Chapter 14

33 2 5
                                    

Cassandra memegang stir erat-erat, sedikit gemetar mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia ingin segera pulang ke rumah. Tidur di atas kasur dan tidak memikirkan apa pun, membiarkan otak tololnya ini minimal bisa diajak bekerjasama.

"Gue tahu gue tolol, tapi gue gak tolol-tolol banget, gak sadar kalau habis dicium cowok."

Cassandra meraba rahangnya yang nyeri. Ali-- cowok itu sepertinya menciumnya, dia tahu itu. Tapi, dia tidak memiliki bukti apa pun, bahkan ekspresi anak itu selalu datar tanpa emosi, dia tak punya pembelaan. Terlebih bukan itu yang penting! Kuudere-kun yang dia percaya ternyata mesin pembunuh! Tidakkah semuanya bisa lebih gila?!

"Gue bisa percaya siapa lagi coba?!" Cassandra membanting stir, membelokkan mobil di tikungan  tajam dengan kecepatan tinggi, membuat beberapa pengendara menyalakan klakson. Menyumpahi gadis itu, bukan hanya masalah orang asing laknat yang dia percaya untuk diceritakan kisah nyata, sekarang pahlawannya juga diam-diam bertindak mesum.

"Nyemplung dulu baru tahu masalah! Bego bener sih lo ini, terus gitu sampai lo mati lagi!" teriaknya frustasi, mengendarai mobil ngebut-ngebutan di jalanan.

TIN!

Cassandra terlonjak kaget ketika truk berhenti di depan mata, dia terburu menginjak pedal rem, membuat tubrukan kecil pada bagian depan mobil. Polisi sudah menghampirinya, makian, suara klakson terdengar nyaring. Mobilnya terserempet truk, nyaris membunuhnya seketika, sedangkan dia menghalangi jalan membuat kemacetan.

"HEY! PUNYA MATA DIPAKE A*****!  G*****!"

"Mbak! Mari keluar dulu! Kita bicarakan di kantor polisi."

"Heh! Minggir!"

Astaga, Cassandra membenamkan kepalanya pada airbag yang menggembung. Untungnya dia tidak terluka, hanya bumper mobil yang mengalami kerusakan. Hanya tabrakan kecil, dia masih hidup. Bagus! Seolah ada yang bisa lebih baik dari ini. Mari pura-pura pingsan dan biarkan semuanya berlalu, Ya Tuhan. Dosa Cassandra banyak sekali, tapi bisakah kau berbaik hati sedikit saja?

.

.

.

"Maafkan putri saya, setelah putri saya sadar saya akan membuat laporan kembali. Terima kasih atas kerjasamanya."

"Baik, semoga putri Anda cepat sadarkan diri."

"Siap, Komandan. Terima kasih lagi atas perhatian Anda."

"Baik, Pak. Sampai jumpa lagi."

"Sampai jumpa."

Cassandra masih berpura-pura pingsan dari awal tertabrak hingga sekarang ini. Dia malas berurusan dengan polisi, yang berakhir ketiduran dan terbangun di ranjang rumah sakit. Masih pura-pura memejamkan mata, perasaannya sungguh lelah.

Cassandra hanya ingin bisa hidup menyenangkan, bahagia, dan tenang. Apakah itu sulit? Mengingat perilaku dan ketidakwaspadaannya itu patut diakui. Masih memejamkan mata, dirinya bisa merasakan tangan tua Lucius menyentuh kepalanya. Tidak terlalu jelas apa yang dibisikkan pria tua itu, hingga akhirnya Lucius memilih meninggalkan putrinya sendiri.

"Kalau gue gak bisa lepas dari tua bangka itu, gimana gue bisa hidup sendiri dan menghindari kematian? Capek banget." Matanya sedikit memerah, kelopak mata gadis itu berat. Melirik sekitar ruangan dia menutup wajahnya. Aroma khas obat-obatan dan langit putih rumah sakit mengingatkannya ketika ibunya mati. Cassandra lelah, sungguh lelah. Tidak ada yang bisa dia percaya. Tidak ada.

Pikiran gadis dengan rambut ungu itu berkeliaran, ada banyak hal yang harus diperbaiki. Tapi, tidak selintas ide sampai di kepalanya. Pikiran itu mulai buyar, tubuhnya tersentak ketika mendengar suara pintu berderet mulai terbuka.

Bagus! Kembali pura-pura tidur, dia malas bicara dengan siapapun. Cassandra berusaha terpejam, tapi mendengar keheningan tak lazim membuatnya cemas. Sementara aroma dari selang infusan kembali tercium, mengalir memasuki pembuluh darah. Satu menit, dua menit, hening, tidak ada pergerakan. Dia mulai cemas. Siapa yang masuk ke ruangannya?

Mungkin saatnya Cassandra mulai menyelesaikan masalah satu persatu, kelopak mata yang berkedut menyesuaikan cahaya perlahan terpaku. "Sus-" ucapannya terpotong, mendapati seorang wanita berpakaian suster dengan masker berwarna biru menggenggam bantal hendak diarahkan ke wajahnya. Orang itu juga tak menyangka hal tersebut, sorot panik dari gerakannya yang canggung, kakinya mundur selangkah, menjatuhkan vas dari atas nakas.

Cassandra masih linglung, otaknya berputar cepat, jantungnya berdegup kencang, kepalanya menyalakan alarm bahaya. Mengabaikan suara vas yang pecah juga mata orang asing yang menyalak, dia bergegas meraih tombol untuk memanggil penjaga. "MAU APA LO SETAN?!" teriaknya menggema--- gemetaran di ujungnya dipenuhi rasa takut.

Belum sedetik bergerak, infusan dengan jarum yang menusuk punggung tangan menghalangi pergerakan, tubuhnya tertarik ke belakang, suara besi yang menumpu cairan infusan jatuh, Cassandra merasakan nyeri, kulitnya serasa sobek, tertarik jarum, darah merembes. Tangan Cassandra terjulur kebawah, tertarik tiang infusan. Tak menyia-nyiakan kesempatan, penyusup menjambak rambut Cassandra hingga tubuhnya jatuh ke atas ranjang.

Cassandra takut, sungguh, matanya membola berusaha berontak. Kakinya menendang-nendang sedangkan tangannya berusaha melepaskan jarum infisan. "Diam. Kalau Anda berontak ini akan semakin sakit."

Sialan! Sialan! Sialan!

"SIAPA LO ANJING?! PERGI BANGSAT!"

Cassandra berseru, berharap suaranya bisa didengar. Amarah, ketakutan, keputusasaan, samar-samar tercampur. Tapi semuanya sia-sia. Wanita ini mau siapapun itu, menargetkan dirinya untuk dibunuh, wajah Cassandra dibekap dengan bantal, ditekan berkali-kali memblokir oksigen untuk bernapas.

Cassandra terus berontak, kakinya menendang-nendang udara, tangannya menggelepar, menyentuh tangan yang satu lagi yang masih tertusuk infusan hingga akhirnya kulitna benar-benar sobek, jarum terlepas. Tubuhnya mulai kehilangan tenaga, waktu kini semakin terbatas. "Tenanglah. Jika Anda tenang, Anda akan mati dengan mudah."

Cassandra menggeleng kuat-kuat dalam hati. Dia tidak boleh mati, tidak boleh! Berhasil menarik jarum infusan, gemetaran tangannya mulai melambung ke udara, menancapkannya pada penyusup. Pembunuh yang mengincar Cassandra mundur, mengaduh, mencabut jarum di lengannya. Sedangkan Cassandra mendorong bantal dari wajahnya. Menendang orang di depannya hingga terjatuh ke lantai. 

"TO- TOLONG!"

Napasnya putus-putus, sesak, suaranya setengah serak masih berseru, keringat membasahi tubuh dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya tertatih jatuh ke lantai. Berusaha berdiri menggapai kenop pintu.

Sebelum tangannya menggapai pintu, dia mendengar suara kaca pecah, terdengar raungan pembunuh bayaran, semuanya berlalu terlalu cepat. Tidak berani berbalik, apa yang terjadi, dan bagaimana dirinya ketakutan setengah mati. Tubuh pembunuh bayaran limbung, terjatuh ke punggung Cassandra. Darah menetes dari sang pembunuh mengenai pakaiannya.

Cassandra berbalik, mata ruby-nya bergetar menemukan mayat terjatuh di atas, tangannya berlumur darah dari luka jarum tusuk, terus menerus tremor berusaha membuka pintu. Tubuhnya  jatuh, bersama mayat pembunuh ke lantai depan kamar inap. Lucius yang berada di depan kamar putrinya berseru, Cassandra tidak mendengar terlalu jelas, dan apa yang terjadi selanjutnya.

Kepalanya kosong. Semuanya sudah mulai, permainan hidup-mati. Tangannya mengepal ketika Lucius mengatakan kata-kata omong kosong, memeluk Cassandra yang shock. Bukan sekadar itu yang penting. Tadi, ada yang menolongnya.

Tapi, siapa?

Bersambung ....

9 November 2023

Limerence [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang