"San gak mau ngomong sesuatu sama Papah?"
Cassandra masih membeku, rahangnya mengetat dan menatap galak Lucius. Seorang perawat masih membalut lukanya, gadis itu masih waspada pada sekitarnya mencebik-- tidak mengatakan apa pun. Dia sendiri tidak tahu harus mulai darimana, dan jika harus mengatakan kebenaran--- yang pasti Lucius bukanlah orangnya.
"Papah udah bicara sama kepolisian, mereka akan mengabaikan kecelakaan sebelumnya, 'soal ngebut-ngebutan di jalan', mereka bilang kamu dalam kondisi gak sehat."
Cassandra mendelik, semakin tidak suka. Lucius bisa merasakan mata ruby itu membakarnya hidup-hidup. "San gak sinting," ujarnya. Diam-diam dia mulai menggabungkan memori masa lalu, kini, dan penglihatan masa depan. Menyusun semuanya layaknya potongan puzzle. Pembunuh itu... wanita yang mati ditembak di leher melewati kaca jendela, penyidik menyatakan akan senjata jarak jauh yang lebih modern membunuh penyusup. Ada satu hal yang diketahui bahwa ruangan pasien VVIP itu kedap suara, hingga sebelumnya teriakan sang gadis tidak terdengar.
Cassandra tidak terlalu peduli hal lain, bahkan jika polisi menemukan mayat penembak yang membunuh penyusup. Cassandra tahu betul, bukan wanita itu yang membunuhnya. Bukan wanita itu, selama penyekapan di masa depan, ada dua hal yang menjadi ciri khas pembunuhnya. Kulit yang lebih halus dari apa pun, yang menguliti, menyiksanya dengan keji. Serta aroma segar, semacam citrus yang menggelitik hidung.
Orang lain yang kini berusaha membunuhnya.
"Kamu gak ngomong gitu juga Papah tahu. Tapi, San. Dengerin, apa kamu punya petunjuk?"
Cassandra menatap balutan perban yang membungkus tangannya. Meremasnya pelan, membuat darah terlihat, nampak kemerahan menodai perban. "San gak tahu apa-apa." Dia tidak mau memberitahu apa pun. Kali ini atmosfer kembali dingin, dia menatap Lucius dalam-dalam.
"San gak tahu apa-apa."
Dia tahu, mungkin kali ini pembunuhnya adalah Kuudere-kun dalam chat anonim, tapi handphone berisikan chat itu saja sudah dia buang. Itu adalah prasangka, pembunuh berantai gila yang menargetkannya saat ini. Sudut bibirnya terangkat, kali ini dia tersenyum.
.
.
.
"Apa lo udah diijinin pulang?"
Cassandra tidak membalas pertanyaan Mikala. Cowok itu cukup berisik, sejak seminggu lalu dia berada di rumah sakit dan sudah kembali pulang. Pulang ke rumah. Masih bungkam, selama seminggu dirinya diintrogasi oleh polisi, penyidik, bahkan sebagian wartawan datang meributkan anak seorang petinggi yang mendapat percobaan pembunuhan.
Cassandra diawasi 24 jam selama di rumah sakit dan itu membuatnya sesak. Satu alasannya bertahan dan menahan diri agar tak dikira gila dan dijebloskan ke rumah sakit jiwa. "Kenapa sih lo jadi dingin gini huh?!"
Berisik. Ada banyak yang harus dirinya urus dan itu bukan Mikala. Cassandra masih harus menahannya, tidak boleh membuat kekacauan yang lain. Membanting pintu kamar, perlahan amarahnya mulai menguat, meletup-letup tak terkendali, dia benar-benar tidak habis pikir mengapa pembunuhan ini kembali terjadi!
"AAAKHHH!"
Teriakannya melengking, menjatuhkan barang-barang dalam kamar, memecahkannya hingga berkeping-keping. Dia sudah menahannya selama seminggu agar tidak ada keganjilan lagi yang menimpa takdir sialan ini, walau kembali saja semesta mempermainkannya seperti serangga kecil. Dia kira hanya dengan putus dengan Avner, mengabaikan Naureen dan menjauhi keluarga sialan ini sudah cukup, tapi tidak begitu.
"BANGSAT! MATI KALIAN SEMUA KE NERAKA!"
Suara dentuman dan pecahan kaca terdengar. Jendela dengan gorden yang sobek, pecahan kaca yang berserakan, barang-barang berhamburan berantakan. Jika pada akhirnya dia akan mati dibunuh lagi, kenapa Tuhan memberikan kesempatan dia kembali? Emosi Cassandra sudah mencapai batas, membuka lemari, kembali melempar barang, dirinya menyalurkan rasa frustasi.
Gerakan tangannya berhenti, dia kini menggenggam sebuah bingkai kecil, itu potret dirinya bersama ibunda. Mengeratkan genggaman pada potret itu, air matanya perlahan luruh, buru-buru dia menghapusnya mendekap potret itu erat. Apa pada akhirnya dia harus menyerah? "Mah ... San harus gimana lagi? Tolongin San, Mah. Tolongin San ...." lirihnya berbisik, bibir merahnya digigit membiarkan darah mengalir.
"San gak akan kalah, Mah. Gak akan lagi."
Tidak! Tidak bisa! Jika dia bisa mengakhiri hubungan dengan Avner, mengabaikan Naureen dan tidak mempedulikan yang lain. Dia bisa berbuat lebih, bahkan mengubah target Kuudere-kun sialan. Kali ini kilatan matanya semakin tajam, Cassandra menaruh kembali potret itu dalam lemari, mendudukkan diri segera menetralkan napas yang memburu. Menyugar rambutnya dia bersender pada lemari, pandangannya beredar menatap kekacauan yang dia perbuat.
Sekarang apa yang harus dia perbuat?
Dia bertanya pada dirinya sendiri. Tidak ada jawaban, yang ada kepalanya nyeri bukan main karena tidak menemukan solusi. Dia harus mengambil langkah. Mengelap bibirnya yang berdarah, dia menenggelamkan kepala dalam lipatan tangan.
Apa yang dia butuhkan sekarang?
Apa?
Hening dalam ruangan, ekspresi kacaunya menengah menatap ruangan. Lagi-lagi pertanyaan itu kembali bersarang dalam pikiran. "Apa ...? Apa ...?" gumamnya berkali-kali, membiarkan kehampaan juga sunyi ruangan menyergap.
Hingga satu hal terlintas di kepala. Informasi, dia membutuhkannya untuk bekerjasama dengan orang-orang yang bisa dipercaya juga koneksi. Menyewa penjaga untuk melindunginya, dan menghabisi orang yang mengincarnya ini. Matanya mulai membola, menghindari serpihan kaca dia menekan nomor dalam handphone cadangan yang disimpan.
Dia harus menghubungi orang itu. Suara panjang dering telepon mengisi ruangan. Dia sudah melakukan kesalahan besar selama ini, hingga membiarkan variabel baru menghancurkan rencananya bertahan hidup. Dia kurang waspada. "Halo."
Akhirnya telepon diangkat. Dari seberang, terdengar suara gadis berseru, berisik dengan banyaknya dentuman musik juga seruan orang-orang. Orang ini pasti sibuk berpesta di club. Tampaknya menyadari kesalahan, orang itu buru-buru ke tempat sepi dan menjawab panggilan Cassandra. "Hey~ udah lama lo gak hubungin gue."
"Kalau lo lagi mabok gue hubungin lain kali."
"Heh! Tunggu ... gue gak gak mabok. Seriusan ...."
Cassandra mendengkus, walau sejujurnya orang ini serampangan. Dia bisa mendapatkan banyak bantuan darinya seperti di masa lalu, terlebih orang ini terpercaya. "Gue ada kerjaan buat lo."
"Berapa kali ini siap bayar? Puluhan?"
"Ratusan."
Ada jeda panjang, Cassandra menatap jendela mulai menyeringai. Orang ini tak akan bisa menolak tawarannya. Tidak akan pernah bisa. "Bahaya gak?" Cassandra tertawa, membuat keluhan dari seberang. "Okay, gue take! Sebutin apa mau lo! Langsung bayar setengah di muka."
"Gue transfer secepatnya. Tugas lo gampang." Cassandra mulai menjabarkan semua yang ingin dia dapatkan. Soal penjagaan, mencari informasi dan mendapat lokasi orang lain. Ekspresi gadis itu dingin, bersiap siaga menghadang badai berikutnya.
Namun, kali ini bukan tanpa persiapan.
Cassandra mulai merasa aman, karena berpikir mulai membangun benteng di sekitarnya, tidak menyadari dari balik kamera yang menyadap kamar, penjuru-penjuru tempat yang dia pilih. Ada orang yang mengawasinya, tak luput di mana pun eksistensi keberadaannya. Iblis itu tak akan membiarkan dia lepas dari pengawasan.
Bersambung ....
24 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [Proses Terbit]
Teen FictionFiksi remaja - Romantis Cassandra adalah penjahat rendahan di dalam sekolah, jika diibaratkan dia seperti antagonis dalam kisah percintaan remaja. Membully, menjatuhkan, menghamburkan uang, dan bersikap sinis pada semua orang. Terlepas dari semua i...