Gugat Trahing Kusuma, buku 1-1

424 6 3
                                    

BAB 1

          Sesekali kabut terlihat menutupi halaman rumah kecil itu, di lereng semeru yang memang selalu berhembus udara yang begitu dingin. Sinar matahari seakan tak mampu menyapakan hangatnya, meski sesekali menyeruak di antara sela-sela kabut yang sesekali menyisih.

"Kenapa dunia ini seakan tak mampu menghindar dari pertikaian, selalu saja memanjakan ambisi, tanpa memperhatikan akibat-akibatnya, menggilas kedamaian bebrayan agung demi sebuah kekuasaan? Rasa-rasanya aku menjadi muak dengan apa yang selama ini terjadi." Demikian desis orang tua berjanggut putih itu, merenungi apa yang selama ini selalu mengganjal di hatinya, tatap matanya yang sayu seakan menerawang jauh menembus hamparan langit jauh.

"Pamungkas?" Kata orang tua itu kemudian

"Ya eyang." jawab pemuda yang terlihat duduk di hadapannya.

"Sebelum waktuku tiba, rasanya aku ingin mengutarakan pesan untukmu ngger."

"Katakanlah eyang, aku akan selalu menjunjung setiap petunjuk eyang, namun mohon ampun, kenapa eyang mengatakan begitu?" Jawab pemuda yang di panggil Pamungkas tersebut.

Orang tua berjanggut putih mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil tersenyum memandang pemuda itu, lalu katanya, "Pamungkas, tentu kamu sudah memahaminya ngger, tidak ada keabadian di bumi ini, begitu juga aku, kamu, dan semua titah di bumi ini, suatu saat menuai batasannya pula"

"Ampun eyang Windujati, tapi aku berharap masih ingin lama mendengar wejangan-wejangan eyang tentang kehidupan ini"

Orang tua yang ternyata Empu Windujati itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan sungging senyum yang begitu lembut namun tatapan matanya semakin sayu, "Pamungkas, meskipun hanya sesaat-sesaat kamu berada di sini, namun apa yang aku berikan padamu sedah lebih dari cukup, kamu memang bukan murid perguruan Windujati, tapi aku wajib membimbingmu atas pertalian darah di antara kita. Rasa-rasanya telah tuntas apa yang aku miliki ini kuberikan padamu. Kamu telah menguasai seluruh jalur ilmu Windujati, bahkan eyang melihat, ilmu-ilmu itu hampir sempurna mengendap dalam dirimu, namun tidak lelah pula aku selalu mengatakan, bahwa ilmu seperti itu bukanlah segalanya, kamu harus mampu memayu hayuning bebrayan, dan selalu menjaga kedamain dalam kehidupan bebrayan itu sendiri, pahamilah arti kidung-kidung yang tertulis dalam rontal yang aku berikan padamu itu, mudah-mudahan hatimupun mengendap seiring berjalannya waktu." Ucap Empu Windujati.

"Baik eyang, segala petunjuk eyang akan selalu aku ingat, mudah-mudahan Yang Maha Agung selalu memberi kemudahan-kemudahan kepadaku"

"Dan selalu ingatlah ngger, pesanku padamu, tempuhlah kehidupan yang wajar diantara para kawula, meski bagaimanapun juga kita masih mengalir darah Majapahit. Janganlah larut dalam kepentingan perebutan tahta yang selalu menimbulkan pertikaian itu, walau sesungguhnya tidak baik juga jika berpangku tangan, ambilah sisi yang paling bijak, dalam menghadapi semua itu. Apakah kamu paham ngger?"

"Aku paham eyang." jawab Raden Pamungkas

Kembali orang tua itu memandang jauh, seakan-akan menembus tebalnya hutan di lereng gunung semeru tersebut, lalu kembali berdesis lirih, "Pamungkas, setelah kekuasaan Majapahit runtuh, nampaknya kini Demakpun di ambang kemunduran. Entahlah apa yang akan terjadi kemudian? Namun firasatku mengatakan Demak pun akan segera kukut." Kata orang tua itu

Sambil menarik nafas panjang mpu Windujati meneruskan kata-katanya. "Sepertinya peristiwa hilangnya dua pusaka dari gudang perbendaharaan Demak beberapa waktu lalu itu akan menjadi peristiwa-peristiwa yang berkelanjutan"

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang