Malam kian memperlihatkan betapa pekatnya kegelapan. Udara dingin samar-samar mulai membelai halus di kulit. Pukul sepuluh malam Jimin berada di kamar Minguk untuk berbagi cerita.
"Papa terlambat pulang lagi, ya?" Minguk bertanya pelan, kelopak matanya mulai memberat akibat rasa kantuk yang menyerang.
"Akhir-akhir ini Papa sangat sibuk di kantor, kemungkinan lembur juga." Tatapan Minguk lebih bersahaja sekarang, tidak datar seperti dahulu.
Jika bersama Jungkook, perbincangan orang tua dan anak menjelma layaknya obrolan di antara orang dewasa. Minguk bisa menjadi pendengar yang sabar untuk sang ayah. Lain pula Jimin di mana justru dia memposisikan dirinya sebagai pendengar setia bagi putranya.
"Besok ulang tahun Papa. Aku ingin menyiapkan sebuah hadiah, tapi tidak tahu hadiah apa yang bagus. Mama bisa membantuku? Aku punya uangnya, kusisihkan dari uang jajan dan kurasa jumlahnya sudah cukup untuk membeli sesuatu yang Papa sukai."
"Kau ingin kita mencarinya bersama-sama? Ini rahasia di antara kita."
"Janji tidak ada pengkhianatan? Mama harus menyembunyikan rencana ini dari Papa."
"Pulang sekolah kita pergi, Mama ada dipihakmu."
Pengorbanan tidak percuma. Jimin berhasil memperoleh tujuannya untuk bisa menemani setiap pertumbuhan psikis Jeon Minguk. Sebulan lebih sudah semenjak dia kembali ke rumah mereka dan dengan fakta bahwa Jungkook tidak pernah sama sekali bersungguh-sungguh mempersiapkan surat perpisahan mereka.
"Mama harus selalu dipihakku sampai aku dewasa," kata Minguk sembari menggenggam jemari ibunya dan menempelkannya ke pipi. "Aku anak laki-laki. Aku janji bila sudah dewasa, akulah yang akan menjaga Mama."
-----
Tidak tahu kapan terakhir kali keduanya menghabiskan sisa waktu senggang dengan akrab bercengkerama, atau menciptakan suasana menyenangkan di antara mereka lewat bincang-bincang intim.
Jimin hendak melepas segala tuntutan yang tak jarang datang tiba-tiba untuk memengaruhi damai di pikiran. Jimin bergegas ke kamar mandi, mengisi bathtub dengan air hangat serta menuangkan bath foam ke dalamnya. Dia menikmati berendam di dalam bak itu sembari menyapu kulitnya dengan sabun beraroma bunga.
Baru sekian menit tadi Jungkook menghubungi dia pasal keterlambatannya untuk pulang. Satu jam ke depan barulah suaminya itu akan tiba di rumah, waktu yang pas baginya untuk berkemas diri. Hampir setengah jam dia menuntaskan ritual mandi. Usai mengeringkan rambut, Jimin memoles wajahnya, tak lupa membubuhkan pelembab ke bibir. Begitu siap merias diri, Jimin mengambil gaun tidur berwarna marun dari lemari untuk dia kenakan.
Jimin tampak manis dengan gaun tersebut, menegaskan kecantikan alami yang dia punya tak lekang oleh masa. Gaun tanpa lengan, namun tidak terlalu pendek. Dia hanya ingin membahagiakan dirinya di rumah, melakukan apa saja yang dia sukai adalah salah satu upayanya. Setidaknya, penampilan dia sedikit dapat pula menghibur rasa cape yang dialami suaminya.
-----
Aroma vanila bercampur peppermint menyebar ke seluruh ruang nan redup. Hanya cahaya dari sekumpulan lilin beraroma, ditata rapi di setiap sudut kamar. Jimin sengaja menyusun segalanya sedemikian rupa dan berharap penyambutan tersebut menimbulkan efek seperti ekspektasinya.
Sejak tadi Jimin duduk di tepian kasur, hanyut dalam pikiran sendiri selagi dengan sabar menunggu kedatangan suaminya. Tatkala pintu berderit, dia refleks berdiri tegak. Dan yang dia temui adalah wajah bingung suaminya di tengah cahaya temaram.
"Kenapa kamar kita jadi gelap sekali?" tanya Jungkook dini mendekati istrinya. Keningnya berkerut, makin penasaran jangka Jimin malah tersenyum simpul padanya.
"Kusiapkan air panas, ya. Kau mau mandi 'kan?"
"Nanti dulu! Sebetulnya ada apa? Kenapa membakar banyak lilin di kamar kita?"
"Kau tidak terpukau? Padahal aku berusaha keras untuk menyiapkan semuanya."
"Buat apa?!" Barangkali tumpukan laporan di kantor mengakibatkan akal Jungkook sedikit lamban mengingat hari yang mestinya istimewa bagi dia.
"Besok 'kan hari ulang tahunmu dan aku ingin kita yang pertama kali merayakannya, hanya kau dan aku." Jimin betah tersenyum sambil membantu Jungkook melepas dasi berikut jas yang dia kenakan dan menaruhnya di permukaan kasur, "Apa terlalu cepat? Katakan apa keinginanmu, akan kupenuhi." Tiba-tiba Jimin mendekap lembut seraya mengusap punggungnya. "Selamat ulang tahun, kuharap segala kebahagiaan datang padamu. Tetaplah sehat, juga aman untukmu dan Zuna Inc."
"Aku jadi tersentuh, dalam sekejap kau menjadi begitu romantis." Jimin bergeming, tak tahu apa yang dapat dia sebutkan sebagai balasan. Meski, dalam hati dia cukup bahagia. "Aku suka kau yang seperti ini. Terima kasih." Jungkook memeluknya lebih erat pula, melabuhkan kecupan di puncak kepalanya. "Rambutmu wangi sekali dan kau sungguh seksi--apakah hal ini juga termasuk semacam rayuan?"
"Ah, kau pikir begitu?! Aku cuma melakukan sesuatu yang kurasa dapat menghibur hatiku."
"Kau yakin?!" Jungkook memastikan ulang saat hidungnya tak pernah kenyang membaui wangi rambut istrinya. "Jika kau ingin tahu, aku berharap ini bukan sekadar kesenangan untukmu. Ya, bisa jadi kau berencana memberiku asupan penyemangat."
"Boleh saja jika kau menganggapnya demikian, aku tidak keberatan."
"Kau pintar sekali bicara. Jadi, apa yang kau mau sebagai imbalan atas kerja kerasmu malam ini?"
"Tidak, harusnya kau katakan tentang permohonanmu. Besok adalah hari Jeon Jungkook. Biarpun aku tidak bisa mengabulkannya sekarang juga, sekurang-kurangnya aku punya gambaran untuk hadiah yang akan kubeli."
"Aku tahu apa kado yang kumau."
"Baiklah, bilang padaku apa keinginanmu?!" Dia mendongak, hanya untuk membuat pria di depannya ini merinding. Cahaya redup meningkatkan aura kecantikan Jimin berkali-kali lipat lebih bersinar.
"Kenapa tidak merelakan dirimu sendiri sebagai pemberian terbaik?!" Punggung tangan Jungkook membelai hati-hati pipi istrinya, merasakan halus permukaan yang bersentuhan dengan kulitnya. Tentu sentuhan seduktif itu layaknya sebuah undangan bagi Jimin, matanya refleks terpejam.
Seringai tak biasa muncul di wajah Jungkook. Dia yang saat ini tanpa aba-aba menipiskan batas di antara mereka, menahan sejenak tatapannya demi keindahan yang mampu memuaskan nafsu mata jelaga. "Jimin--" serak baritonnya menggelitik ke rungu, mengundang perhatian dari sepasang mutiara kecoklatan.
"Ya--"
Sahutan singkat sekian menjadi pengiring ciuman sederhana, menarik selaras gairah pada sejoli yang siap menuai kemesraan. Mereka sama-sama tersenyum canggung, namun saling merindukan satu afeksi. Jungkook mendorong perlahan-lahan tubuh Jimin ke permukaan ranjang, turut membungkuk dan memandangi rona-rona sipu yang timbul alami di pipi istrinya.
"Kau tidak keberatan 'kan kalau aku memintamu sebagai hadiah istimewaku, Sayang?" Lengan-lengan Jimin naik ke tengkuknya, merangkul seraya memijat sebarang di sana.
"Ada hak spesial untuk yang sedang berulang tahun. Aku sudah bilang siap memenuhi setiap permintaanmu."
Usai penuturan itu, Jungkook mencium istrinya lagi lebih intens serta jilatan basah. Kepalanya digeser ke kiri dan kanan demi rasa nyaman yang dicari. Dia menekan lumatannya kala jemari mulai meraba ke pinggang dan bagian dada berikut remasan-remasan ringan. Jungkook mengerang seakan menjeritkan hasratnya yang sangat siap dibuai. "Kenapa perayaan hari kelahiran hanya diadakan sekali setahun? Apa bisa kudapatkan setiap aku menginginkannya, Sayang?" Cumbuan terlerai guna sebentuk peneguhan bahwa keduanya telah jatuh pada gairah seirama.
"Kau terlalu banyak maunya."
"Jimin, terima kasih kau sudah bersabar untukku. Marahlah sesukamu, asalkan jangan lagi meninggalkan aku, kami atau rumah kita." Jemari lentik istrinya diangkat, diberi satu dua tiga kecupan penuh kasih. "Perasaanku ini tidak pernah berubah, masih dan akan terus mencintai Jeon Jimin."
T.A.M.A.T
Note:
Terima kasih buat kalian semua yang sudah mengikuti kisah ini dari awal hingga akhir. Semoga berkesan untuk kalian, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) Solipsistic
RomanceWarnig! Kookmin Genderswitch. Istri cantik atau suami rupawan belum tentu menjamin siapapun tidak pernah kecewa. Beginilah realitas yang tengah dihadapi oleh pasangan ini. Jungkook dan Jimin berputar dalam perdebatan yang itu-itu saja. Sampai salah...