11

382 43 18
                                    

Malam yang dingin di Seoul. Rintik hujan mengguyur ke seluruh wilayah sampai ke sudut kota. Rumah Sakit Kangbuk Samsung, Seoul. Jimin membawa Jungkook ke sini, sebab rumah sakit ini adalah yang terdekat jaraknya dari jangkauan mereka.

Desau terdengar dari balik jendela, kala percikan air beramai-ramai memberondong helai daun di pepohonan. Masih dalam keadaan rengsa, Jungkook meneliti ke penjuru ruangan serba putih. Hanya sofa dan kain gorden berwarna biru sebagai penyemarak kamar yang terlihat bersih.

Jimin tersentak, bangkit dan bergegas membantu suaminya untuk duduk. Dia merapatkan bantal ke kepala ranjang dengan posisi horizontal. Perlahan Jungkook mencoba menegakkan tubuh, dibantu Jimin yang turut memegang kuat punggungnya.

"Kepalaku pusing sekali," keluh Jungkook setelah dia bersandar pada bantal dan menengadahkan kepala ke belakang.

"Berapa hari kau tidak makan?" tanya Jimin, menelaah dengan tatapan ulas. Dia mengambil baki berisi semangkuk bubur sayur dari atas nakas, meletakkannya di samping si suami. "Buburnya hampir dingin. Dokter bilang kau harus makan bubur dalam beberapa hari ini, kondisimu sangat lemah. Aku ingin membangunkanmu tadi. Tapi karena buburnya masih panas, aku biarkan sebentar."

"Kenapa kau di sini? Pekerjaanmu tidak bisa ditinggal 'kan?" Urung menggubris ucapan sekian, Jimin malah hendak menyuapkan bubur ke mulutnya dan dia malah memalingkan wajah.

"Apa kau kecewa karena kehadiranku? Tapi, mau tak mau kau harus menerimanya. Saat ini tidak ada yang mungkin bisa melayanimu, baik Sora ataupun Yuna. Mereka punya kesibukannya masing-masing."

"Tinggalkan aku sendiri, aku bosan berdebat denganmu!" ketus Jungkook, tetap menahan diri agar tidak melirik istri yang sebenarnya dia rindukan.

Berbeda pula dengan Jimin yang bersikeras menginginkan agar pria itu memakan buburnya. Dia menarik pelan wajah Jungkook dan sedikit memaksanya untuk makan. "Ini yang harus kaulakukan bila ingin tenagamu pulih, habiskan buburnya." Bagai sebuah titah yang tak dapat ditawar, dengan malas Jungkook menerima suapannya.

"Di mana Minguk?"

"Dia tertidur sehabis makan malam tadi. Aku hanya sempat mengganti bajunya, dia tidak mau pulang." Pandangan Jimin tertuju ke sofa panjang di sisi kiri, diikuti Jungkook mengawasi putra mereka yang kini lelap di sana.

"Kapan aku diperbolehkan pulang?"

"Lusa, dokter menyarankan agar kau beristirahat dulu di sini." Jimin menyampaikan persis pernyataan dokter sebelumnya. Diamati secara saksama, keadaan Jungkook memanglah buruk. Wajahnya pucat dengan kantung mata yang pula menghitam.

"Besok aku akan tetap pulang. Terima kasih atas perhatianmu." Sepertinya dia memang tidak akan puas sebelum mengundang hawa tegang ke tengah-tengah mereka. 

"Jangan memancingku Jungkook! Dalam keadaan seperti ini kau tetap saja angkuh." Jimin menghela ringan napasnya mencoba tetap tenang, meski kepedihan berangsur-angsur menumpuk di hatinya. Itu disebabkan perkataan Jungkook yang tiada habis-habis seperti memojokkannya.

Andaikan jujur mudah terucap saat ini, Jimin sungguh jemu terhadap situasi yang mengurung mereka. Sepanjang ingatannya, setiap waktu ditinjau ulang tanpa terlewatkan dan dia meyakini nihil peristiwa rumit pernah menjerat keduanya ke ranjau ketidakharmonisan berumah tangga.

Jimin mengenal baik suaminya. Dia bukan lelaki penikmat wanita persinggahan, tidak genit dan bukan pengumbar janji manis layaknya kasanova. Bukan juga pria bertemperamen keras. Akan tetapi, satu sisi menyebalkan darinya sudah sangat cukup bertahun-tahun dimaklumi. Jungkook sering melupakan hal-hal kecil yang sebenarnya sungguh berarti bagi dia. Semacam perhatian sederhana atau kata-kata manis menyiratkan betapa keberadaannya sangat berharga. Mengingat hal itu tak ayal menarik keras kesedihannya, Jimin menangis. Dan detik Jungkook menyaksikan kelemahan itu, dia bergegas bangkit dan memilih menutupi diri.

Banyak waktu bersama tersingkir akibat urusan lain. Berangsur-angsur membangun yojana pemisah keintiman. Ketidaknyamanan hadir begitu cepat, berlandaskan tanggung jawab diluar keperluan keluarga. Semua kenangan bahkan turut mengabur, lantaran egoisme memegang kendali atas kemudi biduk rumah tangga mereka. Jimin hanya tidak menyangka bahwa sedikit teguran yang diharapkan dapat membuka mata suaminya, ternyata kian menempatkan dia kepada pelaku kesalahan. Dan dia benar-benar lelah, tidak akan mencoba meneruskan tujuannya lagi jika berujung membawa rasa sakit lebih besar.

Kepergian Jimin menimbulkan tanda tanya pelik di benak. Apa sebetulnya yang tengah dipikirkan istrinya itu? Kenapa dia tidak lagi terlihat baik-baik saja sebagaimana pengamatannya belakangan waktu.

-----

Pukul sebelas malam, Minguk terjaga dari tidurnya. Dia bergerak pelan, menyeimbangkan tubuh dan pikiran yang masih sempoyongan. Tujuan kakinya adalah nakas di samping ranjang pasien, datang dahaga yang butuh untuk dilapangkan dengan segelas air.

"Kamar rumah sakit tidak memengaruhi tidurmu ternyata. Kau nyenyak sekali, dengkuranmu mengalahkan rasa kantuk Papa."

"Maaf, aku tidak sadar saat melakukannya."

"Tentu saja. Kau sangat pulas sebelumnya."

Atensi Minguk berpindah ke sofa, di mana Mamanya berbaring lelah di sana. Matanya yang agak membengkak terpejam dan si tampan kecil sangat memahami apa yang mendasari keadaan ibunya itu.

"Jangan keras-keras pada Mama! Aku tidak memihak siapapun, tapi aku tahu Papa masih terus menyalahkannya sampai sekarang. Selama aku bersama Mama, dia tidak pernah menyinggung satupun kelakuan Papa yang tidak dia sukai. Papa sebaliknya, sering mengulang seberapa banyak Papa menaruh kekesalan untuknya." Wajah Jungkook total berkerut. Tuduhan putranya sukses menampar akalnya sekali lagi, setelah fakta di mana Jimin yang tiba-tiba menangis di hadapannya.

"Papa tidak bermaksud memojokkan Mamamu, kau juga tahu seperti apa kelakuannya. Kau sendiri melihatnya 'kan? Dia selalu menolak pergi bersama kita, tetapi bisa pergi berdua dengan laki-laki lain."

Minguk mengambil selimut yang semula menghangatkannya, berganti dia menyulubungi ke tubuh ibunya. Satu kecupan mendarat di pipi Jimin, menyebabkan dia bergumam pendek seraya menyamankan kepalanya menghadap punggung sofa.

"Aku bisa melihat kalau Mama tidak menyukai Paman itu."

"Dari mana kau tahu?"

"Karena dia ibuku. Sangat mudah membedakan cara Mama menatap Papa dan kepada orang lain. Tapi Paman itu memang selalu mendekati Mama. Aku tidak peduli dengan perbuatannya, yang penting Mama tidak memberi harapan."

"Kenapa kau menceritakannya pada Papa?"

"Papa mau aku menyebarkan aib ini pada Sora?!" Jungkook terkesiap, membuang pandang ke sisi lain ketika penuturan putranya membuat dia mati kutu. "Pa, apa Papa tidak bisa mengalah untuk sekali saja? Ingat-ingat dulu apa yang mungkin menyebabkan Mama berubah. Papa pasti memiliki kesalahan, tidak hanya Mama."

"Astaga, Minguk! Sikapmu terlalu tua untuk usiamu itu."

"Kalian yang membuat anak kecil ini menjadi seperti ini. Waktu bermain-mainku dihabiskan untuk memikirkan Mama dan Papa. Orang tua temanku bahkan selalu kelihatan manis di depan umum."

"Jangan membanding-bandingkan kami dengan orang tua temanmu Minguk, itu tidak benar." Kemudian, Minguk mendesah keras. Dia tidak peduli walau sejak bermenit-menit lalu kelopak matanya memberat lagi.

"Kapan terakhir kali Papa memperhatikan Mama, menyenangkan dia dengan apa saja yang bisa disukainya?" Tidak terhitung berapa kali kata-kata putranya ini menyebabkan dia tertegun. Jungkook kelu, melainkan pikirannya menyeret dia ke masa-masa sebelum kemesraan dia dan istrinya bertukar hambar.

-----










(END) SolipsisticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang