Gugat Trahing Kusuma, buku 1-8

183 4 1
                                    

GTK jilid 1 - 8

Kita tinggalkan sejenak tentang apa yang terjadi di Tanah Perdikan Banyubiru. Dimana Raden Pamungkas masih melanjutkan perjalanannya kearah barat.
Setelah sebelumnya berpisah jalan dengan Ki Gagak Sipat, Raden Pamungkas memacu kudanya menuju jalan-jalan sulit yang berliku di lereng sebelah timur Gunung Lawu. Namun sesekali pemuda itu melewati pula jalan-jalan bulak panjang, yang biasanya daerah seperti itu akan terdapat beberapa hunian. Dan benarlah, setelah melintasi sebuah hutan kecil, sebuah tugu batas pedukuhan nampak terlihat dari kejauhan. Satu, dua rumah pendudukpun telah di laluinya, namun ketika semakin ke dalam semakin nampaklah kehidupan sebuah pedukuhan yang huniannya cukup padat.
Agak menjorok ditepi sebelah kiri jalan pedukuhan itu terdapat sebuah pasar, yang meskipun tidak terlalu besar, namun terlihat banyak juga para pedagang melakukan kegiatannya, juga satu, dua kedai makanan pun terlihat di sisi kanan jalan.

"Masih melewati satu pedukuhan lagi untuk sampai di kediaman paman Citra Dadi, namun matahari sudah semakin merunduk, lebih baik aku beristirahat di kedai itu sebentar, untuk sekedar melepaskan lelah, barangkali banjar pedukuhan di daerah ini sudah tidak terlalu jauh lagi, mudah-mudahan aku sampai kesana sebelum hari gelap, sehingga aku bisa meminta menumpang tidur barang semalam," kata Raden Pamungkas dalam hatinya

Sejenak kemudian Raden Pamungkas telah memasuki sebuah kedai dipinggiran jalan pasar pedukuhan itu. Setelah memesan secangkir wedang sere dan beberapa potong makanan, pemuda itu mengambil tempat duduk disudut paling belakang kedai itu.

"Rasa-rasanya ada yang aneh di daerah ini, sejak aku melewati gerbang pedukuhan, hingga masuk kedai ini seperti ada sesuatu yang tidak wajar. Mudah-mudahan hanya perasaanku saja," desisnya dalam hati.

Raden Pamungkas menjadi lama termenung, mencoba memecahkan isyarat yang berkecamuk dalam hatinya, sampai saatnya datang seorang pelayan mengantarkan pesanannya.

"Silahkan tuan," sapa pelayan itu.

"Trimakasih," jawab Raden Pamungkas seraya menerima hidangan yang dipesannya tadi.

Kemudian setelah selesai menghidangkan makanannya tiba-tiba pelayan itu bertanya kepada Raden Pamungkas, "Maaf tuan, kalau aku boleh bertanya, apakah tuan bukan penduduk disekitar pedukuhan ini?"

Raden Pamungkas memandang pelayan itu sambil mengerutkan wajahnya, lalu menjawab, "Bukan, aku memang bukan penduduk di pedukuhan ini, atau di sekitar pedukuhan ini."

"Lalu tuan dari manakah? Atau jika tuan sudi menyebutkan, bolehkah aku tau siapakah nama tuan?"

Raden Pamungkas kemudian meminum satu tegukan wedang sere yang sudah tidak terlalu panas itu, lalu diletakkannya kembali cangkir itu di atas meja, kemudian menjawab pertanyaan pelayan tersebut.

"Kisanak, sebelumnya aku juga mohon maaf, jika sebelum aku menjawab pertanyaanmu, justru aku ingin bertanya terlebih dulu."

Pelayan itu menjadi termangu-mangu, namun Raden Pamungkas kembali melanjutkan ucapannya, "Kisanak, mungkin aku sudah beratus-ratus kali keluar masuk kedai seperti ini, namun belum sekalipun aku melihat seorang pelayannya bertanya sedemikian pribadi kepada tamu-tamunya seperti disini, jadi kalau boleh aku tau ada apakan ini?"

"Maaf jika pertanyaanku menyinggung hati tuan, namun aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin tau siapa tuan ini, karna sudah beberapa lama, tak satupun orang asing berani memasuki pedukuhan ini meski hanya sekedar lewat."

"Baiklah, aku percaya padamu, dan jika kau tanya siapa aku, namaku Jaka Warih. Aku orang yang kleyang kabur kanginan mengikuti kemana arah kakiku melangkah, seorang pengembara yang kebetulan lewat pedukuhan ini," jawab Raden Pamungkas yang mengaku bernama Jaka Warih, lalu ucapnya lagi, "Sebenarnyalah aku memang merasakan sebuah ketidak wajaran di padukuhan ini, sejak aku memasuki gerbang pedukuhan, jadi apakah aku boleh tau, apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

Pelayan itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu mendekati tempat duduk Raden Pamungkas sambil berkata pelan, "Tuan, sebenarnyalah telah terjadi sesuatu di pedukuhan ini, bahkan mungkin di pedukuhan lain di sekitar sini."

"Apa yang terjadi?" sela Raden Pamungkas

"Tuan, sejak sekitar dua bulan yang lewat, pedukuhan ini telah kedatangan....., tidak, tidak apa-apa tuan, silahkan tuan melanjutkan minumannya, aku permisih."
Tiba-tiba pelayan itu menghentikan kata-katanya, sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian dengan gemetar melangkah meninggalkan Raden Pamungkas yang memandangnya sambil termangu-mangu.

"Aneh, ada apa dengan pelayan itu? Kenapa tiba-tiba saja menjadi gemetar seperti itu?" bertanya Raden Pamungkas dalam hatinya.

Namun sesaat setelah pelayan itu pergi, di depan pintu kedai itu telah berdiri dua orang berwajah garang.
Satu dari kedua orang itu bertubuh tinggi besar dengan mata yang merah menyala, seperti orang yang kebanyakan meminum tuak. Mukanya yang terlihat sangar itu dihiasi dengan bopeng-bopeng di pipi kanan kirinya. Sementara seorang yang lain bertubuh tinggi pula, meski badannya sedikit kekurus-kurusan. Matanya yang juling, juga hidungnya yang bengkok sangat memberikan kesan kebengisan orang tersebut.

Pakaian kedua orang itu sama, terlihat komprang dengan warna hitam pekat. Sementara di dada kiri pakaian kedua orang itu terdapat sulaman gambar tengkorak dengan hiasan pedang silang di belakangnya.
Ikat kepala yang tidak tertutup di atasnya itu membuat rambutnya yang panjang menjadi terjuntai tak teratur.

Kedai yang tadinya banyak orang yang datang itu seketika nampak sepi, satu persatu para pengunjungnya pergi tanpa basa-basi dengan begitu tergesa-gesa, setelah membayar pesanannya tanpa memperhitungkan harganya.

"O, ini rupanya yang membuat pelayan tadi menjadi ketakutan,"
desis Raden Pamungkas dalam hatinya.

"Pelayan..!! Siapkan makanan kesukaanku, awas jika tidak pas seperti yang ku inginkan, aku ratakan kedai ini dengan tanah!" teriak orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Dengan tergopoh-gopoh pelayan itu mendekat sambil gemetar, "Baik, baik tuan, aku akan menyediakan sesuai keinginan tuan."

"Cepat..!! jika kau terlalu lama hingga menyiksa perutku yang sudah lapar ini, aku penggal kau!" berkata selanjutnya orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.

Sementara Raden Pamungkas masih saja duduk menikmati makanan dan minumannya yang memang masih banyak itu, kemudian berkata dalam hati, "Kedua orang ini tentulah dari gerombolan bajak laut, sulaman di pakaiannya itu telah menunjukkan jati diri mereka, tapi mengapa penghuni lautan itu bisa jauh memasuki pedalaman pulau ini? Aku harus mencari tau, nampaknya mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya."

bersambung....

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang