Gugat Trahing Kusuma, buku 1-4

188 4 1
                                    


      Panas terik matahari itu perlahan meredup, tersembunyi di balik gumpalan awan putih yang datang silih berganti. Hutan yang tidak terlalu besar, terhampar jalan bulak panjang dengan pemandangan petak-petak persawahan hijau, seakan menyejukkan pandangan mata, meskipun terik matahari menjenguk sepenggal hari.

Sesaat di kejauhan terlihat gumpalan debu mengepul di sepanjang jalan, mengikuti jejak lajunya dua ekor kuda yang sebenarnya tidak berlari terlalu kencang. Bahkan kadang-kadang kuda-kuda itu mengurangi laju berlarinya, lalu berjalan perlahan-lahan mengikuti jalan di tengah bulak panjang itu.
Dua ekor kuda yang tidak terlalu istimewa, namun terlihat tegar, mengisyaratkan sebuah ketahanan dan kekuatan binatang itu dalam menempuh jarak pacu yang panjang.

Duduk di atas kuda berwarna hitam itu seorang pemuda yang sudah matang usia kedewasaannya. Meskipun terlihat lusuh karna perjalanan jauh, namun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang bersih, dengan tatapan matanya yang bening namun tajam berisi. Tubuhnya sedang-sedang saja, namun terlihat kencang, menandakan keserasian pada sosoknya.
Sementara kuda yang berwarna agak kecoklatan itu duduk seorang yang telah berusia lebih dari setengah abad. Tubuhnyapun sedang-sedang saja, dengan kumis tipis menghiasi bibirnya.

Nampaknya mereka sangat menikmati perjalanannya, sehingga lebih sering memacu kudanya dengan lamban, seraya melakukan perbincangan dari atas punggung kuda masing-masing.

"Sudah lima hari kita menempuh perjalanan paman, sementara hari ini matahari sudah sepenggalah."
Demikian pemuda itu berbicara kepada penunggang kuda lainnya.

"Hari masihlah lama ngger, kita masih banyak waktu untuk berhenti, biarlah kuda-kuda kita beristirahat di tepian sungai kecil itu."  Jawab penunggang kuda yang lebih tua itu.

Kedua orang penunggang kuda itu tidak lain adalah Raden Pamungkas, dan Ki  Gagak Sipat, yang kemudian menepikan kudanya di pinggiran sungai kecil yang airnya cukup bening itu.

"Perjalanan yang cukup lancar." Desis Ki  Gagak Sipat kemudian.

Raden Pamungkas berpaling ke arah orang tua itu lalu bertanya, "kita sudah melewati Panaraga paman, apakah sekarang kita sudah memasuki wilayah madiun?"

"Benar ngger, nampaknya kita justru sudah mendekati padukuhan yang sudah ramai."  Jawab Ki Gagak Sipat.

Raden Pamungkas nampak terdiam, sambil melayangkan pandangan matanya di hamparan hijaunya persawahan itu. Burung-burung  sesekali terlihat hinggap dan terbang, sementara beberapa petani juga terlihat sibuk dengan pekerjaanya, yang kadang terdengar suaranya menghalau burung-burung yang berniat mengais makanan di hamparan persawahan itu,

"Betapa indah kehidupan dunia jika seperti ini, kedamaian yang tak terusik ambisi dan dendam, bahkan kekuasaan yang kadang menyesatkan prilaku yang sewajarnya."   Desisnya dalam hati, "perbedaan yang tentu akan terlihat, dengan suasana yang mungkin aku menjumpainya nantinya.

Setelah beberapa saat lamanya mereka menghentikan kuda-kudanya terlihat kedua orang itu berniat melanjutkan perjalanannya,

"Angger, apakah kau juga akan ke utara? Melalui jalan menuju jatiraga?" Bertanya Ki Gagak Sipat.

"Tidak paman, mungkin kita akan berpisah jalan setelah sampai simpang jalan menuju Madiun. Aku akan ke barat, melewati jalan perbukitan lereng Gunung Lawu"

"Kemana Tujuan angger?

"Pakuwon paman,  sudah lama aku tidak menengok pedukuhan tempat mendiang ayah angkatku tinggal."

"Ayah angkat?"

"Ya, ayah yang mengasuhku saat aku masih anak-anak menjelang dewasa."

Sejenak Raden Pamungkas terdiam, seakan menerawang jauh, menelisik kembali kenangan pahit yang menimpa jalan kehidupannya, kemudian tanpa sadar pemuda itu berdesis lirih dalam hati. "Apa yang harus ku lalui memang sepantasnyalah aku lalui."

"Kakekmu tidak pernah bercerita tentang ayah  angkatmu kepadaku."

"Ah, sudahlah paman, ceritanya cukup panjang, kini biarlah aku lalui apa yang seharusnya di jalani." Jawab Raden Pamungkas kemudian.

Kemudian dua ekor kuda itu bergerak dan berlari meski tidak terlalu kencang, sesekali mereka harus melompati jogangan kecil ditengah jalan, juga menerjang rerumputan liar yang cukup tinggi. Maka setelah melalui sebuah tikungan di ujung jalan itu keduanya berhenti.

"Paman, sebelum meneruskan perjalanan aku akan singgah dulu di selatan padukuhan itu, kebetulan kerabat ayah angkatku tinggal di daerah itu. Apakah tidak sebaiknya paman juga singgah barang semalam sekedar istirahat? Sebelum besok paman melanjutkan perjalanan.

Terlihat Ki Gagak Sipat termangu-mangu, seakan-akan menimbang-nimbang sesuatu yang ada di benaknya, kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam dia pun berkata,  "aku rasa tidak ngger, tentu perjalananku sudah tidak terlalu jauh lagi, biarlah nanti aku beristirahat di jalan saja. Aku rasa sekarang kakekmu sudah menungguku di sana, sambil menikmati secangkir wedah jahe." sambil tersenyum kecil Ki Gagak Sipat berseloroh.

Sambil tersenyum pula pemuda itu kemudian berkata, "kidang melar, ilmu kecepatan gerak yang sangat mengagumkan."

"Baiklah ngger, sebaiknya aku mohon diri untuk nmeneruskan perjalan ke utara, berhati-hatilah, ingat selalu pesan kakekmu." 

"ya paman, sampaikan baktiku pada eyang sesampainya di sana."

"Tentu." Jawab Ki Gagak Sipat sebelum memacu kembali kudanya cukup kencang.

Raden Pamungkas masih berdiri termangu-mangu, melihat laju kuda yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mata.

"Ilmu Kidang Melar, rasa-rasanya sangat menarik," kembali raden pamungkas mengulang kata itu dalam hatinya.
**

       Sementara itu, ketika Raden Pamungkas berpisah jalan dengan Ki Gagak Sipat, jauh di sebelah utara Gunung Merbabu, terlihat hamparan Rawa Pening yang begitu luas, kawasan di mana beberapa tahun yang lalu di huni sepasang tokoh dunia kanuragan yang sangat di takuti, namun pada saat terjadi pergolakan di tanah perdikan Banyubiru beberapa tahun yang lalu keduanya tewas. Sepasang tokoh yang di juluki Uling Kuning dan Uling Putih itu harus meregang nyawa dalam satu pertarungan yang sangat memalukan, karna harus binasa di tangan seseorang yang usianya pada waktu itu terhitung masih muda belia.

Panas matahari yang tidak terlampau menyengat bagaikan menyapa hijaunya daun-daun di pepohonan, sebagai pembatas jalan dan tepian rawa itu, seakan-akan menjadi sejuk oleh angin yang berhembus membawa aroma air yang tersentuh pada setiap hembusannya. Maka tidak heran jika jalan di bawah rerimbunan pepohonan itu teramat teduh. Di hiasi indahnya garis-garis sinar matahari yang menyeruak di antara sela-sela dedaunan sebelum menyentuh tanah.

Namun dari pada itu, di kejauhan jalan, udara yang bersih itu bagaikan sirna berganti kepulan debu dari dua ekor kaki-kaki kuda yang berlari cukup kencang, menyusuri hamparan jalan di tepian rawa tersebut.

Terlihat dua ekor kuda itu mengikuti kelokan jalan yang menjauh dari tepian rawa, kemudian menuju kearah sebuah padukuhan yang masih termasuk wilayah dari tanah perdikan yang dikenal dengan tanah perdikan Banyubiru. Kemudian langkah kedua ekor kuda itu menjadi pelan, setelah memasuki gerbang jalan pedukuhan.
Dua orang penunggang kuda itu adalah seorang lelaki yang masih dapat di bilang muda, dengan tinggi tubuh yang terlihat wajar namun tubuhnya kekar, terlihat dadanya yang bidang di balik belahan baju sebelah atasnya, Wajah lelaki itu cukup tampan, dengan raut muka yang tersirat tegas, karna tempaan hidup yang begitu keras, dan tatapan matanya yang tajam mengisyaratkan daya berfikir yang cukup tinggi.
Sementara penunggang kuda yang lain seorang wanita yang sudah melalui masa kedewasaannya. Wajahnya cantik dengan memakai pakaian khusus yang tidak biasanya di gunakan wanita pada umumnya. Tatapan matanya yang bersinar seakan-akan menutupi kedewasaan usianya itu. Ada yang sedikit menjadi perhatian, ketika kuda-kuda itu melintas, setiap orang yang ada di sepanjang jalan itu akan mendengar
bunyi derap kaki-kaki kuda, di sertai suara gemerincing lembut seperti bilah-bilah besi yang bersentuhan.
Sebenarnyalah ternyata bunyi gemerincing itu adalah untaian rantai panjang yang melingkar di pinggang wanita itu.

Sejenak setelah kuda itu berjalan pelan, terdengarlah suara wanita muda itu kepada penunggang kuda lelaki di sebelahnya.

bersambung..

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang