggung. Semua penonton serempak memberi apresiasi atas kebolehannya dalam membacakan puisi untuk Mama.
"Papa tidak mengira anak seusia dirimu bisa romantis juga. Apa kau tidak gugup di depan mereka? Siapa yang mengajarimu menulis puisi?" Mula duduk di mobil, Jungkook langsung mencecar putranya.
"Papa tidak pernah takut apapun, jadi buat apa aku takut? Sora bilang aku harus selalu berani agar bisa menjadi pemimpin yang kuat seperti Papa." Dia mengulang kembali perkataan perempuan itu tempo hari, kala mereka mengobrol di sela-sela makan siang.
"Sora?"
"Ya."
"Kau ingin hadiah apa? Kita akan membelinya."
"Papa tidak pergi ke kantor?"
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu, ada yang mengurusnya. Kita patut merayakan keberhasilanmu. Bagaimanapun juga Papa bangga atas prestasimu. Mereka bertepuk tangan dan tersenyum untukmu, itu merupakan pengakuan besar. Tidak semua orang bisa mendapatkannya." Jungkook mengusap-usap puncak kepala putranya, hingga Minguk merasakan hatinya senang.
Diam-diam sudut bibir si bocah tampan ini melengkung tipis, sedikit melupakan kejengkelan lain di benaknya terkait sang ibu.
Jika menyangkut masalah anak, maka Jungkook siap membuang pertimbangan guna meluangkan waktu. Satu sisi yang kontras dengan istrinya. Apalagi dia dan Minguk lebih sering berbincang. Meski anak itu tidak suka dianggap sebagai bocah kecil, namun tetap dia memiliki sisi kekanakan. Dia hendak didengar dan dituruti, kemudian Jungkook merespons dengan cara berbeda.
"Katakan, apa permintaanmu?" Jungkook mengulang pertanyaannya, melirik singkat wajah Minguk nan hampir tiada luapan.
"Kalau boleh aku mau jalan-jalan sama Papa dan Mama, tapi aku tahu Mama tidak bisa ikut."
"Hanya itu? Papa pikir kau akan minta sesuatu yang mahal atau banyak. Soal Mama kita maklumi dulu, nanti Papa bicara sekali lagi dengannya--ehm, apa kau tahu mobil rakitan mesin turbo yang sedang viral itu? Apa kau tidak mau mencobanya?"
"Tapi aku bukan anak kecil lagi, aku tidak suka mobil-mobilan."
"Baiklah, kalau game centre?"
"Kurasa tidak terlalu buruk."
"Sekarang waktu yang pas untuk pergi ke sana. Tapi, kita perlu mengisi energi. Kau tidak keberatan kita ke WFC?"
"Tidak, aku senang Papa tidak mengajakku ke resto mewah untuk makan siang."
"Kita harus benar-benar santai menikmati kesempatan ini, meninggalkan kebiasaan yang sudah sering kita cicipi." Jungkook memutar roda setir ke kanan, mengubah arah ke tujuan yang mereka sepakati.
-----
"Tumben sudah pulang," sapa Jimin begitu mendapati keberadaan suaminya di kamar, sedangkan dia baru kembali dari kantor.
"Ternyata memang tidak ada lagi yang kau tahu di rumah ini. Kau pikir sudah jam berapa sekarang?" Jungkook melepas kacamatanya, lalu menaruh laptop di atas nakas. "Coba lihat!" titahnya seraya melirik ke dinding. "Jam sepuluh! Istri macam apa yang bisa tenang menghabiskan waktunya di luar hingga semalam ini? Walau alasanmu karena pekerjaan, tapi ini sangat berlebihan. Kau tidak mungkin hidup melarat hanya karena Zuna Inc sedang menurun. Aku masih mampu memberimu uang dua kali lipat dari gaji yang kau terima. Tapi ada satu permintaanku, tinggalkan pekerjaanmu dan jadilah ibu yang baik untuk Minguk, kau sanggup?!"
Jimin pun dibuat kaget dengan suara lantang suaminya. Pertama kali bagi laki-laki itu memperlihatkan amarah sedemikian besar. Belum lagi penegasan itu menyebabkan gelisah turut menyerang.
"Aku terpaksa. Perusahaan sangat membutuhkanku. Mana bisa mengingkari kontrak kerja yang sudah ditandatangani segampang ucapan, itu mustahil. Tapi aku--"
"Lama-lama sikapmu membuatku bosan, kau egois dan suka membangkang. Tidak ada yang kau pedulikan selain kariermu." Jungkook mengambil selembar kertas berwarna dari dalam laci nakas. "Ini, renungkan sendiri!" hardiknya ulang seraya meletakkan kasar kertas tersebut di atas ranjang.
Ialah kertas berisikan sebuah puisi oleh Jeon Minguk berjudul; Harapan untuk Mama. Serta merta Jimin terperanjat usai menangkap susunan kata di pangkal kertas, berikutnya kaget saat bunyi pintu berdebam cukup keras. Dia hela napasnya demi memusatkan pikiran untuk lalu membaca dengan saksama setiap bait yang terangkai.
...
Sudah ke sekian kalinya dia mwngerang gelisah. Jimin duduk terdiam di atas tempat tidur. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas lewat dini hari. Namun, Jungkook belum juga muncul sejak kemarahan tadi.
Kata-kata yang Minguk tuliskan pada puisinya laksana sindiran bagi Jimin. Minguk dengan tulus mengutarakan rasa cinta melalui puisi tersebut, menampar kesadarannya yang sering mengabaikan kebersamaan dengan sang putra. Tuntutan pekerjaan secara perlahan menciptakan jarak pemisah di antara mereka. Akan tetapi, berpaling dari pekerjaan juga sulit untuk diperbuat.
Tak bisa dipungkiri jika perusahaan tempatnya bekerja sedang berkembang pesat. Grafik pendapatan rutin naik di setiap minggunya. Apalagi semua pencapaian itu tak luput dari campur tangan Jimin. Sang pemimpin perusahaan justru mulai mempercayakan sistem pemasaran untuk sepenuhnya dia pegang. Sehingga, tak menutup kemungkinan kelak dia bakal memperoleh penghargaan istimewa. Sebuah harga mahal atas dedikasinya terhadap perusahaan. Tidak main-main, bisa saja berupa kenaikan jabatan.
-----
"Kenapa Papa marah-marah? Aku tidak suka suasana seperti ini. Mama selalu sibuk, perusahaan Papa bermasalah. Lalu, aku yang masih berusia delapan tahun ini tidak bisa berbuat apa-apa." Yang Jungkook lakukan hanya diam memperhatikan putranya.
"Teguran untuk Mamamu, agar dia paham posisinya sebagai orang tua." kentara Jungkook memaksakan senyumnya, dia memandang penuh penyesalan pada sosok putranya, "Kau terlalu cepat dewasa dan itu membuat Papa sedih."
"Papa tidak suka aku tumbuh dewasa?"
"Bukan begitu, ini sangat buru-buru. Papa masih ingin melihatmu bersemangat di saat bermain, apa saja. Tapi, kau tidak lagi suka dengan mobil-mobilan. Game centre juga bukan tempat yang cocok untukmu."
"Aku tidak bisa menikmatinya jika setiap hari pikiranku--merindukan masakan mama, omelan mama, juga doanya sebelum aku pergi sekolah. Aku mendapatkannya Sora, Papa tahu seperti apa rasanya?"
Sejam lalu rasa haus memaksa Minguk terbangun dari tidurnya. Dan selagi dia menuju dapur, telinganya tak sengaja menangkap keributan dari kamar orang tuanya. Jangka dia menghentikan langkah dan menoleh, sang ayah sudah berdiri di depan mata. Berujung Jungkook pun membuntuti dia ke kamarnya.
"Maaf, Papa gagal membangun kenangan indah di masa kecilmu."
"Papa mencintai Mama 'kan?" Minguk merebahkan tubuhnya, menarik selimut sampai ke bawah dada.
"Itu sudah pasti. Apa kau mencurigai Papa?"
"Papa harus kuat. Tidak usah memikirkan aku, aku tidak lagi menangis seperti anak TK."
"Kau ingin Papa tetap mencintainya 'kan, meski sekarang dia sangat menyebalkan? Oke, kau bisa pegang janji Papa."
"Papa tidak pergi ke kamar? Aku perlu tidur."
"Kalau tidak keberatan Papa ingin berbagi kasur denganmu, hanya untuk malam ini."
"Terserah saja, tapi tolong matikan lampunya." Seringai tipis menyapa di wajah Jungkook, sikap putranya menciptakan kesan divergen yang tak pernah dia duga.
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Solipsistic
RomanceWarnig! Kookmin Genderswitch. Istri cantik atau suami rupawan belum tentu menjamin siapapun tidak pernah kecewa. Beginilah realitas yang tengah dihadapi oleh pasangan ini. Jungkook dan Jimin berputar dalam perdebatan yang itu-itu saja. Sampai salah...