Gugat Trahing Kusuma, buku 1-12

166 3 1
                                    

       Sesungguhnyalah Larasati hatinya menjadi berdebar-debar pula, dia tau perkataan Jaka Warih itu adalah perkataan yang keluar secara tiba-tiba dan sekenanya saja, namun demikian tetap saja telah menyentuh hatinya. Dalam benaknya, Jaka Warih tiba-tiba seperti memberikan kesejukan yang luar biasa, di saat tubuhnya hampir terbakar api, maka tanpa disadarinya telah mengembang senyum yang tersungging di bibirnya.

"Kau kenapa Larasati?" terdengar ayahnya bertanya.

Larasati pun seperti tersadar dari lamunannya, lalu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

Dalam pada itu, halaman banjar pedukuhan itu nampak cukup terang oleh sentuhan bulan yang terlihat melingkar di langit tanpa mega-mega. Sementara tiupan angin yang terasa cukup kencang seperti mempermainkan lidah-lidah api obor yang bertebaran di setiap sudut halaman itu.
Dua orang berpakaian hitam pekat telah berdiri berjajar dalam satu lingkaran, berhadap-hadapan dengan seorang pemuda yang berdiri tegak dengab tatapan mata yang tajam menembus ruang batin.

Sebenarnyalah sepasang Bajak Laut Karimunjawa itu sudah menunggu beberapa waktu kedatangan Jaka Warih yang kini sudah berdiri di hadapan mereka. Adalah Ki Sarpa Laut, salah satu dari bajak laut itu kemudian maju beberapa langkah, dan dalam kepercayaan yang tinggi kemudian dia membuka suaranya,

"Pada akhirnya datang juga kau anak muda," berkata ki Sarpa Laut

"Ya, bukankah aku telah berjanji menemanimu bermain jamuran di halaman banjar ini?" jawab Jaka Warih

"Kau terlalu sombong anak muda, kau tidak menyadari dengan siapa kau berhadapan saat ini."

"Sarpa Laut, kalau aku boleh tau apa yang seharusnya kusadari?"

"Sadarilah bahwa kau tidak akan lagi melihat terbitnya matahari esok pagi, karna malam ini aku akan mencabut nyawamu..!"

"Kau jangan bergurau Sarpa Laut, karna aku paham benar, kau bukanlah orang yang di tugasi Sang Pencipta untuk mencabut nyawa seseorang."

"Anak iblis, baiklah bersiaplah untuk mati!"

Demikian Ki Sarpa Laut tiba-tiba bergerak menyerang Jaka Warih yang memang tidak menyangka-nyangka datangnya serangan pertama itu.
Walaupun serangan itu tidak terlalu cepat, sebenarnyalah telah membuat Jaka Warih terkejut, hingga menjadi sibuk menahan serangan-serangan aneh yang di lancarkan bajak laut itu.
Akibatnya  Jaka Warih harus menghindar dan menghindar sehingga terlihat seperti terdesak begitu hebat, walau sesungguhnya serangan-serangan beruntun itu sama sekali belum mampu menyentuhnya.

Hal ini membuat Ki Sarpa Laut terpaksa harus meningkatkan kemampuanya pada tataran lebih tinggi. Sebenarnyalah Ki Sarpa Laut ingin segera melumpuhkan Jaka Warih yang menurut dirinya sombong dan tak tau diri itu, sehingga dalam gerakan-gerakan berikutnya serangan yang di lakukan Ki Sarpa  Laut terlihat semakin membadai.

Dengan ketajaman mata dan hatinya, tentu saja Jaka Warih tau, bahwa lawannya tidak memulai pertarungan itu pada tataran-tataran awal ilmunya, namun  serangan-serangan Ki Sarpa Laut itu belumlah mampu menyulitkan dirinya, meski secara kasat mata ia membiarkan keadaannya seperti terdesak hebat.

Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menjadi berdebar-debar melihat kenyataan, bahwa Jaka Warih dalam pandangan mereka terlihat terdesak begitu hebat, apalagi Ki Jagabaya, yang pernah melihat kehebatan bajak laut itu.
Namun mereka juga menjadi heran, melihat Jaka Warih yang terdesak hebat itu sama sekali belum tersentuh sedikitpun.

Demikian Ki Sarpa Laut itupun menjadi semakin marah, karna pada kenyataan dirinya sudah meningkatkan ilmunya pada tahap yang hampir mencapai puncak, namun pada kenyataannya Jaka Warih masih mampu mengimbanginya. Karna itu, setelah melakukan satu putaran tubuh ke udara, Ki Sarpa Laut serta merta meloncat surut beberapa langkah.

"Apakah kau hanya bisa menghindar dan menghindar he! Anak iblis,,!!"

"Apa maksud mu  Sarpa Laut? Apakah aku harus berdiam diri pasrah kau pukuli seperti anak kecil? Dan tak boleh menghindar?" jawab Jaka Warih sembari tersenyum

"Aku tidak sedang bercanda, Setan Alas..!!" Ki Sarpa Laut semakin gusar

Sebenarnyalah Jaka Warih telah terlalu muak dengan kata-kata umpatan yang sering di ucapkan bajak laut itu, maka ada keinginan yang menggelitik dalam hatinya untuk membungkam orang itu. Orang yang sangat berbahaya dalam tatanan paugeran kehidupan. Orang yang acap kali suka melakukan penindasan pada sesama tanpa mempedulikan penderitaan orang lain. Maka setelah menarik nafasnya dalam-dalam, dengan pembawaan yang tenang Jaka Warih kemudian berkata,  "Sarpa Laut, baiklah jika kau tidak ingin melihatku hanya bertahan, bersiaplah, aku akan menyerang!"

Belum usai Jaka Warih berhenti berbicara, justru kembali Ki Sarpa Laut yang tiba-tiba bergerak melakukan serangan, kali ini dengan kecepatan yang tinggi, menerjang kedepan sebelum tangan kanannya berusaha mendaratkan pukulan ke dada Jaka Warih.  Serangan yang kali ini begitu cepat itu membuat Jaka Warih kehilangan peluang untuk menghindar, maka dari itu pemuda itu memiringkan sedikit tubuhnya, dengan menyapukan tangannya kearah depan menangkis serangan Ki Sarpa Laut yang demikian cepat itu.
Lalu dengan kecepatan tinggi pula, Jaka Warih melenting sedikit ke udara dengan memutar tubuhnya, disusul putaran telapak kakinya yang tidak terduga tau-tau sudah membentur dada Ki Sarpa Laut hingga terdorong mundur beberapa langkah, kemudian tersungkur di tanah.

"Anak iblis..!!" Sarpa Laut mengumpat.

Muka Ki Sarpa Laut menjadi semakin merah padam menerima kenyataan itu. Dia tidak menyangka, pada gerakan-gerakan selanjutnya justru Jaka Warih mampu mendaratkan tungkai kakinya tepat ke dadanya, meski tidak membuatnya cidera.

Sesaat sebelum usai menarik nafasnya, cuping telinga Jaka Warih merasakan ada desiran halus yang mengarah padanya. Ternyata di luar arena pertarungan, Ki Mina Upas tiba-tiba membokong Jaka Warih dengan menggunakan senjata rahasianya.

"Si juling itu benar-benar licik,"
desis Jaka Warih dalam hatinya, kemudian melakukan gerakan memutar menghindari serangan gelap itu. Namun ternyata serangan itu tidak hanya sekali, senjata rahasia semacam logam pipih berbentuk sirip ikan bergerigi itu terus berhamburan dengan pesat ke arah Jaka Warih.

Namun Jaka Warih tidak kehilangan pengamatannya, dengan gerakan yang sulit dimengerti, kembali dia melenting dengan sangat cepat ke udara, tubuhnya yang seakan-akan menjadi seringan kapas itu melakukan gerakan memutar berulang-ulang secara berlawanan, yang bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengarlah bunyi ledakan memekakkan telinga berkali-kali, sehingga beberapa senjata rahasia Ki Mina Upas itu terpental ke berbagai arah.

Entah kapan mengambilnya, Jaka Warih kini terlihat telah menggenggam senjatanya, cambuk yang berjuntai panjang. Lalu ucapnya,  "Beginikah tingkah Sepasang Bajak Laut Karimunjawa yang jantan itu?"  kata Jaka Warih dengan nada yang berat.

Sementara itu Ki Mina Upas telah berdiri agak ke depan dengan mulut menyeringai,  "Tidak ada aturan bagi kami dalam bertarung hé, anak iblis..!! Kecuali kemenangan, atau terkapar di atas tanah, dan kau tidak akan bisa bertahan lama untuk berdiri, satu goresan senjataku yang mengoyak kulitmu itu akan membuatmu mampus!!"

Sebenarnyalah Jaka Warih yang belum sempat mengungkapkan Aji Tameng Waja itu merasakan, betapa satu sayatan tipis yang telah menggores kulit lengan kirinya itu terasa panas, diapun sadar, tentu senjata-senjata rahasia itu mengandung racun yang sangat tajam.  Namun tiba-tiba Jaka Warih merasakan satu aliran hawa yang hangat muncul diantara jari-jari tangannya, yang bersumber pada cincin batu akik yang di pakainya itu. Kemudian hawa hangat itu menyebar ke seluruh tubuhnya, seakan-akan mendorong hawa racun yang di timbulkan senjata lawannya tersebut.
Jaka Warih terlihat tergetar sesaat dari tempatnya berdiri, ketika merasakan benturan dalam tubuhnya itu, namun masih terlihat tegak berhadap-hadapan dengan kedua Bajak Laut itu.

Sungguh sebuah pemandangan yang luar biasa bagi orang-orang yang menyaksikan pertempuran dari pinggir halaman banjar yang cukup luas itu. Dalam taburan cahaya bulan yang cukup terang itu terlihat jelas, Jaka Warih masih berdiri tegak dengan kaki sedikit renggang, berhadap-hadapan dengan kedua bajak laut itu. Tangan kanannya memegang tangkai cambuk dengan ujung yang terjuntai sampai ke tanah. Sementara ujung bajunya yang sudah tak beraturan itu terlihat berkibar-kibar dalam hembusan angin yang cukup kencang.

"Anak muda itu ternyata benar-benar luar bisa..!" desis ki Jagabaya, "gerakan menghindar dari lontaran serangan senjata rahasia tadi sulit untuk di mengerti, namun rasa-rasanya adu kekuatan diantara mereka itu masih belum mencapai puncak ilmunya."

Bersambung

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang