Gugat Trahing Kusuma, buku 1-10

173 5 1
                                    


        Jalan pedukuhan menuju banjar desa itu terlihat begitu sepi, hampir tak satupun terlihat orang nampak di sepanjang jalan itu, bahkan pintu-pintu juga jendela rumah pendudukpun tertutup rapat, padahal senja belum lama berlalu.

"Aneh, malam baru saja mulai, tapi suasana pedukuhan ini begitu lengang," desis Raden Pamungkas yang masih berjalan di atas punggung kudanya. Niatnya menuju banjar pedukuhan untuk sekedar menumpang bermalam sebelum melanjutkan perjalanannya. Namun benaknya terusik untuk lebih mengetahui tentang apa yang di dengarnya dari kedua Bajak Laut itu, hingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak dalam hatinya.

"Tujuan Bajak Laut itu sedikit banyak aku sudah mengerti, tapi siapakah kelompok orang-orang yang mengaku para trah keturunan Prabu Brawijaya itu? Lalu apa tujuan pertemuan di perbukitan di Cemara Sewu itu? Siapa, dan dari mana orang yang  berperan dari kelompok itu? Semuanya masih gelap."

Demikian pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam hatinya, sehingga hasrat ke ingin tahuan nya menjadi begitu kuat.

"Mudah-mudahan aku dapat mengetahui hal ini dengan jelas, jika benar, tentu aku tidak akan membiarkannya, orang boleh-boleh saja mengaku-ngaku trah Majapahit, namun sangatlah konyol jika ingin kembali mengungkit kejayaan Majapahit, jaman sudah berubah, apapun dan siapapun yang mengendalikan tanah Jawa ini tidaklah menjadi soal, karna yang terpenting sesungguhnya terciptanya kedamaian, ketentraman, untuk kemakmuran semua orang," desisnya.

Sesaat kemudian setelah mendekati sebuah banjar pedukuhan itu, dengan serta merta Raden Pamungkas terpaksa menghentikan langkahnya, ketika lima orang pemuda yang tidak lain anggota para pengawal pedukuhan itu dengan bersenjata terhunus telah menghadang perjalanannya

"Berhenti..!! turun dari kudamu dan katakan siapa kamu, lalu apa tujuanmu sampai kemari?" berkata seseorang yang terlihat merupakan sosok pemimpin mereka sambil memandang penuh kecurigaan.

Raden Pamungkas kemudian berhenti, lalu turun dari punggung kudanya, kemudian berucap, "Maaf kisanak sekalian, jika kedatanganku di sini mungkin mengganggu, sebenarnyalah aku hanya ingin menumpang lewat, atau barangkali jika di perkenankan menumpang istirahat barang semalam di banjar itu sebelum besok aku melanjutkan perjalanan."

"Baiklah kisanak, kami akan membawamu ke banjar, bukan sebagai tamu, tapi sbagai tawanan."

"Tawanan?" desis Raden Pamungkas heran, "aku salah apa kisanak?"

"Sudah jangan banyak bicara, menyerahlah jika kau tak ingin mendapatkan kesulitan, ikat dia..!!" kata salah seorang pemuda yang menjadi pimpinannya, lalu memberi perintah kawan-kawannya.

Para pemuda itu mendekati Raden Pamungkas yang memang tidak melakukan perlawanan, lalu mengikat kedua tangannya di belakang, setelah itu mereka membawanya rame-rame menuju halaman banjar pedukuhan tersebut, hingga kedatangannya itu menarik banyak perhatian beberapa orang yang berkumpul di situ, lalu berkerumun menghampiri Raden Pamungkas yang dalam keadaan terikat tersebut.

"Kita hajar saja rame-rame!"

"Bunuh saja!!"

"Kita ikat saja di tiang!!"

"Bunuh!!"

Demikian suara-suara bersahutan datang dari beberapa orang pemuda pengawal pedukuhan itu, bahkan salah seorang yang bertubuh gemuk sempat melayangkan sebuah pukulan ke arah Raden Pamungkas.

"Berani kau mengacau tempat kami he! Ayo katakan di mana kau simpan para gadis yang kau culik!"  plakk!! Satu  tamparan mendarat di wajah Raden Pamungkas.

"Gila, orang-orang di sini begitu ganas," desis Raden Pamungkas dalam hatinya.

"Ayo katakan dimana kau sembunyikan adikku..!!"  satu lagi seorang pemuda bertubuh tegap menghampirinya, lalu mengguncang-guncang tubuh Raden Pamungkas, sebelum datang satu suara terdengar dari arah pendapa pedukuhan itu.

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang