008.

8.3K 649 0
                                    

Jian baru saja sendawa setelah melahap suapan terakhirnya. Sementara Nala yang diam-diam berbunga-bunga dan menikmati makannya di depan sang pujaan dikit tercengang melihat Jian cepat menghabiskan makanannya.

Sementara Raskal biasa saja melihat itu, sudah biasa melihat Jian cepat menghabiskan makanannya padahal yang belum makan dari semalam adalah Raskal. Tapi tadi Jian melahap makannya buru-buru seperti orang kelaparan, padahal sebelum ke sekolah Raskal melihat Jian menyomot pisang goreng Abahnya saat Abahnya hendak ke kamar mandi.

"Memang Nasi Ayam Bu Idah enak banget ya," Jian menatap Nala dan Raskal bergantian. "Habisin, cepet. Bentar lagi kelas ramai. Semalam dan tadi pagi kamu belum sentuh makanan apapun." Kata Jian pada Raskal.

Nala terganggu dengan ucapan Jian barusan, sejak semalam Raskal belum makan? Kenapa Raskal tidak makan sedikit pun?

Nala jadi bertanya-tanya seiring melirik Jian dan Raskal sibuk bercengkrama lalu melahap sisa nasi gorengnya. Melihat Raskal pagi ini, Nala baru sadar kalau Raskal tampak tidak rapi seperti biasanya. Kemeja putihnya kusut dan rambut ikalnya tak beraturan.

Sedikit berantakan, tapi Nala tetap suka. Di mata Nala, Raskal akan selalu terlihat sempurna walau sekarang Raskal menatap Jian sinis.

Nala diam menyimak pembicaraan dua pemuda di dekatnya, Raskal menyuruh Jian untuk tidak berisik sedangkan Jian cengengesan sambil merapikan sampah makanannya.

"Ayo, Nala, kita tinggalin Raskal sendirian. Siapa suruh makannya lelet." Ejek Jian dan Raskal menatapnya sinis.

Tak lama Nala menyelesaikan makanannya, disusul Raskal lalu ia merapikan sampah makanannya. Kelas mulai ramai dihuni. Raskal dan Jian bangkit.

"Oh iya—kamu nggak jadi tanya Nala soal kemarin?" Jian dan Raskal sama-sama menatap Nala. Nala jadi canggung. Tatapan mereka mengandung arti yang tak diketahuinya, selain Jian dan Raskal sendiri. Nala jadi ciut di depan mereka.

"Nggak enak nanyanya." Singkat Raskal dicibir Jian. "Kenapa nggak tanya aja sih sekalian? Mumpung Nala di sini," Jian menatap Raskal lalu menatap Nala lagi.

"Me—memangnya.. mau.. nanya apa?" tanya Nala dengan degupan jantung tak beraturan. Tatapan Raskal kini seakan menghunus kepala Nala. Mungkin kalau tatapan Raskal ibarat ketapel, mungkin kepala Nala sudah bolong dari tadi.

"Raskal mau tanya perihal surat dan bungkusan kue di loker mejanya."

Nala menahan napas.

"Waktu itu Raskal dapat surat di lokernya—ya pasti kamu tau Raskal sudah biasa dapat surat dari penggemarnya. Hanya saja ada bungkusan kue gitu. Raskal nanya ke aku apa aku ada lihat orang yang kasih surat dan kue itu ke lokernya. Aku bilang aku nggak tau, tapi aku suruh Raskal tanya kamu karena pas itu aku lihat kamu sudah datang lebih dulu ke kelas."

Entah karena cuaca terlalu cerah hari ini sampai Nala merasa berkeringat. Kepalanya berdenyut memikirkan jawaban masuk akal yang bisa diterima dua pemuda di depannya.

Nala hendak mengatakan bahwa ia hanya menjadi kurir dari seseorang yang meminta tolong padanya untuk meletakkan surat dan kue tersebut ke loker Raskal, tapi Nala urung. Itu bukan alasan yang tepat, di mana ia tak pernah sekalipun mau menjadi kurir para penggemar Raskal meski tak ada satu orang pun yang meminta tolong padanya. Jian dan Raskal pasti tahu itu juga. Biasanya yang mau jadi kurir tersebut Anggi atau Ethan. Itu pun pasti mereka akan mengatakan lebih dulu pada Raskal mengenai surat atau kiriman lain untuk diletakkan di lokernya.

Terkadang Jian pernah membantu salah satu penggemar Raskal untuk memberikan surat untuk Raskal. Tapi seringkali Jian menolak, katanya nanti penggemarnya keasikan kasih ke dia malah nantinya dijadiin babu.

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang