E-7

57 24 40
                                    

Daisy berjalan menuruni satu demi satu anak tangga menuju ruang tamu.

Tadi Bibi alias pembantu di rumah mewah itu memanggil Daisy, katanya ada yang mencarinya.

Daisy membulatkan matanya ketika mendapati seorang lelaki tengah duduk sendirian di sofa ruang tamu.

Sudut bibirnya tertarik begitu saja membentuk senyuman tipis.

Hati nya senang.

Daisy dengan cepat menghampiri lelaki itu lalu memeluknya tanpa aba-aba.

"Sayaaaangg!!" Seru nya begitu memeluk lelaki yang tidak lain ialah pacarnya.

"Eh kaget, Hai sayang." Sapa Sunoo dengan senyumannya yang begitu manis tulus dari hatinya. Lalu membalas pelukan gadisnya.

Setelah puas saling berpelukan, Daisy duduk di samping pacarnya itu.

"Kok dateng gak bilang-bilang?" Tanya Daisy dengan wajahnya yang dibuat cemberut lucu.

"Mama kan sita ponselmu. Aku ga bisa bilang jadinya."

Daisy lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Sunoo.

"Sunoo," Panggilnya.

"Hm?"

"Aku bosen."

Sunoo menoleh pada gadisnya. "Mau jalan-jalan?"

Daisy menoleh pada Sunoo yang dekat sekali dengannya. "Emang boleh?"

Sunoo tersenyum lalu mengangguk. "Boleh dong. Siap-siap sana."

Daisy tersenyum penuh semangat. Ia pun berlalu ke kamarnya untuk bersiap-siap.

Senang tentunya. Daisy sudah dikurung di rumah selama 8 hari penuh tidak boleh keluar rumah sama sekali. Mungkin orang tuanya bilang jika Daisy sakit atau ia izin untuk beberapa hari kedepan. Soal itu Daisy tidak memikirkannya.

Seperti biasa, di motor sport milik Sunoo, disitulah mereka berdua memulai kisah cinta mereka. Menghabiskan waktu bersama, dan berpacaran dari pagi hingga malam.

Bahkan jika bisa, Daisy ingin sekali duduk di jok motor itu dari pagi hingga pagi lagi, menghabiskan waktu berduaan dengan pacarnya, dan mengabaikan keluarganya.

"Mau kemana nih kita?" Tanya sang pacar yang tengah fokus mengendarai motor sport nya.

"Emmm... Kita keliling seluruh dunia." Jawab Daisy sembari memeluk pacarnya dan bersandar di sela-sela lehernya.

Sunoo tersenyum. "Oke ayo."

"Sunoo, " Panggil Daisy.

"Apa hm?"

"Kamu sesayang apa sama aku?"

"Seumur hidupku."

"Yakin? Kalo misalnya kita berpisah, kamu akan tetep sayang sama aku?"

"Aku janji akan bahagiakan kamu, asal kita bersama. Dan kalaupun kita berpisah, aku ingin kita dipisahkan oleh maut."

Daisy pun mengukir senyuman manis diwajahnya.

Sunoo lalu menghentikan motornya setelah sampai di tempat tujuan. Ia pun memarkirkan motornya.

"Yuk masuk." Ajak Sunoo seraya menggenggam tangan Daisy.

Mereka berdua lalu memasuki tempat itu sembari bergandengan tangan.

Tempat itu ialah bioskop.

"Mau nonton apa, sayang?" Tanya Sunoo.

"Bebas, terserah kamu aja."

Sunoo pun memesankan tiket, lalu setelahnya mereka menununggu beberapa menit sebelum memasuki ruangan yang gelap itu.

Sunoo memilih untuk menonton film romantis, mungkin agar senada dengan situasi mereka saat itu.

🌼

Jay menutup pintu ruang kerja Papa nya.

"Pa—"

"Jay," Sela Papa yang tengah memandangi keluar jendela sembari duduk di kursi kerja nya.

"Iya, Pa." Jay lalu menghampiri Papa nya.

"Apa bener kamu berteman dengan anaknya Richard dan Nita?" Papa masih tidak menatap Jay, ia tetap memandang keluar jendela.

Jay menganggukkan kepalanya samar. "Iya. Tapi—"

"Kamu udah tau kan apa yang harus kamu lakukan?"

Jay menunduk. "Iya, tapi aku—"

"Kalau kamu udah tau, lakukan secepatnya."

"Tapi, Pa—"

"Ini demi kehidupan kita, Jay." Papa membalikkan badannya, menatap serius manik mata anaknya.

Jay menghela nafas. "Iya aku tau. Tapi, Pa—"

"Kalau kamu tetap gak mau, Papa bisa aja cabut semua fasilitas kamu sekarang!" Papa menaikkan nada bicaranya.

Jay kembali menunduk.

"Kalau kamu gak mau fasilitas kamu dicabut, yaudah kamu nurut."

"Adikku Papa buang kemana?" Tanya Jay mengalihkan pembicaraan.

"Kamu masih memperdulikan dia?" Papa terkekeh. "Dia itu sudah membuat Mama kamu meninggal, Jay. Kamu ingat itu kan?"

Jay menghela nafasnya berat. "Iya.. Aku tau kok, aku inget. Tapi apa gak terlalu kejam ya? Membuang dia disaat usia nya yang masih terlalu muda, bahkan baru lahir beberapa hari."

"Kejam? Itu belum seberapa, Jay. Masih baik Papa hanya buang dia saja, gak sampai membunuh dia."

"Tapi Papa buang dia di semak-semak, Pa. Gimana kalau dia gak ada yang nemuin dan dia mati disana? Papa tega? Papa—"

"Jay!" Papa beranjak dari duduknya, menatap tajam manik mata Jay. "Andai anak itu gak lahir, Mama kamu bisa hidup sampai detik ini!"

"Itu udah takdir, Pa.. Itu bukan salah adikku.. Papa ingat apa yang Mama pesan? Papa ingat—"

"Diam!" Bentak Papa.

Jay menunduk.

"Keluar dari ruangan Papa!" Namun Jay tetap terdiam, tidak beranjak keluar. "Keluar, Jay!"

Jay memejamkan matanya, ia sakit hati ketika mendengar suara Papa nya yang membentak nya.

Tidak ingin pertengkaran makin melebar, Jay memilih untuk mengalah dan keluar dari ruang kerja Papa nya. Meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan emosi yang belum reda.

Jay menghela nafas berat ketika ia sudah sampai didepan pintu ruang kerja Papa, Jay lalu menutup rapat pintu itu.

Ia kembali menundukkan kepalanya, ingin rasanya Jay menangis dan berteriak. Ingin rasanya ia berteriak hingga hati nya lega. Ingin rasanya ia menyerocos sepuasnya, mengeluarkan seluruh isi hatinya.

Jay ingin setidaknya sekali, ia melawan Papa nya. Namun ia ingat akan dosa, Jay tidak ingin menjadi anak durhaka.

Rasanya hati Jay kacau, ia ingin menangis namun tidak bisa.

TBC


Up lagiiii
Chapter kali ini mungkin ga jelas, tapi yaa semoga kalian puas sama hari ini.

Jangan lupa vote komen yaa!!

[END] Sepucuk Bunga DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang