Cassandra mendorong tubuh anak baru, wajahnya yang pucat kembali memerah emosi. "Jangan deket-deket setan!" Pemuda itu hanya terkekeh dengan seringai tipis, kemudian melirik ke arah kepala sekolah.
"Kamu Zain Aditama? Benar, bukan?"
Kepala sekolah mengabaikan Cassandra untuk sementara, kini pandangannya berfokus pada anak didik baru. Pagi ini baru saja ia mendapatkan informasi jika akan ada murid baru di sekolah SMA Samudera. "Benar, Pak."
Cassandra mendelik, melipat tangan di depan dada tidak ikut dalam pembicaraan. Perlahan emosinya mulai reda, mungkin karena tekanan berkali-kali dia jadi lepas kendali. Menyedihkan. Cassandra membuang wajah melihat ke arah jendela.
"Kalau begitu kamu akan masuk ke kelas XI 3."
"Baik, Pak."
"Cassandra," panggil Pak Kepala Sekolah kini melirik anak muridnya lagi. Sudah berbuih mulutnya untuk menasehati gadis nakal ini. Tapi, dia tak dapat melakukan apa pun, ayah Cassandra bisa saja menghentikan donasi untuk sekolah mereka. "Tolong kamu bawa temen baru kamu ke kelas."
Benar. Anak aneh yang memanggilnya penjahat itu sekarang sekelas dengan Cassandra. Gadis itu mengerutkan dahi, dia kira dia akan dihukum dan juga tidak senang akan fakta harus menemani orang mencurigakan ini. Karena saat ini dia tak bisa mempercayai siapapun. Walau begitu dia tidak bisa menolak permintaan kepala sekolah. "Ikut gue."
Zain menunduk kemudian mengikuti langkah Cassandra ke luar ruangan. Terlalu banyak yang dipikirkan Cassandra hingga dia tersadar melihat Ali yang mengerutkan kening, menemukan Cassandra bersama pemuda lain. "Ca ...," panggil Ali kemudian menarik tangan gadis itu ke sisinya.
Hal itu tak luput dari pandangan Zaim yang kini menyeringai, memasukkan satu lengan di saku celana. "Ternyata penjahat ini punya hal menarik yah. Apa dia cowok asing itu, Cassandra?"
Cowok asing? Sebutan itu hanya dia sebutkan pada Kuudere-kun, bagaimana orang ini mengetahuinya? Cassandra melirik tajam, menggenggam tangan Ali lantas mengumpat di depan muka Zain. "Bajingan lo, pembunuh."
"Gue gak ngerti maksud lo."
Cassandra mendecih, mengetatkan rahang dan berbalik menarik Ali pergi. Ali bisa merasakan tangan yang menggenggamnya gemetar, pandangan cowok itu mendingin melihat Cassandra yang berusaha menyembunyikan ketakutannya.
Cassandra sendiri takut setengah mati, mengira Zain adalah Kuudere_kun yang menargetkan dirinya. Terlalu banyak yang terjadi dalam sehari, mereka terus berjalan dan berjalan tanpa arah, Ali tak mengatakan apa pun membiarkan Cassandra terus menariknya.
Akhirnya mereka sampaikan di jalur evakuasi sekolah. Di sana Cassandra menunduk dengan napas terengah-engah, tangannya masih gemetar, keringat dingin menyusuri kening dan pelipis. Ali mengelap peluh yang membasahi kening Cassandra dengan telapak tangan, kemudian membawa wajah itu menghadapnya. "Ali ... sebenernya lo siapa?"
Cassandra bicara dengan mata berkaca-kaca menahan tangis, karena di sisinya sekarang hanya ada Ali. Sungguh dia lelah dengan semua drama ini. Dia takut setengah mati karena Zain, emosinya yang meledak-ledak dan membully gadis lain, semua kekacauan yang akan berimbas.
Bagaimana ini?
Sebenarnya apa yang dia pertahankan?
Cassandra sungguh tidak tahu.
"Sekali lagi gue nanya. Lo siapa?"
Pandangan Ali melembut, dia masih bungkam tapi kini memeluk Cassandra, mengusap rambut ungu, mahkota indah yang kini ikut gemetar bersama pemiliknya. "Gue bakal lindungin lo."
"Bodo, bukan itu jawaban yang gue mau." Cassandra mati-matian menahan tangis dengan mata berkaca-kaca. Mengeratkan genggaman tangannya pada seragam Ali. "Lo bego, bego. Ali bego ...." Dia terus menunduk, menggigit bibir bawahnya, tidak peduli sesakit apa dia tak mau menangis di hadapan orang lain.
Ini salah.
Ali tak bisa dipercaya, seperti juga Zain. Akan tetapi mengapa? Mengapa dirinya begitu jauh masuk dalam pelukan Ali?
.
.
.
Cassandra terbelalak ketika pulang di kamar dia bisa menemukan semua perabotan berantakan, kacau, tidak teratur. Seolah ada yang mengacaukan tempat ini, segera saja tanpa banyak bicara tulisan merah dengan bau anyir menyambutnya membuat dia merinding.
Di cermin terdapat tulisan merah, dilihat lebih jelas itu terbuat dari darah. Cassandra menahan muntah, aroma bangkai tercium, terdapat bangkai kucing dengan perut terburai di bawah cermin. Di antara darah dan bangkai Cassandra menemukan kertas berisikan peringatan.
'Halo, Nona Penjahat. Anda adalah target selanjutnya.'
Kaca jendela pecah, hancur berantakan. Cassandra bisa merasakan keringat dingin mengucur di punggung membiarkan kengerian memakannya. Siapa yang melakukan ini? Zain kah? Orang sinting berinisial Kuudere-kun yang membuat hal ini?
"AHHHHHHH!"
Cassandra tersentak, dari belakang Naureen berteriak histeris melewati kamar. Dia menemukan darah yang menetes di lantai juga bangkai di hadapan Cassandra. "Ca ... Cassandra ...?" Belum sempat bereaksi tepat di pintu kamar Naureen muntah, membuat Cassandra berteriak marah.
"Bangsat! Udah diteror gue malah dimuntahin."
Naureen gemetar, menunduk takut-takut selanjutnya Mikala hadir ikut terpaku melihat kondisi kamar Cassandra. Dia tak mengatakan apa pun dan pergi dari kamar sembari menarik Naureen. Sedangkan pelayan baru yang mendengar teriakan menghampiri ikut terkejut dengan kondisi kamar. "Non, biar bibi bereskan."
Sial!
Cassandra menggigit bibir tidak menghiraukan pelayan yang kini membersihka kamar, samar-samar dia bisa mendengar prcakapan telepon yang dilakukan Mikala, pasti kakak laknat itu hendak menghubungi Lucius. Cassandra menengadah. Siapa lagi yang melakukan ini? Siapa? Cassandra termenung mengambil napas, tatapannya kembali membara. Tidak, dia tidak akan kalah.
Jika ini permainan--- siapapun musuhnya itu.
Cassandra akan membalasnya berkali-kali lipat.
.
.
.
"Cassandra Anirvana," panggil Lucius berseru kencang. Pria tua itu segera kembali mendengar kabar bahwa ada yang meneror putrinya. Ini baru seminggu setelah terjadinya percobaan pembunuhan. Sebenarnya dengan siapa Cassandra berurusan sehingga dia terjebak dengan orang-orang berbahaya? "Cassandra!"
"Ada apa?"
"Duduk!"
Cassandra mendesah, mau bagaimanapun dia masih bergantung pada Lucius dan semua masalah ini pasti mengikat bajingan itu. "San bisa urus masalah San sendiri." Lucius semakin menatap tajam meminta Cassandra bicara serius. "Duduk!"
Cassandra berjalan menuju sofa berhadapan dengan Lucius. Dia menunduk, kemudian menegakkan wajahnya menatap sang ayah. Lucius melepaskan kaca mata, memijat pangkal hidung pening. "Jadi kasih tahu Papah. Ke mana semua uang yang kamu pake selama ini?"
"Kenapa nanya itu?"
"Cassandra!"
Dia mendecih, menggerutu dalam hati melihat Lucius yang kembali murka. "Papah tahu kamu transfer ke guild pembunuh bayaran! Kamu mau bunuh siapa, huh?! Kamu gila? Dengan siapa kamu berurusan?"
"Cassandra bisa urus sendiri."
"Kamu gak bisa!"
"Aku bisa!" Cassandra berseru, menatap lurus Lucius. "Ini bukan urusan Papah. Cassandra bisa urus sendiri." Lucius hampir saja melayangkan tamparan mengenai wajah putri nakalnya.
"Papah ...."
"Apa?!"
Lucius melirik masih emosi, kini dia menemukan putri haramnya gemetar mengulurkan benda pipih berwarna putih. Lucius menatap tak percaya, testpack yang berada di tangan Naureen menunjukan tanda positif. "Persetan!"
Kepala Keluarga Anirvana sudah sampai di ujung kesabarannya. Mulai dari teror yang menimpa Cassandra dan kehamilan Naureen. Dengan apalagi Tuhan akan mengutuknya?
Bersambung ....
10 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [Proses Terbit]
Novela JuvenilFiksi remaja - Romantis Cassandra adalah penjahat rendahan di dalam sekolah, jika diibaratkan dia seperti antagonis dalam kisah percintaan remaja. Membully, menjatuhkan, menghamburkan uang, dan bersikap sinis pada semua orang. Terlepas dari semua i...