Chapter 10

55 2 22
                                    

"I'm home!"

Cassandra berseru cerah sampai ke rumah, tangannya menenteng kantong kertas berisikan lasagna yang dia buat tadi di apartemen Ali. Senyum mekar di bibir gadis itu ketika berjalan riang menghiraukan mata yang sedari tadi memperhatikan dengan lekat. Dia tidak sadar sedari tadi Lucius menatap tajam dari kursi ruang tamu, memperhatikan dia yang masuk rumah pada jam 10 malam. "Dari mana aja kamu? Anak gadis kok bisa-bisanya pulang jam segini."

Surai ungu Cassandra yang sedikit acak-acakan melambai seiring dia berbalik menatap Lucius. Senyuman senang yang tadi tersungging langsung pudar menatap sinis. 'Ni tua bangka sensian amat sih. Gak jelas.' Lucius yang mendapati tatapan anak gadisnya mengernyit sebelum menghela napas panjang. "Duduk. Ngobrol sama Papah sekarang."

Cassandra jujur saja tidak mau menghabiskan waktu dengan tua bangka munafik ini, bahkan jika dia melihat ada macaroni juga cheesecake yang tersedia di meja. Eh? Ini kan makanan kesukaannya! Apa Lucius sengaja menunggu dia pulang dari tadi? Kalau iya- "Najis," gumam Cassandra merinding menatap jijik, bagaimana juga ayah setan ringan tangan sekarang berbuat baik, tapi tidak bisa memastikan orang tua itu tidak akan mengulangi penyiksaan lagi. Plin-plan. Munafik. "Apa kamu bilang?" Netra ruby itu perlahan melebar sebelum menatap Lucius dengan polos, eh, ternyata si ayah tidak budek. "San bilang magis."

"Magis?"

"Wow, magis gitu lihat Ayah udah pulang."

Lucius yang tadi memasang wajah serius kini tertawa pelan mendengar penjelasan polos gadis ini. Jelas sekali tadi dia mendengar kata 'najis', tapi itu tidak penting sekarang. Lucius kini kembali memerintah walau dengan nada yang lebih halus. "Duduk." Cassandra mengangguk segera duduk, tidak mau jika pria tua ini mengungkit hinaan murni tadi. "Ada apa, Pah?" tanyanya sembari duduk menyimpan kantong yang dibawa dengan hati-hati, pandangan Cassandra melembut. Lucius melihat itu dengan selidik sebelum kembali melihat wajah sang putri yang terlihat damai. Ada apa ini? Sebenarnya anak ini dari mana?

"Pertunangan kamu dengan Avner sudah putus secara resmi." Cassandra yang tadi masih berfokus pada kantong kertas kemudian beralih menatap Lucius dengan senyuman lebar. "Serius?!" serunya antusias, ini berita besar. Kini dia sepenuhnya bebas! "Iya." Lucius mengangguk memperhatikan reaksi gembira Cassandra dengan napas panjang. Tampaknya gadis ini benar-benar sudah tidak memiliki perhatian pada Avner. "Walau begitu kamu harusnya lebih berhati-hati.."

"Hah? Maksud Papah apa?" Cassandra melirik bingung ketika mendengar peringatan Lucius. Memangnya hati-hati ngapain? Ah, apa karena dia pulang malam atau memanas-manasi Avner lewat live? Tapi, mustahil Lucius melihat hal remeh begitu untuk dijadikan peringatan. "Foto-foto itu.. Papah tahu kamu gak mau terikat lagi sama Avner. Tapi, ngirim bukti-bukti foto Avner dan Naureen tanpa busana-- ya, kamu tahu maksud Papah sebagai bukti perselingkuhan untuk menekan Keluarga Baswara bukan pilihan bijak walau berhasil. Bisa-bisa nama keluarga kita ikut buruk, foto Naureen ada di sana dapat mencoreng nama baik keluarga kita sebagai bumerang."

Mendengar semua penuturan Lucius membuat Cassandra terpaku, netranya membelalak lebar napasnya tertahan. Dia tidak pernah mengirimkan foto itu. Tidak pernah. Lucius yang tidak mendengar balasan Cassandra kemudian menyipitkan mata. "Oh? Kamu gak tahu hal itu? Bukan kamu yang kirim fotonya?" Cassandra bisa melihat reaksi waspada dari Lucius, netra emas yang mendominasi membuat dia terhenyak sebelum dia tertawa lepas-- tawa palsu untuk membuat ini tidak semakin rumit. "Oh, ayolah, Pah. Kaya gak tahu aja sifat San. Pasti mereka panik banget dikirimin foto-foto vulgar kek gitu. Puasin aja sih, nasib si sampah dan curut emang gak bagus."

Cassandra tersenyum miring, jantungnya berdegup kencang sedangkan netranya menggelap. Ada yang salah di sini. Dia tahu akan hal itu. Tapi, tampaknya ini berhasil karena Lucius kini kembali tenang mendapati sifat asli putrinya. Lucius melirik makanan di meja makan, kenapa Cassandra tidak memakannya? Ini makanan yang harus disukai gadis itu. Sebelum bertanya Cassandra sudah bangkit segera beranjak untuk pergi ke kamar. Perasaannya kalang kabut. "San ke kamar dulu, Pah. Capek."

Setelahnya Lucius hanya bisa melihat langkah kaki putrinya menjauh. Dia memijat pelipis, melepas kacamata yang terpasang di wajahnya. Anak ini benar-benar berani, perhatiannya sudah berubah jauh. Bohong jika Lucius tidak menyadari ketidakpedulian Cassandra pada keluarga, kekasih, bahkan dari kabar orang yang dia suruh mengawasi Cassandra di sekolah, gadis itu menjauhi teman-teman akrabnya. Itu mencurigakan. Anak yang haus akan perhatian kini abai dan hidup senang untuk dirinya sendiri.

.

.

.

"Siapa? Siapa? Siapa?!"

Cassandra bergumam frustasi dengan kaki hilir mudik di dalam kamar. Dia tidak tenang. Foto itu hanya satu yang punya, dirinya dan itu ada dalam file memori khusus yang dia simpan. Bahkan ketika melihat ke tempat rahasia miliknya, itu masih ada di sana. Juga orang yang dia perintah untuk mendapatkan foto itu langsung menghapusnya setelah memberikan data yang tersedia. Berusaha menghubungi nomor paparazi yang dia sewa, dan yang didapati hanyalah nomor yang dituju tidak aktif.

"Sialan!"

Cassandra kalang kabut diterpa kecemasan. Dia tahu bahwasanya dia bukanlah orang pintar atau jenius. Otaknya pas-pasan. Dia tidak mengerti, ayolah, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi padanya? Ini jelas-jelas mencurigakan, bagaimana jika hal ini adalah alasan dia mati di kehidupan lalu? Oke, sekarang dia paranoid. Kepalanya sakit memikirkan hal itu.

Tidak. Dia jangan berpikir buruk dulu, ini hanya kebetulan. Anggap saja paparazi itu menipunya dan menjual itu ke musuh milik Keluarga Baswara. Betul kan? Sudahlah. Dia capek. Untuk menjernihkan pikiran Cassandra perlahan menuruni anak tangga pergi ke dapur untuk minum. Tapi, di sana dia menemukan wanita dewasa, ibu-ibu, wajahnya asing sedang membersihkan dapur. "Eh, Nona. Ada apa?" tanyanya ramah.

Cassandra bingung, perasaan di kehidupan masa lalu pembantunya bukan ibu ini. Menyingkirkan pikiran itu dia menggeleng dan mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. "Mau minum aja, Bi. Ngomong-ngomong Bibi baru ya di sini?"

"Betul, Non. Bibi baru di sini, kemarin baru masuk."

"Oh, gitu."

Cassandra menegak air putih, setelahnya dia membuka kulkas. Sisa lasagna tadi dia simpan ke sana agar tidak basi. "Mau diangetin, Non?" Cassandra yang mengeluarkan wadah aluminium foil itu mengangguk, melihat pembantu barunya yang cekatan menghangatkan makanan. Benar. Ibu ini berbeda dengan pembantunya yang pendiam dulu, padahal seingatnya wanita muda pendiam itu tidak pernah diganti atau bahkan tidak pernah ada pembantu baru selama setahun ke depan. Apakah perbuatannya yang berbeda menimbulkan butterfly effect? Perubahan kecil bahkan membuat pembantu rumah berganti?

Halah. Lagi-lagi setelah mengalami kematian dia terlalu overthingking. "Makasih, Bi." Cassandra mengangguk sedangkan ibu itu hanya menanggapi dengan sopan lantas pergi. Cassandra kini sendirian di dapur, terduduk memakan lasagna dalam diam. Ah, ini mengingatkannya pada Ali. Tapi, rasanya saat makan di dapur apartemen Ali terasa hangat walau sunyi. Berbeda dengan dia yang sendiri di sini, rumah sialan yang terasa semakin dingin.

Bersambung ....

9 November 2023

Limerence [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang