🌻12 :: Anak Ayam dan Tiket Liburan

29 9 0
                                    

Semuanya sudah berakhir. Hubungan yang susah-susah Jerico lindungi selama ini, pada akhirnya tetap kandas juga. Persis seperti apa yang diucapkan Yoseph tempo hari. Membayangkan fakta bahwa Beby sudah bukan lagi kekasihnya, sungguh membuat hati Jerico sakit.

Jerico memandang sebuah kotak yang baru saja dia keluarkan dari lemari. Kotak indah berisi kreasi buatan Beby. Dia ingat, kotak itu adalah hadiah dari Beby saat tahun lalu, hadiah yang diberikan tanpa adanya hari spesial dan tanpa adanya sesuatu yang istimewa. Hari itu, Beby secara tak terduga memberikannya seraya mengatakan, "Aku bikin ini, gak tau bagus atau enggak. Kamu terima, ya? Pajang di kamar kamu. I love you". Tolong, bolehkah merindukan seseorang yang sudah menjadi mantan?

Dua-tiga hari sudah dilewati. Namun dirinya masih berada dalam bayang-bayang Beby Ze Amora. Kalimat, bersama dengannya sakit, tidak dengannya semakin sakit, yang pernah anak itu baca di sosial media, bisa dengan singkat menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini.

"Kalau tahu dia main api di belakang lu. Kenapa gak lu labrak langsung? Kasian? Itu sama aja lu tolol. Cinta? Makan aja tuh cinta. Gue yakin, lama kelamaan, hubungan kalian gak jelas dan putus." Kalimat yang keluar dari Yoseph yang sampai saat ini masih Jerico ingat. Dulu, Jerico denial dan keukeuh membuktikan pada temannya itu bahwa dia bisa. Tetapi kini, Jerico akan dengan senang hati mengatakan bahwa dia salah. Salah besar sebab menganggap bahwa dia bisa mempertahankan dengan sempurna.

Jerico ikhlas. Bukan, lebih tepatnya berusaha ikhlas.

Kala tengah memandang kotak indah pemberian Beby, atensi pemuda jangkung itu beralih pada suara yang tak sengaja ditangkap oleh indera pendengarnya. Suara kecil nyaring dan sangat mengganggu yang entah datang dari mana. Sesaat, Jerico termenung, meraba dari mana asal suara yang dia dengar. Semakin lama, semakin kencang dan mengganggu. Jerico memutuskan untuk mengintip ruang kosong di bawang ranjang tidur miliknya.

Dan ternyata, betapa terkejutnya dia saat lihat seekor anak ayam berwarna merah muda sedang berputar-putar. Persis seperti anak ayam yang kebingungan.

"Siapa yang naro ayam disini?!" Jerico kesal. Bagaimana tidak? Itu ayam. Takut-takut kalau ayam itu mengeluarkan kotoran nya sembarangan dan menjadi pengharum baru untuk kamar Jerico yang sudah harum. "Lu ayam siapa sih?! Harus banget warna nya pink?!"

Tanpa banyak berpikir, Jerico yang semula sibuk meratapi kisah percintaannya, meraih anak ayam tersebut. Menggenggam dengan terpaksa dan membawa nya keluar dari rumah--bukan hanya kamar. Tetapi sejujurnya, seiring membawa anak ayam itu keluar, isi pikiran Jerico penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya. Seperti sederhananya, bagaimana ayam itu masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua? Kalau Papa, jelas tidak mungkin. Papa nya sedikit takut dengan hewan unggas, jadi rasanya mustahil jika yang membawa anak ayam itu merupakan salah satu dari keluarga nya.

Akhirnya, Jerico membawa anak ayam pink sampai jalanan komplek. Melirik ke kanan-kiri, siapa tahu ada orang asing yang sedang mencari keberadaan anak ayam pink ini. Tetapi alih-alih mendapatkan orang asing, yang Jerico lihat malah seogok Wildan yang tengah kelimpungan. Pemuda jangkung nan putih itu, selayaknya maling yang sudah tertangkap basa dan tak tahu akan bersembunyi dimana.

Jerico menghampiri Wildan. Lalu bertanya dengan rasa penasaran, "Lagi ngapain?!"

Yang ditanya, terkejut. "Cari anak."

Kedua mata Jerico membelalak. "Mau ngapain? Bosen jomblo lu?"

"Bukan." Wildan berdecak, menatap Jerico malas. "Anak ayam."

Colourthetic [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang